Oleh Sheva Zuhdi
Kopiah.co – Barcelona gagal melaju ke final Liga Champion. Mereka kalah 3-4 dalam leg kedua semifinal di markas Inter Milan, Rabu dinihari, 7 Mei 2025, dan secara agregat kalah 6-7. Sebuah pertandingan yang seharusnya hanya jadi tontonan biasa berubah jadi ruang emosional yang penuh amarah, kecewa, dan rasa kalah yang menusuk. Anehnya, saya bukan pemainnya. Saya bukan pelatih, bukan manajemen, bahkan bukan warga Spanyol. Tapi saat peluit panjang dibunyikan, seolah-olah sayalah yang tersungkur. Sayalah yang kalah.
Grup WhatsApp langsung ramai. Ada yang mencibir, ada yang menyalahkan pelatih, ada juga yang mengirim stiker tertawa tapi terluka. Beberapa teman yang mendukung Inter (aslinya fans Madrid) tak menyia-nyiakan momen untuk membalas ejekan remontada dan mimpi treble Barcelona yang sempat kami ucapkan. Grup yang biasanya penuh info ngopi dan kajian, malam itu terasa seperti ruang pengadilan emosional. Saya memilih diam. Bukan karena tak mampu membalas, tapi karena terlalu lelah untuk ikut berdebat.
Hubungan saya dengan klub ini bukan sekadar suka karena warna jersey atau gaya main. Ini hubungan yang aneh—terasa dekat, tapi jauh; saya merasa mengenal mereka, tapi mereka bahkan tak tahu saya ada. Dan tetap saja, saya mencintai mereka. Dengan cara yang sulit dijelaskan. Saya ikut senang ketika mereka menang, seolah-olah itu kemenangan saya juga. Saya bangga, membusungkan dada di media sosial, mengunggah skor akhir, menertawakan rival yang kalah. Tapi ketika mereka kalah—seperti malam itu—saya bungkam. Dunia terasa lebih berat, dan tidur pun jadi lebih sulit.
Fanatisme sepak bola adalah hal yang nyata, dan saya adalah bagian dari itu. Tidak hanya saya, jutaan orang di seluruh dunia menjadikan sepak bola lebih dari sekadar olahraga. Ini sudah menjadi identitas, agama kedua, bahkan panggung pembelaan diri. Saat klub saya dihina, saya merasa diri saya yang dihina. Saya akan jadi orang pertama yang membela. Saya akan membuat argumen, menciptakan narasi, dan bahkan kadang menyerang balik—hanya demi mempertahankan martabat sebuah tim yang bahkan tak tahu nama saya.
Lucu, bukan?
Tapi begitulah fanatisme bekerja. Ia mengaburkan batas antara realitas dan identitas. Kita memproyeksikan diri kita ke dalam entitas lain, berharap bisa menemukan makna, kebanggaan, dan rasa memiliki. Mendukung klub sepak bola seringkali menjadi cara untuk tetap merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang hidup, yang punya warisan, perjuangan, dan kebanggaan. Dan di tengah semua itu, kita merasa punya tempat.
Namun, fanatisme juga punya sisi gelap. Kita jadi kehilangan objektivitas. Kita mulai membenci pendukung klub lain, bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. Kita mulai mencaci wasit, menyalahkan pemain, atau memuja secara buta. Di stadion, fanatisme bisa berubah menjadi kekerasan. Di media sosial, ia menjelma menjadi perang komentar yang saling menjatuhkan. Di grup WhatsApp pun, ia bisa memecah pertemanan. Apakah ini semua sepadan?
Saya tidak anti fanatisme. Tapi saya mulai belajar membatasi. Sebab, pada akhirnya, klub favorit saya tidak akan datang menghibur saya saat saya patah hati. Mereka tidak akan memberi ucapan selamat saat saya lulus ujian. Bahkan ketika saya bersedih karena kekalahan mereka, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu, apalagi peduli.
Tapi saya peduli. Saya masih menonton pertandingan selanjutnya. Saya masih membaca kabar transfer pemain. Saya masih menyimpan harapan agar musim depan lebih baik. Mengapa? Mungkin karena ini bukan sekadar soal menang dan kalah. Ini tentang harapan. Tentang rasa terhubung. Tentang bagian kecil dalam hidup yang membuat kita merasa hidup.
Dan dalam keterikatan itu, saya belajar banyak. Tentang loyalitas, tentang menerima kekalahan, tentang menyimpan harapan, tentang sportivitas. Tapi saya juga belajar untuk tidak menjadikan klub sebagai poros hidup. Karena hidup saya lebih luas dari pertandingan 120 menit. Hidup saya adalah lapangan utama yang tak ada peluit panjangnya.
Malam itu saya kalah. Tapi esok, saya akan bangun dan menjalani hari seperti biasa. Barcelona tetap klub favorit saya. Tapi saya bukan hanya pendukung Barcelona. Saya adalah diri saya sendiri, yang tahu batas antara cinta dan kehilangan kendali.
Sepak bola memang indah. Tapi yang membuatnya berarti bukan hanya karena siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan bagaimana kita memaknainya. Dan malam itu, saya memaknainya sebagai pengingat: bahwa mencintai sesuatu tidak harus membuat kita kehilangan diri sendiri.