Penjara Sukamiskin dan Spiritualitas Sukarno

Artikel Populer

kopiah.co — “Badanku sudah letih lesu, dan otakku seolah-olah tertidur (lethargie), sehingga kitab yang terbuka di hadapanku tidak terbaca lagi, dan belajar pun tak ada hasilnya. Sebentar lagi pukul sembilan, cahaya mesti digelapkan dengan tidak dapat disangkal lagi ; baiklah begitu, karena hari ini sudah bekerja keras, dan besoknya bekerja keras lagi, dan kedua-duanya memaksa saya mesti lekas pergi tidur”, tulis Sukarno menjelaskan keadaan di penjara Sukamiskin, Bandung.

Pejuang tidak diciptakan dalam satu malam. Ia dibentuk melalui proses yang panjang. Ia ditempa dengan berbagai kesulitan dan susah payah. Perjalanan perjuangan Sukarno untuk menggapai kemerdekaan Indonesia tidak berjalan dengan mulus dan lancar. Ia beberapa kali dipenjara. Ia juga beberapa kali diasingkan. Tetapi, jika kita membaca cerita perjuangan para pendiri bangsa di belahan dunia mana pun, Tunisia misalnya, Habib Bourguiba, Presiden pertama Tunisia juga mengalami mencekamnya suasana di penjara — kisah pedihnya dapat kita baca dalam buku “Min Jakarta ila Carthaj” atau “Dari Jakarta menuju Carthage” karya Rasyid Driss — ketika Bourguiba memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya, Tunisia.

Kembali ke Sukarno. 9 Desember 1929, Sukarno dijebloskan ke Penjara Banceuy selama delapan bulan yang kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin karena tuduhan subversif (rencana pemberontakan bersenjata) yang bertujuan untuk menggulingkan kekuatan Hindia Belanda. Saat itu, Sukarno dijatuhi hukuman selama empat tahun. Tetapi, Sukarno hanya menjalani hukuman setengahnya, yaitu dua tahun sehingga bebas pada 31 Desember 1931.

Melalui tulisannya yang dimuat dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi”, Sukarno menceritakan keadaan di penjara Sukamiskin yang sulit dan melelahkannya. Ia bercerita, bahwa pertama masuk ke lapas Sukamiskin rambutnya digunduli, hampir semua barang yang dibawanya dari rumah tahanan Bandung diambil oleh petugas, ia dipekerjakan secara tidak manusiawi, mandi dengan waktu yang dibatasi hanya enam menit saja, hingga tidur di kamar yang luasnya hanya 1,50 × 2,50 M.

Berbeda dengan di Penjara Banceuy sebelumnya, di Sukamiskin Sukarno tidak bebas mendapatkan akses koran atau surat kabar, ia juga tidak bisa membaca buku dengan tenang karena banyak waktu yang dipakai dengan dipekerjakan dari pagi sampai malam secara tidak manusiawi oleh petugas di penjara. “Saya coba-coba mengusahakan supaya waktu dalam bilik kecil ini hasilnya besar. Sampai sekarang percobaan itu tidak ada gunanya. Karena tahadi telah saya katakan ; saya tidak dapat belajar dengan baik, karena badan susah payah”, tulis Sukarno.

Ia juga bercerita bahwa saking kerasnya pekerjaan yang diperintah dan banyaknya larangan yang diatur oleh petugas lapas, membuat Sukarno seperti mengidap penyakit anemia. “Otak seolah-olah dapat penyakit kekurangan darah (anemia), sehingga tidak dapat yang banyak diterima dan difikirkannya ; otakku merasa lekas benar penuh isinya, lekas payah. Alangkah baiknya, sekiranya ada surat kabar. Tetapi segala surat kabarku ditahan, begitu juga surat berkala ; sedangkan “d’Orient” tak boleh saya terima”, tulis Sukarno menjelaskan keadaan di Penjara Sukamiskin yang pedih itu.

