Kopiah.Co — Salah satu yang menonjol dari Dwitunggal, Sukarno-Hatta adalah literasi yang melekat pada jiwa kepemimpinannya. Melalui tradisi membaca, mereka menunjukkan pentingnya kepemimpinan intelektual. Dari sang proklamator itu, kita benar-benar percaya bahwa Republik ini dibangun dengan ide dan gagasan.
Ciri Kepemimpinan Intelektual
Kepemimpinan intelektual meniscayakan Bung Karno dan Bung Hatta mempunyai kekuatan daya imajinasi atas masa depan. Tak dimungkiri, melalui budaya baca yang radikal, mereka bergulat dengan berbagai teori, berdialog dengan pemimpin dunia melalui buku, yang kemudian disempurnakan dengan sintesis serta pembumian dalam konteks Indonesia.
Fenomena ini disebut oleh Bung Karno sebagai dunia pemikiran — world of mind — yang dengannya ia bisa bertemu dengan para tokoh besar ‘melalui pemikiran’.
Tak jarang dalam tulisan-tulisannya, baik yang dituangkan melalui Indonesia Moeda, Soeloeh Indonesia Moeda, Fikiran Ra’jat, maupun pleidoi Indonesia Menggugat dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka antara 1926-1933, Bung Karno mengutip tokoh-tokoh besar seperti Bauer, Brailsford, Hitler, Mirabeau, Jean Paul Marat, Konrad Heiden, Jaures, Kautsky, Marx, hingga Troelstra.
Bahkan, Bung Karno juga membaca secara serius tulisan dari para pemikir Islam seperti Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani hingga hadits-hadits Nabi Muhammad.
Namun demikian, Bung Karno menegaskan, meskipun dia mendapatkan ide dari mereka, pemikiran politiknya tidak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh itu. “Pemikiran politik saya adalah campuran dari banyak gagasan. Dan semua ide serta inspirasi itu saya racik dan olah sendiri, kemudian menghasilkan gagasan saya sendiri, seperti Pancasila dan Panca Azimat Revolusi Indonesia“, kata Bung Karno dalam wawancaranya berbahasa Jerman dan Inggris.
Bagi Bung Karno, dengan membaca buku dia menemukan inspirasi dan gagasan. Sebab itu, tak heran jika dia mampu menelurkan ide-ide besar. Peter Kasenda menyebut Bung Karno sebagai bagian penting dari lahirnya The Age of Ideology (zaman ideologi) di Indonesia.
Melalui pikiran-pikirannya, kata Peter, Bung Karno mampu memecah ketenangan rust en orde (keamanan dan ketertiban) kolonial dengan ingar-bingar agitasi, duyunan massa aksi, dan kobaran api radikalisme anti-imperialisme-kapitalisme.
Saya sendiri menyebut Bung Karno, selain pemimpin dan bapak bangsa, adalah pemikir cum-intellectual. Pemikir dengan level ini mempunyai tiga ciri utama. Pertama, dia menguasai banyak bahasa, sehingga mampu mengakses berbagai ilmu pengetahuan.
Kedua, dia mampu menuangkan gagasan dalam tulisan. Ketiga, dia mempunyai keterampilan menyederhanakan perkara-perkara yang sulit dimengerti. Bung Karno benar-benar mempunyai tiga ciri di atas. Ia tumbuh dengan ide-ide besar.
Dari pergulatan dan dialektika pemikiran itulah Bung Karno melahirkan Marhaenisme, Pancasila, hingga Trisakti ; berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dan kebudayaan. Pikiran-pikirannya menjadi sikap dan garis politik yang kokoh.
Perlawanan atas segala bentuk imperialisme dan kolonialisme sesungguhnya menjadi ciri betapa kokohnya pemikiran Bung Karno menentang exploitation de nation par nation (penindasan bangsa atas bangsa). Pikiran-pikirannya sejak muda, hingga perhelatan KTT Asia-Afrika tahun 1955 dan sidang umum PBB pada 30 September 1960 benar-benar menjadi bukti, bahwa pikiran Bung Karno istiqomah (konsisten), anti penjajah dan penjajahan.
Hingga hari ini nama Bung Karno harum sebagai pembela kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, dari semenanjung Balkan, Aljazair, Tunisia, hingga India. Saya sendiri menyaksikan langsung di Tunisia, betapa nama Bung Karno dihargai dan dihormati. Kini, di Tunisia ada nama jalan Rue du Leader Ahmed Soekarno, jalan Bapak Bangsa Ahmad Sukarno.
Pentingnya Kepemimpinan Intelektual
Ibnu Khaldun, yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Dunia asal Tunisia, dalam bukunya Muqaddimah, menyatakan bahwa ciri kemajuan suatu peradaban dilihat dari penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, bagi Ibnu Khaldun, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sekaligus menguasai segala bidang ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun juga mengatakan syarat bagi seorang pemimpin adalah kecerdasan intelektual.
Namun demikian, dalam konteks Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa sesungguhnya adalah janji konstitusi. Artinya, sampai kapan pun, pembelaan atas ilmu, kecerdasan, hingga pendidikan masa depan anak bangsa harus menjadi prioritas. Sehingga, dengan begitu, kita benar-benar dapat membangun kepemimpinan intelektual yang matang di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai modal terwujudnya peradaban yang gemilang.
Pada saat yang bersamaan, kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun, adanya gap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan Republik ini tertinggal dalam banyak hal. Ditambah perilaku koruptif, budaya kolusi dan nepotisme yang mengakar dapat membuat bangsa ini sulit melesat maju.
Situasi geopolitik yang terjadi mutakhir pun sesungguhnya semakin jelas mendorong kita akan pentingnya kepemimpinan intelektual. Peta geopolitik sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi, sosial, dan politik kita. Sebab itu, dibutuhkan suatu kepemimpinan intelektual yang bisa membaca masa depan, yang berbasis pada ilmu pengetahuan.
Kepemimpinan intelektual harus menjadi perhatian besar kita semua. Bagi seluruh anak bangsa, terutama kita generasi muda, untuk mencapai kepemimpinan intelektual, kita bisa memulainya dengan tradisi membaca buku, berdiskusi, serta menulis. Dengan demikian, kita akan bertemu dengan ide-ide besar, sebagaimana pepatah Perancis, “Les grands esprits se rencontrent”.
Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, hingga Syahrir harus menjadi teladan dan role model dalam kepemimpinan intelektual kita. Mereka menggembleng dirinya sejak dini dengan ilmu dan gagasan yang menjadi ruh dalam menjalankan pengabdiannya untuk bangsa dan negara. Sekali lagi, kita harus meyakini, bahwa kepemimpinan intelektual adalah amanah peradaban — sesuai perintah pertama dalam Al-Qur’an, Iqra’ (bacalah) — yang harus kita sadari dan nyalakan selama hayat masih di kandung badan.