Imam Akbar, Pembaharuan dan Inklusifitas

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Berbeda dengan Indonesia, wacana pembaharuan di Mesir senantiasa hangat dan menarik. Buktinya, pada tahun 2015 kemarin, Al-Azhar mengadakan muktamar dengan mengangkat tema “An-Nadwah at-Tahdhîriyah li Mu’tamar Tajdîd al-Fikr wa al-‘Ulum al-Islâmiyyah”. Saking ramainya, wacana tajdid menghadirkan sebuah kekhawatiran tersendiri. Imam Akbar Ahmad ath-Tayyib dalam buku al-Maqâlât fi at-Tajdîd menyatakan bahwa istilah tajdid kini kian memudar karena dikelilingi oleh hal-hal yang membahayakan. Lebih tepatnya, kata tersebut saat ini justru dicitrakan dengan paham-paham yang justru ambigu: tidak menjadi solusi bagi krisis umat beragama, namun malah menambah runyam permasalahan.

Banyak penafsiran dari beberapa kalangan pemikir dan cendekiawan muslim perihal makna yang dimaksudkan dari tajdid. Pembahasan kemudian mengerucut pada satu persoalan: bagaimana seharusnya kita mengambil sikap, apakah taklid terhadap turats atau mengikuti arus modernitas?

Sebagian kalangan menafsirkan bahwa pembaharuan harus disikapi sebagai penolakan, baik sebagian ataupun secara menyeluruh atas diskursus keagamaan (al-khitâb al-dînî). Kalangan ini seringkai diwakili oleh kaum pro-Barat dan anti (lebih jelasnya sebagai upaya memutus) turats. Kita tidak perlu jauh merenung untuk bisa menangkap fatalnya penafsiran model ini.

Ada yang mengartikan tajdid sebagai gerakan pemurnian kembali kepada pemahaman abad ketiga hijriah. Artinya mengikuti secara mutlak apa saja yang diajarkan oleh kaum salaf as-sâlih. Pemaknaan seperti ini, menurut Imam Akbar seakan mengerdilkan keluwesan agama Islam sebagaimana yang dipresentasikan oleh para ulama sekian ratus tahun lamanya. Kecenderungan seperti ini juga sulit diterima karena bagaimana mungkin Islam yang dipahami sebagai agama yang relevan di setiap zaman, akan terkesan kaku karena tidak mampu berinteraksi dengan perubahan-perubahan di dunia.

Lebih jauh lagi, Imam Akbar dengan tegas menjelaskan, bahwa Al-Azhar memang menisbatkan dirinya kepada mazhab Asy’ariyah. Tapi fakta tersebut tidak membuat Al-Azhar menutup diri, artinya baik mazhab sunni dan non-sunni sekalipun sama dipelajari di Al-Azhar sebagai sikap intelektual yang objektif, yang mana sikap tersebut lahir dari manhaj majemuk (al-manhaj at-ta’addudi) yang dimiliki oleh Al-Azhar. Kita memang menganut suatu mazhab tertentu, tapi kita juga mempelajari semua keilmuan islam dari mazhab apa pun, karena selama masih termasuk bagian ahlul qiblah, semua mazhab masih berada di bawah naungan Islam. Spirit keterbukaan seperti ini menjadi penting karena bangsa Arab hingga detik ini masih merasakan luka takfirisme oleh sebagian kalangan.

Imam Akbar juga menegaskan, bahwa sikap Al-Azhar yang mengikuti mazhab asy’ari bukan berarti sikap fanatisme belaka atas satu aliran atau tokoh tertentu. Karena faktanya Imam Asy’ari bukan perumus suatu aliran secara independen sebagaimana aliran Muktazilah, akan tetapi beliau adalah penerus sekaligus penjelas bagi manhaj salaf as-sâlih. Hal ini sesuai dengan statemen Imam Baihaqi RA yang dikutip oleh Ibnu Asakir:

Al-Asy’ari tidaklah memberikan sesuatu yang baru dalam agama ini, juga tidak mengajarkan perkara bidah, akan tetapi ia mengambil pendapat para sahabat, tabiin, serta imam-imam yang hidup setalahnya perihal pokok-pokok agama, lalu dia mendukung pendapat-pendapat tersebut dengan memberi uraian dan syarah yang jelas, bahwa apa saja yang dikatakan para pendahulu tentang pokok-pokok agama dan syariat itu memang sesuai dengan logika. Berbeda dengan pendapat-pendapat yang tidak logis yang diujarkan oleh mereka yang mengikuti hawa nafsu.” (Lihat Maqâlat fî at-Tajdîd hal. 11)

Para ulama terdahulu mengartikan tajdid sebagai upaya kembali untuk mengamalkan al-Quran dan hadis secara benar, serta menghilangkan apa saja pemahaman yang mengotorinya berupa bidah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Lalu pertanyaannya: apakah untuk saat ini kita cukup dengan ungkapan begitu sederhana itu, mengingat jika itu dilakukan kita akan menghadapi problem-problem masa kini yang sulit dipecahkan?

Oleh karena itu, Imam Akbar berupaya memberikan jawaban, beliau mengatakan, “Sesungguhnya permenungan yang mendalam atas karakter risalah agama Islam akan mengantarkan kita pada suatu fakta, bahwa konsepi tajdid/pembaharuan dan Islam itu sendiri diibaratkan dengan dua sisi wajah dari pekerjaan yang sama, atau sekurang-kurangnya keberadaan tajdid diartikan sebagai salah satu penguat agama islam, karena jika konsepsi tajdid bisa terlaksana maka peranan agama telah terwujud secara nyata pula, dan jika konsepsi tersebut jumud, maka (makna dan peran) agama menjadi jumud pula.” (Lihat Ibid hal 17)

Ringkasnya, Imam Akbar berpendapat bahwa satu-satunya pihak yang bisa mewujudkan spirit tajdid adalah mereka yang ia namai sebagai al-islahi al-wasathi, yakni kaum reformis yang moderat. Pihak inilah yang sanggup untuk mengemban amanah tajdid, yakni mereka yang seimbang, tidak merubah ataupun mengurangi kesakralan agama, tidak condong ke kanan maupun ke kiri.

Adapun langkah yang mesti diambil ialah dengan bertolak dari pemahaman yang benar atas al-Quran dan hadis, dan adanya keselarasan antara warisan turos dan ide-ide kontemporer. Kerja ini tidak bisa dipukul rata, dalam arti diwakili oleh satu pihak secara keseluruhan, tanpa adanya nalar yang beragam dan majemuk. “Maka yang perlu diupayakan adalaha bagaimana agar spirit tersebut tidak menumbuhkan pergesekan dan saling menegasikan (antar kelompok), juga tidak mendaku kebenaran kedalam satu golongan saja, dalam arti bisa dilakukan oleh pihak manapun yang mempunyai kesamaan manhaj atau spirit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait