Kopiah.Co — Ziarah Ibu Megawati Soekarnoputri ke makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (20/9) memberikan pesan tentang pentingnya spiritualitas dalam menjalani kehidupan berbangsa. Di tengah perang dan konflik yang masih terus terjadi di berbagai belahan dunia kini, Ibu Megawati seolah mengajak para pemimpin dunia untuk menanamkan nilai-nilai relijiusitas yang humanis sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Imam Bukhari (810 M – 870 M) yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadis (pemimpin orang-orang mukmin dalam ilmu hadis) adalah figur penting yang menjaga dan menyebarkan ajaran-ajaran Nabi melalui hadits. Melalui kitabnya Shahih Bukhari atau dikenal dengan al-Jami al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulilah wa Sunanihi wa Ayyamihi, ia mampu menghimpun dan meriwayatkan ribuan hadits dari berbagai tema, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual maupun ibadah fungsional ; sosial, ekonomi, hingga politik.
Di sisi lain, kunjungan Ibu Megawati ke makam Imam Bukhari juga mempunyai dimensi historis dan filosofis. Pasalnya, Bung Karno lah yang meminta kepada pemerintah komunis Soviet saat kunjungan kenegaraannya pada tahun 1956 agar menemukan makam Imam Bukhari. Peristiwa ini menjadi bukti betapa Bung Karno mempunyai perhatian besar pada khazanah intelektual Islam. Dalam konteks ini, kita melihat kunjungan Bu Mega ke makam Imam Bukhari menjadi pencerahan bagi seluruh masyarakat Indonesia agar tidak melupakan sejarah.
Bung Karno, sebagai bapak bangsa adalah figur pemimpin yang menggandrungi khazanah intelektual dan literatur Islam. Pada saat diasingkan di Ende (1934-1938) misalnya, Bung Karno rutin melakukan surat-menyurat dengan T. A. Hassan dan meminta dikirimkan buku-buku, di antaranya adalah kitab Sahih Bukhari. “Begitulah keadaan saya di Endeh; mau menambah pengetahuan, tetapi kurang petunjuk. Pulang balik kepada buku-buku yang ada sahaja”, tulis Bung Karno dalam suratnya yang kemudian dihimpun dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi menjadi judul “Surat-Surat Islam dari Ende”.
Melalui buku, Bung Karno bekenalan dengan Imam Bukhari. Baginya, dengan membaca buku, ia bisa bertemu dengan tokoh-tokoh besar dan mendapatkan ide, gagasan, serta inspirasi. Apalagi, ketika berbicara Islam, Bung Karno ingin mendapatkan informasinya secara langsung dari hadits, sebagai sebuah rujukan utama yang berisi perkataan, perbuatan, serta keteladanan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad adalah pemimpin yang menginspirasi dan sangat dicintai Bung Karno. Sebab itu, bagi Bung Karno, meneladani Muhammad SAW adalah keniscayaan. Sebagaimana dikonfirmasi dalam al-Qur’an, “Sungguh kalian akan menemukan teladan yang luhur dalam diri Rasulullah SAW” (Q.S. al-Ahzab :21). Dari Muhammad SAW kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang memberikan petunjuk pada kebenaran, yaitu yang dapat membangun persaudaraan, perdamaian, kemerdekaan, dan keadilan.
Nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyampaikan, “Agama yang disukai Allah SWT adalah agama yang mengajarkan kebenaran dan toleransi” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Bukhari). Hadits ini memberikan gambaran bahwa kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan sama sekali tidak dibenarkan oleh agama. Pesan mulia ini harus menjadi motivasi gerak langkah kita dalam hidup.
Perhatian Bung Karno terhadap Imam Bukhari menjadi inspirasi penting bagi kita dalam meneladani Nabi Muhammad SAW. Dari perjalanan (sirah) hidup Nabi, kita melihat betapa kebenaran akan menemukan jalannya, satyam eva jayate. Meskipun Nabi menemukan berbagai jalan terjal dalam perjuangan dakwahnya, namun pada akhirnya ia mampu membangun sebuah peradaban umat manusia yang beradab dan bermartabat.
Spirit cinta Bung Karno atas Imam Bukhari ini kemudian dilanjutkan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri. Di tengah kunjungannya ke Uzbekistan dalam rangka menerima gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Silk Road Internasional di Samarkand, Ibu Megawati meluangkan waktu untuk berziarah. Artinya, selain intelektual, bagi Bu Mega, spiritualitas adalah penting sebagai kekuatan kita dalam hidup agar konsisten pada kebenaran dan kebeningan hati.
Di tanah Imam Bukhari, Ibu Megawati mendapatkan gelar Profesor Kehormatan di Bidang Pariwisata Budaya Berkelanjutan (Sustainable Cultural Tourism) yang diserahkan langsung oleh Rektor Universitas Silk Road Internasional sekaligus Menteri Pariwisata dan Warisan Budaya Republik Uzbekistan, Aziz Abduhakimov. Dalam momen tersebut, Ibu Megawati menyampaikan pidatonya yang berjudu ‘Jalan Kebudayaan dan Titik Temu Peradaban’. Selain itu, Ibu Megawati juga mengatakan bahwa pengetahuannya tentang Imam Bukhari adalah karena dikenalkan oleh Bung Karno sejak kecil.
“Dari kecil saya sudah mengenal Imam Bukhari karena ayah saya Presiden Pertama Republik Indonesia yang oleh rakyat Indonesia disebut Bung Karno. Bagi saya, beliau seorang manusia yang luar biasa membuka tabir pengetahuan Islam dalam bunyi-bunyi yang ada di hadis (petunjuk dari Nabi Muhammad SAW). Luar biasa sekali untuk membuat manusia-manusia secara Islami tidak hanya melantunkan “suara” Al Quran tapi melaksanakan dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Semoga di masa depan seluruh manusia di dunia bisa bersatu secara lahir batin. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka, Merdeka, Merdeka“, tulis Presiden Ke-5 Republik Indonesia itu saat melakukan ziarah dan berdoa di kawasan makam Imam Bukhari.
Maka dari itu, momen kunjungan Ibu Megawati ke Uzbekistan, utamanya ziarah ke makam Imam Bukhari mempunyai makna penting sebagai kunjungan yang menegaskan pentingnya nilai, kepemimpinan intelektual, serta spiritualitas dalam membangun peradaban kemanusiaan dan keadilan global. Ibu Megawati merupakan figur pemimpin yang kokoh dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan dalam rangka membangun tatanan kemanusiaan yang damai dan sejahtera.
Sebagai anak bangsa, saya optimis, karena keteladanan itu masih hadir di tengah-tengah kita melalui Ibu Megawati. Figur pemimpin dan Presiden perempuan pertama di Republik ini menjadi motivasi, bahwa dengan rasionalitas dan kebeningan hati, kita dapat berdiri kokoh berjuang untuk kemajuan bangsa dan peradaban umat manusia yang damai, sebagaimana dicita-citakan dalam Pancasila. Merdeka!