Laku Penyimpangan Seksual Apakah termasuk HAM?

Artikel Populer

Perbincangan tentang laku penyimpangan seksual atau dikenal dengan istilah LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) sempat kembali mencuat di kalangan masyarakat Indonesia. Penyebabnya lantaran salah satu artis senior yang juga seorang perempuan transgender memberikan wasiat kepada ahli warisnya. Ia berpesan tentang keinginan setelah meninggal untuk dikebumikan sesuai dengan statusnya sebagai transpuan. Wasiat tersebut cukup membuat ramai jagat media sosial, para tokoh agama pun dimintai pendapat oleh publik. Mayoritas ulama sepakat bahwa artis transpuan tersebut harus dikebumikan sebagai laki-laki sebagaimana fitrahnya. Wasiat yang dikehendakinya pun menurut ulama tidak dapat dijalankan karena telah menyalahi hukum agama.

Segelintir tokoh yang lain berpandangan, bahwa dia harus dikebumikan sebagai perempuan. Mereka beralasan karena seumur hidupnya, artis senior ini telah menjalani peran sebagai sosok perempuan. Orang-orang yang berpendapat seperti ini mengklaim, bahwa agama tidak mengindahkan hak asasi manusia bilamana tetap mengebumikannya sebagai laki-laki.

Indonesia dan Penyimpangan Laku Seksual

Indonesia adalah negara dengan kuantitas pelaku LGBT terbanyak ke-5 dalam survei 2016. Kendati demikian, LGBT tetap tidak diterima begitu saja dalam masyarakat Indonesia. Hal itu ditolak karena laku penyimpangan seksual tidak sesuai dengan norma, etika, budaya, dan agama mayoritas
penduduk Indonesia. Bahkan, secara tegas MUI (Majelis Ulama Indonesia) menolak perilaku LGBT. Begitupun dengan Pengurus Besar Nahdatul Ulama, KH. Said Aqil Siradj mengatakan, konsensus antara ahli hukum Islam menyatakan bahwa seksualitas LGBT dilarang.

Menurut biopsikologi, perilaku LGBT tidak dipengaruhi oleh hormon, melainkan rangsangan otak yang dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika ada yang mengatakan, bahwa perilaku LGBT merupakan naluri alamiah yang tidak bisa ditolak. Berdasarkan
itu, LGBT adalah penyimpangan seksual dan sebuah penyakit yang harus disembuhkan.

Sejak tahun 1990 sudah digunakan istilah LGBT yang terdiri dari, 1) Lesbi, yaitu perempuan yang
tertarik dengan perempuan; 2) Gay, yaitu laki-laki yang tertarik dengan laki-laki; 3) Biseksual, yaitu laki-laki atau perempuan yang tertarik dengan laki-laki dan perempuan secara bersamaan; 4) Transgender, yaitu seseorang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya.

Dalam pandangan Islam istilah LGBT dikenal dengan, 1) Liwath yaitu Gay; 2) Sihaq yaitu lesbi; 3) Takhanuts yaitu banci; 4) Tarajjul yaitu tomboi. Semua penyimpangan seksual tersebut dilarang dalam agama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang berulang kali mengatakan, “Terlaknatlah orang yang melakukan perbuatan kaum Luth!” Seperti yang diceritakan dalam al-Quran, kaum Nabi Luth adalah kaum yang menyukai sesama jenis.

Kemudian, dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 termaktub, bahwa hanya dikenal ada dua jenis kelamin, yaitu perempuan dan laki-laki. Sedangkan dalam fikih disebutkan terdapat jenis kelamin ketiga, yaitu khuntsa; jenis kelamin ganda, maksudnya, seseorang yang terlahir dengan dua jenis kelamin,karena disinyalir memiliki dua alat kelamin yang sama-sama berfungsi. Selanjutnya, tinjauan medis akan menentukan status khuntsa dengan jenis kelamin sesuai kecondongan hormon di dalam tubuhnya. Langkah menentukan status khuntsa lewat tinjauan medis ini sesuai dengan perkataan Imam Syafi’i, “Al-Ilmu huwa tib,” ilmu itu yang sesuai dengan medis.

Adapun seseorang yang terlahir dengan satu jenis kelamin, kemudian mengubahnya, hal itu tidak termasuk dalam kategori khuntsa. Pandangan Islam dengan jelas mengatakan hukumnya haram bagi seseorang yang mengubah jenis kelaminnya. Hal demikian lantaran termasuk dari perbuatan yang mengubah ciptaan Tuhan. Di samping itu, penyimpangan seksual berupa kehendak untuk mengubah jenis kelamin, bisa mengacaukan ajaran agama serta mengganggu norma masyarakat. Misalnya, seseorang yang terlahir sebagai laki-laki, kemudian mengubah dirinya menjadi perempuan, jika dia menikah, pernikahannya tidak sah secara hukum negara juga agama. Hal itu terjadi karena pernikahan transgender sama saja dengan pernikahan antara sesama jenis. Secara tinjauan medis pun pernikahannya tidak akan dapat meneruskan keturunan. Seandainya ia memiliki hubungan dengan sesama pelaku penyimpangan seksual yang bertujuan tidak menikah pun, hal itu telah menyalahi norma masyarakat, karena dianggap telah melakukan tindak asusila.

