Kopiah.co – Salah satu aspek yang identik dengan era kemajuan peradaban Islam adalah geliat ilmu pengetahuan. Di bawah nakhoda dinasti Abbasiyah, peradaban Islam mengalami kemajuan yang cukup pesat di berbagai bidang; keilmuan, kesenian, dan kebudayaan.
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh apresiasi para elite kerajaan terhadap perkembangan intelektualitas Islam dengan memfasilitasi para pemikir dan ilmuwan untuk melakukan riset, penerjemahan, dan diskusi.
Para elite kerajaan pun sampai mencanangkan pembangunan perpustakaan di kota Baghdad, yang dikenal dengan Bayt al-Hikmah sebagai pusat pengembangan para pelajar.
Terciptanya hubungan erat antara umara dengan ulama pada masa itu berdampak kepada perkembangan ilmu keislaman. Hal tersebut ditandai dengan munculnya Imam-imam mazhab.
Kemudian, disusul dengan antusias pembukuan kitab-kitab hadis dan ushul fikih, dan lain-lain. Selain empat pendiri mazhab besar tersebut, banyak pula para mujtahid lain yang mengemukakan pendapatnya hingga merumuskan mazhabnya sendiri.
Memasuki generasi mutaakhirin, dinamika keilmuan Islam masih mengemuka. Api semangat intelektual tidak bisa dikatakan redup. Dibuktikan dengan upaya para ulama dalam melakukan tanqih (verifikasi) terhadap mazhabnya masing-masing.
Bertolak dari sekelumit perjalanan sejarah keilmuan Islam di atas, tak heran jika kita menyaksikan sebagian besar umat Islam masih terbuai dengan kejayaan Islam di masa lampau.
Hal yang paling kentara adalah cara mereka memosisikan kitab-kitab ulama terdahulu sebagai hasil final yang dapat merespon perkembangan zaman. Bahkan, beberapa kalangan memandang kitab-kitab kuning sebagai referensi keagamaan dan khazanah intelektual yang absah dan sakral.
Konsekuensi cara pandang tersebut cenderung melahirkan stigma yang kurang sehat terhadap perkembangan keilmuan Islam. Bentuk kritik terhadap kitab kuning secara metodologis ataupun substansial relatif dianggap tidak etis. Tidak heran, jika ajaran-ajaran Islam dipandang gagal memandu arus kehidupan yang semakin dinamis.
Konsekuensi lain, adalah merebaknya lelaku taklid terhadap pemikiran ulama klasik tanpa usaha untuk menafsirkan ulang. Menjamurnya taklid menjadi indikasi surutnya dinamika berpikir dan matinya kreativitas dalam bersikap.
Muhammad Rasyid Rida, seorang ulama sekaligus pemikir kenamaan, merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan stagnasi dinamika keilmuan Islam.
Di antaranya adalah kebekuan berpikir dan mengekor pendapat orang lain tanpa menelaah metodologi yang dipakai. Bagi Syekh Rasyid Ridha, kelemahan tersebut dapat diatasi dengan kembali pada prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
Pandangan Syekh Rasyid Ridha cukup sulit diterima, sebab harus berhadapan dengan isu hilangnya otoritas ijtihad pasca para imam madzhab (Insidad Bab al-Ijtihad) yang telah muncul sejak abad ke 4-7 H. Isu tersebut semakin mengkristal hingga berujung pada menurunnya mental para ulama serta ketidakpercayaan diri untuk melakukan ijtihad.
Dalam merespons isu tersebut, para ulama Hambali berpendapat bahwa tak ada satu masa pun yang berlalu di dunia ini, kecuali di dalamnya ada seseorang yang mampu berijtihad.
Sebab keberadaannya tersebut, agama akan terjaga dan upaya-upaya pengacau agama pun dapat dicegah. Muhammad Abu Zahrah menambahkan seraya mengatakan bahwa kita tidak tahu siapa yang dapat menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah Swt. bagi perkembangan akal dan pikiran manusia. Bila ada orang yang berkata: ‘Pintu ijtihad telah tertutup’, mana dalilnya?
Secara eksplisit, gagasan Rasyid Ridha senada dengan perkataan Abu Zahrah di atas, untuk selalu menggaungkan ijtihad di era modern ini. Beberapa faktor yang dapat menguatkan pandangan keduanya adalah pertama, menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan serta menggali sumber hukum Islam.
Kedua, membuka pintu ijtihad berarti membuat masalah baru yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dapat diketahui hukumnya, sehingga hukum Islam selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Ketiga, menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis menjadi rigid, sehingga gagal merespon realitas aktual secara kontekstual. Usulan ijtihad dari kedua tokoh di atas bukanlah usulan untuk membuat sebuah mazhab baru, tetapi dapat dipahami sebagai usulan mengkontektualisasikan turats dengan diimbangi pendekatan secara sosiologis, historis, dan metodologis.
Hasil riset Lembaga penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada Maret 1964 M dapat menjadi afirmasi terhadap faktor-faktor di atas, yang berbunyi: Muktamar mengambil keputusan bahwa al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan sumber hukum Islam; dan bahwa berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur’an dan Sunnah adalah dibenarkan bagi orang yang memenuhi persyaratan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya; dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah dipilih di antara hukum-hukum fiqh pada tiap-tiap mazhab hukum yang memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan mazhab, dan jika tidak memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama secara mutlak.
Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk mencapai ijtihad bersama, baik secara mazhab maupun secara mutlak, untuk dapat dipergunakan bila ia diperlukan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Dalam hal ini adalah ijtihad muthlaq muntasib secara kolektif dan ijtihad di bidang tarjih bagi yang memenuhi persyaratan.
Ruang ijtihad muthlaq muntasib dalam konteks di Indonesia, yaitu Lajnah Bahtsul Masail (LBM). Forum Ijtihad Kolektif NU ini berupaya menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf (belum dibahas oleh ulama) dan waqi’iyah yang harus segera mendapatkan kepastian hukum dengan konteks perkembangan zaman.
Istinbath hukum yang digunakan dapat dikerucutkan menjadi dua metode: Pertama, taqlid qouli (tekstualis) yaitu mengambil pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih mu’tabarah.
Kedua, taqlid manhaji (metodologis), yaitu menentukan hukum yang tidak ditemukan dalam kitab mu’tabarah dengan langsung meneliti nash al-Quran dan Sunnah, tetapi tetap dengan metodologi yang diakui dan digunakan oleh para ulama mu’tabar, yang telah dituangkan dalam kitab-kitab ushul fikih.
Metode ke dua sudah seyogianya mendapatkan perhatian yang besar di era ini dan bahkan seterusnya. Hal tersebut dimaksudkan agar umat Islam tidak semakin terjebak pada pandangan-pandangan yang tidak relevan.
Wabakdu, kiranya kita bisa sepakat bahwa ijtihad harus terus dilakukan. Upaya penerjemahan teks, yang kemudian menampakkan nilai-nilai keislaman, seyogianya terus digencarkan.
Tentu kita tidak ingin menyempitkan makna ijtihad langsung kepada al-Quran dan Sunnah. Ijtihad bisa diupayakan melalui literatur fikih, qiyas, ijma, dan sebagainya. Terutama mengikuti perkembangan zaman secara intens agar kemudian dapat menangkap substansinya, sehingga ilmu-ilmu agama dapat merespons realitas aktual secara bijak