Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Artikel Populer

Kopiah.co-Kemerdekaan, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah keadaan berdiri sendiri bebas, lepas, dan tidak lagi terjajah. Namun, merdeka sejatinya bukan sekadar peristiwa yang tercatat dalam sejarah, melainkan sebuah kesadaran kolektif yang harus senantiasa hidup di jiwa bangsa. Ia menuntut kebebasan yang utuh terlepas dari segala bentuk penindasan, tekanan, penjajahan, maupun intervensi asing baik dalam ranah fisik, politik, sosial, maupun kultural.

Oleh karena itu, Kemerdekaan harus memberikan hak penuh bagi suatu bangsa untuk menentukan arah dan nasibnya sendiri. Serta mengarah pada kemampuan suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa campur tangan dari pihak luar. Karena kemerdekaan adalah gerbang menuju cita-cita besar: masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan berdaulat.

Dalam hal ini, proklamator dan pemikir bangsa ini, yaitu presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, telah menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan, melainkan awal dari tantangan yang lebih besar. Menurutnya, Kemerdekaan adalah jembatan emas, yang akan membawa bangsa menuju keadilan dan kemakmuran. Tapi, jembatan itu tidak akan mengantar kita ke mana pun jika kita sendiri tidak berjalan di atasnya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Maka kemerdekaan sejati seyogianya harus menyentuh semua elemen kehidupan berbangsa dan bernegara : politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, hingga moralitas sosial. Maka penting untuk kita merenungkan kembali gagasan Trisakti yang diwariskan oleh Bung Karno : yaitu menjadi bangsa yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga prinsip ini adalah pondasi utama indonesia benar-benar dapat berdiri tegak sebagai bangsa besar tanpa ada intervensi asing.

Namun, melihat keadaan saat ini rasanya Indonesia dihadapkan dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Di tengah usia kemerdekaan Indonesia yang telah menginjak usia 80 tahun. Indonesia masih menunjukan tanda-tanda ketergantungan kepada bangsa lain. Bahkan Dalam dunia politik nasional, dinamika perpolitikan Indonesia sering kali memperlihatkan lemahnya kedaulatan rakyat karena selalu dikuasai oleh kekuatan oligarki yang selalu memainkan peran yang dominan. Yang akhirnya banyak keputusan politik strategis tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, tetapi justru tunduk pada kekuatan modal dan kepentingan jangka pendek.

Di bidang ekonomi, ketergantungan terhadap investor asing dan impor masih sangat tinggi. Alih-alih menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kita malah menjadi tuan rumah untuk bangsa asing yang akhirnya kita sering kali menjadi pasar bagi produk dan gagasan luar. Bahkan, kita sering kali justru menjadi pelayan bagi bangsa lain, seolah-olah masih terjajah.

Alih-alih merdeka, kita justru terus memperkaya kepentingan asing. Dengan demikian kemandirian ekonomi masih jauh dari harapan, terutama ketika harga-harga kebutuhan pokok kerap naik tanpa kendali dan petani, nelayan, serta pelaku UMKM masih berjuang di tengah sistem yang tidak berpihak.

Sementara di ranah budaya, kita kerap kehilangan jati diri. Budaya lokal tergeser oleh budaya instan global yang tidak jarang merusak nilai dan karakter bangsa. Kita seringkali lebih bangga terhadap yang berbau luar, sementara warisan kearifan lokal dilupakan atau dianggap kuno. Terlebih dengan semakin majunya dunia teknologi yang menjadikan media sosial lebih dominan yang mengakibatkan banyaknya  budaya debat kusir dan penyebaran hoaks menjadi lebih dominan dibandingkan narasi-narasi pembangunan karakter bangsa. Yang akhirnya marwah jati diri bangsa Indonesia sudah mulai melemah dan kehilangan eksistensinya.

Ditambah dengan maraknya tragedi-tragedi sosial yang selalu terjadi belakangan ini dari lemahnya penegakan hukum, kekerasan terhadap masyarakat adat, kriminal kejahatan, konflik agraria, hingga degradasi moral di kalangan elit menunjukkan bahwa kita masih jauh dari yang namanya kemerdekaan hakiki. Bahkan, dalam konteks pendidikan, ketimpangan masih tinggi dan belum sepenuhnya menjadi alat pembebasan. Dengan banyaknya lembaga pendidikan yang tidak layak pakai. Yang menjadikan sebagian rakyat belum benar-benar menikmati haknya atas pendidikan berkualitas dan jaminan hidup yang layak.

Karenanya kemerdekaan tidak hanya tentang lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari penjajahan sistemik: kesenjangan sosial, ketidakadilan hukum, eksploitasi sumber daya alam, dan pembodohan massal yang berlangsung secara halus. Dalam situasi seperti ini, penting untuk kita bertanya: apakah kita benar-benar merdeka?

Bangsa ini baru bisa dikatakan merdeka secara hakiki jika sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri, berpikir dengan kepala sendiri, dan hidup dengan kekuatan sendiri. Maka tugas kita hari ini bukan hanya mempertahankan kemerdekaan, tapi mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan, pembebasan dari ketergantungan, dan pemulihan martabat bangsa.

Maka gagasan yang telah Ir. Soekarno berikan untuk Indonesia harus bisa kita renungi dan implementasikan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab oleh semua elemen bangsa. Karenanya kemerdekaan sejati adalah saat di mana seluruh rakyat Indonesia bisa hidup bermartabat, tidak ditindas oleh sistem, dan tidak dipermainkan oleh kekuatan luar. Saatnya bangsa ini kembali meneguhkan nilai-nilai yang diperjuangkan para pendiri bangsa: keberanian, solidaritas, dan kemandirian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Sukarno dan Ibnu Asyur : Visi Kemanusiaan Universal

Kopiah.Co- “Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata:...

Artikel Terkait