Indonesia, Umat Islam, dan Penegakan Hak Asasi Manusia

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi HAM, pun demikian negara sangat menghormati ajaran agama yang dianut oleh setiap penduduknya. Hak asasi yang berdasarkan legitimasi perundang-undangan di Indonesia bukan hanya sekadar hak per-individu, melainkan lebih universal lagi yang termasuk juga hak golongan. Oleh karena itu, kendati LGBT digaung-gaungkan sebagai hak asasi manusia dalam ranah kebebasan berekspresi, namun perilaku menyimpang ini
dapat mengganggu ketertiban masyarakat, sekaligus menyalahi ajaran agama. Sehingga, perilaku LGBT termasuk dalam bentuk pelanggaran yang berpotensi merusak stabilitas lingkungan masyarakat.

Islam mengatur bagaimana umatnya harus berperilaku agar tercapainya tujuan rahmatan lil ‘alamin, yaitu kedamaian dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang menyalahi ajaran agama, bukan serta merta agama tidak mengindahkan hak asasi manusia, dan penganutnya dianggap telah bersikap intoleran. Justru, orang yang
melanggar hukumlah yang harus dinasihati agar kembali ke jalan yang benar.

Pada kenyataannya juga umat Islam bukan berarti bersikap intoleran terhadap kaum LGBT, mereka hanya menjalankan perintah agama terkait amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menegakkan kebaikan dan melarang keburukan. Karena sungguh disayangkan, mayoritas kelompok LGBT di
Indonesia adalah mereka yang notabene beragama Islam. Bahkan, ditemukan pondok pesantren waria (wanita pria) yang menjadi wadah komunitas LGBT dan mereka tetap ingin menjalankan ritual keagamaannya.

Pembelaan dan pembenaran terhadap perilaku LGBT dengan dalih hak asasi manusia berupa kebebasan berekspresi, sungguh akan mengacaukan tatanan masyarakat sekarang. Hal itu juga dapat merusak generasi ke depannya. Seperti komentar KH. Bahauddin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha dalam ceramahnya tentang LGBT, “Kalau cowok ganti kelamin cewek, terus sekarang putuskan apakah tidurnya dengan cewek atau cowok? Misalnya (transgender perempuan) mondok, ditempatkan di pondok putra atau putri? Lalu, kalau shalat dengan cara apa, tetap cowok
atau cewek?, kalau dia kawin mau dengan siapa? Cowok atau cewek?” begitu seterusnya akan banyak kerancuan yang ditimbulkan akibat perilaku menyimpang tersebut.

Pembelaan dan pembenaran perilaku LGBT hanya akan memberikan peluang kepada lebih banyak orang untuk mengikuti perilaku tersebut, karena kalangan atau simpatisan mereka merasa diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, kita harus tegas menolak perilaku LGBT dengan dalih apapun, karena praktik penyimpangan seksual ini tidak sesuai dengan etika, norma, budaya, dan agama. Akan tetapi, penolakan yang kita lakukan tetap harus memperhatikan hak-hak mereka sebagai manusia. Misalnya, kita tidak boleh melakukan tindakan diskriminatif terhadap pelaku LGBT dalam cakupan hak-hak umum, seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan hak sebagai tetangga atau saudara sebangsa.

Penolakan yang bersifat caci maki bahkan perbuatan diskriminatif lainnya terhadap pelaku LGBT, hanya akan membawa dampak negatif. Justru, mereka akan merasa terasing dan lebih menjauh lagi dari ajaran agama serta budaya yang dijunjung oleh masyarakat. Kemudian, reaksi selanjutnya, mereka akan berkumpul dengan sesamanya, lantas membentuk sebuah komunitas yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Akhirnya, komunitas-komunitas yang didirikan mereka akan semakin besar sebagai respon atas perlakuan diskriminatif terhadap kalangan mereka.

Oleh karena itu, penolakan dengan cara yang lebih halus dan beretika kiranya lebih tepat. Misalkan, langkah-langkah persuasif dengan menasehati, mengajak terus menerus dalam kebaikan, dan menempatkan mereka dalam lingkungan yang tepat. Sehingga, berangsur-angsur nantinya penyimpangan mereka dapat disembuhkan. Terakhir, tentu saja mendoakan mereka, semoga para pelaku penyimpangan seksual dapat bertaubat dan kembali ke fitrahnya. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila”, Nata Sutisna, Aktivis Muda...

Artikel Terkait