“Dahulu dalam rumah tahanan hidupku telah dibatasi, sekarang batasnya bertambah sempit lagi. Segalanya di sini dikerjakan dengan suruhan komando; makan, pulang balik ke tempat bekerja, makan, mandi, menghisap udara, keluar masuk bilik kecil, semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris; semuanya seolah-olah disamakan dalam satu derajat, tempat kemauan merdeka mesti dihilangkan”, tulis Sukarno. Tetapi, rasa lelah, susah payah, dan pedihnya kehidupan di penjara Sukamiskin itu tidak menghentikan langkah Sukarno untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sukarno tetaplah Sukarno. Sosok pejuang yang mengorbankan jiwa dan raganya untuk mengabdi tiada henti kepada negara yang dicintainya. Sukarno menuliskan lagi, bahwa “Walau di mana sekalipun, patutlah kemajuan itu diusahakan!”. Hatiku tinggal tetap; selalu insyaf akan diriku: tak pernah aku melupakan suara hatiku. Dan selalu saya mengusahakan kemajuan itu, baik dahulu atau sekarang”. Ia juga menambahkan, ditulisannya, dengan mengutip perkataan Sir Oliver Lodge, seorang Fisikawan Inggris dan spiritualis yang mengatakan, “no sacrifice is wasted“, atau “tidak ada pengorbanan yang sia-sia”.

Tak dapat dipungkiri bahwa Sukarno menemukan momentum pematangan keyakinan ketuhanan dan keagamaannya selama di penjara. Ia menjadikan masa-masa hidupnya selama di penjara sebagai masa tafakur, perenungannya tentang Tuhan, Agama, dan prosesnya dalam pematangan spiritualitas. Kepada Cindy Adams, Sukarno menyampaikan bahwa di dalam penjaralah ia menemukan Islam dengan sungguh-sunguh dan menjadi penganut Islam yang sebenarnya. Penderitaan yang dirasakan Sukarno selama di penjara menciptakan kesadaran religius dalam dirinya.

Sukarno mengatakan, “Bangsa Indonesia dilahirkan untuk mengabdi kepada Tuhan. Bukan soal kepercayaan mana yang kami lalui, kami mengaju hanya kekuasaan Tuhan-lah yang dapat membuat kami bertahan melalui abad-abad penderitaan kami. Kami adalah bangsa agraris dan apa yang membuat segala sesuatu tumbuh? Tuhan, Yang Maha Pencipta! Kami menerima hal ini sebagai kenyataan hidup”.

Sukarno, dan para pahlawan kemerdekaan Indonesia ditempa dengan kesulitan dan penderitaan yang menyakitkan. Tetapi di dalam susah payah itu, mereka sadar akan keberadaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Kesadaran itu dibuktikan dalam pembukaan UUD 1945, mereka menyampaikan pengakuannya dengan rendah hati dan penuh rasa syukur bahwa “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa” kemerdekaan Indonesia bisa dicapai.

Yudi Latif, dalam bukunya Mata Air Keteladanan menyampaikan bahwa pengakuan tersebut mencerminkan sikap religiusitas para pendiri bangsa yang dalam pergulatan panjangnya dengan berbagai kesulitan, kemeralatan, dan penderitaan merasakan betul makna kehadiran, perlindungan, dan kasih sayang Tuhan. Ketuhanan menjadi dimensi penting yang ada dan hidup di dalam jiwa Sukarno dan para pendiri bangsa, sehingga sila pertama dalam Pancasila pun merupakan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno juga dengan lantang mengatakan, “Hendaknya negara Indonesia ialah negar yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme” agama. Dan hendaknya negara Indonesia ialah negara yang bertuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah saling hormat menghormati satu sama lain”.

Terakhir, penderitaan yang dirasakan Sukarno pada masa-masa hidupnya selama di Penjara oleh para penjajah, membentuk pemikiran keislamannya tentang Islam yang antikolonialisme dan imperialisme. Maka itu, jelas-jelaslah, bahwa dalam perjalanan perjuangan Sukarno, ia tumbuh sebagai pemimpin politik dengan penghayatan spiritual yang dalam. Pemahaman keislaman yang ada dalam jiwa Sukarno merupakan Islam yang dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya dunia kemanusiaan, Islam sebagai rahmatan lil’alamin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Bung Karno, Ibu Megawati, dan Imam Bukhari

Kopiah.Co — Ziarah Ibu Megawati Soekarnoputri ke makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (20/9) memberikan pesan tentang pentingnya spiritualitas...

Artikel Terkait