Songkok; Simbol Nasionalisme dan Kesunnahan Agama

Artikel Populer

Ditulis oleh: Raja Amar Jayakarta – Mahasiswa Universitas Al-Azhar

Dalam kehidupan manusia, pakaian merupakan kebutuhan primer bagi setiap individu. Rupa dan macamnya pun berbeda-beda, setiap orang memiliki kriteria dan standardisasi dalam berpakaian. Beberapa orang menjadikan fungsi pakaian sebagai identitas diri, simbol budaya, perhiasan, ciri status sosial, simbol agama atau status gender.

Dengan berkembangnya jenis pakaian dari masa ke masa, tentu akan memudahkan kita memilih busana yang pas dan nyaman sesuai kebutuhan kita. Tersebab secara psikologis, seseorang akan cenderung menggunakan pakaian yang cocok dan nyaman untuk menginterpretasikan dirinya. Sehingga hal itu menjadi sebuah identitas yang mudah dikenali oleh orang lain. Tak terkecuali, masyarakat Indonesia yang sering mengenakan songkok berwarna hitam sebagai budaya dan identias bangsa mereka.

Berdasarkan keterangan Rozan Yunos dalam The Origin of The Songkok or Kopiah, songkok diperkenalkan oleh pedagang arab yang masuk ke wilayah Asia Tenggara. Khususnya mereka yang masuk ke tanah Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam pada abad ke-13. Penutup kepala seperti songkok juga ditemukan pada beberapa wilayah Nusantara, seperti songkok Recca di Bone, Sulawesi Selatan. Songkok Recca biasanya terbuat dari serat pelepah daun lontar.

Pada awal penamaannya, penutup kepala semacam itu biasa disebut “songkok” di semenanjung tanah Melayu. Sedangkan masyarakat Jawa lebih mengenalnya dengan sebutan “kopiah” atau “kopeah”. Adapun peci, menurut Sukarno berasal dari bahasa Belanda yang tersusun dari dua kosa kata, yaitu pet yang berarti topi dan ye yang berarti kecil. Sekarang, definisi songkok menurut KBBI ialah tudung kepala untuk kaum pria, biasanya dibuat dari beledu, berbentuk meruncing kedua ujungnya dan merupakan sinonim dari kata peci dan kopiah. (KBBI V)

Pemakaian songkok di Nusantara mulai dipopulerkan oleh Bung karno. Tercatat Ketika menghadiri rapat Jong Java pada tahun 1921 di Surabaya, beliau menegaskan tentang pentingnya sebuah simbol dari kepribadian atau identitas Indonesia. Mengingat saat itu, kolonial Belanda sempat mewajibkan para mahasiswa kedokteran STOVIA untuk berpakaian sesuai daerah asalnya. Aturan itu mengakibatkan banyak muda-mudi dan tokoh pergerakan mempunyai rasa fanatisme terhadap kelompok mereka masing-masing. Sehingga melemahkan persatuan mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia kala itu.

Bersumber dari buku autobiografi beliau berjudul “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, ditulis oleh seorang jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Dalam buku itu tertulis bahwa pada mulanya Bung Karno merasa takut dan malu ditertawakan. Akan tetapi, beliau menegaskan kepada dirinya bahwa ia harus menjadi sosok pemimpin yang berani menunjukan identitas bangsanya di kancah dunia.

Tentu saja, bukan tanpa alasan Bung Karno memilih songkok sebagai simbol nasionalisme. Sebelum dikenal menjadi pelopor pemakaian songkok, gurunya dr. Cipto Mangunkusumo lebih dulu sering terlihat mengenakan songkok ketika hadir dalam rapat-rapat pergerakan. Oleh karena itu, Bung Karno memilih hal tersebut karena berkaca kepada gurunya. Bagaimana tidak? Sejak kecil beliau sudah banyak belajardari gurunya dalam perihal kepemimpinan, bahkan tak jarang ia diikutsertakan dalam rapat-rapat  penting persiapan kemerdekaan.

Meskipun bangsa Indonesia telah mengalami perkembangan di berbagai aspek, termasuk sosial budaya, songkok tetap menjadi cerminan rasa nasionalisme yang lestari dan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Hal demikian menunjukan keberhasilan Bung Karno dalam upaya menumbuhkan serta mengokohkan persatuan terhadap rakyatnya.

Namun, tidak sedikit orang mengartikan bahwa songkok merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang ditujukan kepada setiap pria muslim. Anggapan itu munvul disebabkan mayoritas pria muslim mengenakannya, baik ketika hendak melangsungkan ibadah atau kegiatan yang lainnya. Padahal, dengan merujuk sejarah diatas, penggunaan songkok merupakan produk budaya yang menjadi simbol persatuan bangsa Indonesia ketika krisis identitas saat itu. Urgensi identitas menjadikan Bung Karno untuk mendeklarasikan pernyataan dan sikap yang sesuai dalam menginterpretasikan pribadi bangsa Indonesia.

Bukti lain bahwa songkok bukan merupakan ajaran Islam, yaitu saat Ir. Basuki Cahaya Purnama atau yang kerap dipanggil Ahok terlihat memakainya. Beliau yang bukan beragama Islam tetap berhak mengenakannya atas dasar nasionalisme bangsa Indonesia. Maka dari itu, tidak ada larangan untuk mengenakannya sebab ia bukan beragama Islam.

Di sisi lain, fenomena banyaknya umat muslim mengenakan songkok, baik ketika melaksanakan sholat maupun sekadar sabagai perhiasan, hal itu tidak lain karena ada kesunnahan apabila mengenakannya. Sebagaima yang diungkapkan Sayyid Abdurrahman Ba Alawi, Mufti Hadramaut, di dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin, bahwa memakai songkok itu dihukumi sunnah seperti mengenakan imamah.

Kesunnahan itu mulanya bersumber dari banyaknya hadis dhoif yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berkhutbah dengan menggunakan imamah. Definisi sederhana dari imamah itu sendiri ialah serban atau turban yang terbuat dari kain panjang dan diikatkan di atas kepala. Namun, dengan adanya hukum Islam yang fleksibel meyesuaikan waktu dan tempat dalam ranah tertentu, ulama mengkategorikan hukum memakai peci songkok seperti halnya memakai imamah.

Setelah kita ketahui bersama, bahwa songkok merupakan lambang nasionalisme dan termasuk sunnah ketika memakainya. Maka dari itu, songkok yang merupakan produk budaya ternyata tidak bertentangan dengan agama, bahkan agama menerimanya sebagai suatu kesunnahan. Selain itu, songkok bisa menjadi pemersatu dan menginterpretasikan identitas bangsa Indonesia. Bangsa yang berideologi pancasila serta bangsa yang memiliki umat muslim terbanyak didunia.

Tersambungnya estafet pemakaian songkok sejak dahulu hingga sekarang,  menjadi bukti konsisten nya bangsa Indonesia terhadap semangat nasionalisme. Selain Bung Karno yang mempopulerkan songkok, ada banyak tokoh pejuang kemerdekaan yang sering mengenakan songkok kala itu. Seperti, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Jendral Sudirman, dan dr. Cipto Mangunkusumo.

Hemat penulis, sudah seyogianya kita mengucap syukur sebab budaya itu tetap terjaga bersama manfaatnya bagi kesatuan bangsa. Akan tetapi, meskipun songkok menjadi simbol nasionalis bangsa, ada hal-hal yang perlu kita ingat sebagai generasi muda. Yaitu, bagaimana kita memajukan bangsa serta merawat peradaban yang ada di dalamnya sampai kepada generasi selanjutnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait