La Hukma Illa Lillah (2)

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kalimat ini memiliki arti “Tiada hukum kecuali milik Allah”. Sebuah kalimat yang begitu manis terdengar, apalagi bagi orang yang merasa bejat dan ingin menuju arah pencerahan reliji. Saat disodori statemen ini, maka seketika ia ngiler: sepakat, apapun siap diberikan dan dikorbankan!

Kadang kita lebih pintar menginginkan sesuatu. Padahal selain itu, kita juga perlu mengetahui bagaimana cara mewujudkannya.

Rupanya perihal kehidupan bisa disederhanakan dalam beberapa kata berikut: bagaimana manusia memilih tujuan hidup yang benar, lalu bagaimana cara dia menempuh proses dengan cara yang tepat pula.

Orang yang hendak berbicara hukum agama dengan merujuk kepada teks-teks suci secara langsung, tanpa disertai ilmu-ilmu alat dan ilmu syariat yang tepat, maka sama saja ia ingin buru-buru kaya tapi dengan ikut investasi bodong. Pada awalnya menggoda dan begitu menggiurkan, lalu uangnya akan menghilang seketika dalam waktu singkat.

Tidak ada yang benar-benar instan dalam kehidupan ini. Mie instan saja tidak bisa langsung dimakan, pertama-tama kita harus membuka bungkusnya, lalu memasaknya sesuai tata cara yang tepat. Indomie goreng yang dikasih kuah rasanya “anyep”, sedangkan mie kuah tanpa dikasih air sama sekali begitu asin dan kurang sedap.

Satu-satunta yang boleh berhak dan bertindak secara instan hanyalah Allah SWT melalui sifat qudrah dan irâdah-Nya.

Beragama dengan cara-cara yang instan adalah kenaifan belaka. Orang ingin segera masuk surga, dia tidak memikirkan bagaimana kebijaksanaan etika dan ritme-ritme keberagamaan halus nan indah, kemudian secara singkat dia (baik sendiri maupun berkelompok) bersiap menyerang orang lain, entah secara idealis (takfiri) ataupun anarkis, yang dianggap jauh dari kemurnian: tafsir keislaman yang dipaksakan!

Selain berlawanan dengan karakter kemanusiaan dan kebudayaan, fakta demikian itu juga melawan arus sejarah Islam itu sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa Islam adalah agama peradaban. Pada mulanya wahyu diturunkan dari langit ke Jazirah Arab, sebuah daerah yang terasing, kering, tandus, jauh dari arah kemajuan di masanya. Lalu tiba-tiba saja berkat dalam waktu sekejap bangsa arab menjadi sangat legendaris karena mampu berhadapan dengan dua kekuatan besar, imperium Romawi dan Persia. Dalam waktu yang sama, pesan-pesan ilmiah dan spirit rasionalisme yang diajarkan oleh Al Quran mampu membangkitkan kesadaran kaum muslim untuk terus berpikir dan berkarya.

Bangsa yang pada mulanya dikenal ummi, yakni tidak mengenal baca tulis, tiba-tiba saja melahirkan peradaban yang mampu berdialektika dengan filsafat Yunani.

Selain karena spirit berpikir yang diajarkan oleh Al Quran, motif lain yang mendasari mengapa spirit literasi begitu kentara dalam sejarah Islam adalah karena kecintaan kaum muslim terhadap ajaran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab suci berbahasa arab, maka mau tidak mau orang Islam menjadi begitu perhatian dengan hal-hal kebahasaan. Kemudian lahirlah ilmu Nahwu dan Sharaf yang diinisiasi oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA dan kemudian disempurnakan dasar-dasar gramatikalnya oleh Abu al-Aswad al-Duali.

Setelah Ilmu Nahwu dikodifikasi sebagai alat pengukur ketepatan bahasa arab secara gramatikalnya, lalu kaum muslim meneliti Al-Qur’an dari segi isyarat maknanya (Dilâlah al-Alfâdzh). Bahasa arab adalah bahasa yang khas dan kaya akan seni linguistiknya. Kapan subjek harus didahulukan atau diakhirkan dari kata kerja. Lalu kapan predikatnya menggunkan kata kerja atau kata sifat. Kapan sebuah kalimat perlu dikemas dalam bentuk khabar atau insyâ’. Dan masih banyak bentuk-bentuk yang lain yang menjadi fokus kajian ilmu ini yang kemudian hari dikenal dengan Ilmu Bayan atau Ilmu Balaghah. Pada mulanya ilmu ini dibahas secara terpisah oleh para sastrawan arab seperti Al Jahidz, Qudamah, Ja’far bin Yahya. Baru kemudian dikodifikasi dan menjadi kaidah-kaidah yang sistematis oleh Abdul Qahir al-Jurjani, namun dalam pendapat lain yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun, yang pertama kali melakukan kodifikasi adalah Al-Sakaki dalam bukunya al-Miftah, kemudian disempurnakan oleh al-Qazwînî melalui kitabnya berjudul Talkhîs.

Buah dari Ilmu Bayan, sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Kholdun, adalah untuk menjangkau (menyaksikan) kemukjizatan Al Quran. Hingga pada akhirnya muncul Jârullah Zamakhsyari yang berhasil menulis tafsir-tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ilmu Bayan tersebut. Karya Zamakhsyari tersebut begitu fenomenal, meski banyak ulama setelahnya yang memberi catatan (Hâsyiyah), juga kritik karena kecenderungannya pada mazhab muktazilah. Diantara komentator terbaik atas karya Zamakhsyari yang mampu menetralkan Ilmu Bayan, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnu Khaldun, sesuai dengan madzhab sunni adalah Syarafuddin al-Thayyibi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait