Kopiah – Di dalam Islam terdapat perbedaan antara politik dan politik Islam. Kata politik selalu dihubungkan dengan konsep dan tatanan kehidupan masyarakat yang berakar pada keilmuan dan tradisi Barat. Politik juga sering dikaitkan dengan hal-hal kotor, kumuh secara moral dan tidak jarang melibatkan korupsi, intrik, kekerasan, perusakan, bahkan pembunuhan.
Politik dalam pemahaman orang Yunani diartikan sebagai negara kota (polis). Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles (384-322 SM). Ia menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial sesungguhnya merupakan politik dan interaksi satu sama lain dari dua atau lebih orang yang sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat hal ini sebagai kecenderungan alami dan tak dapat dihindarkan oleh manusia, dan hanya sedikit orang yang cenderung mengasingkan dirinya dari bekerja sama dengan orang lain.
Sementara itu, politik Islam adalah pemikiran atau gagasan tentang bahasan-bahasan politik yang berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi, serta praktik-praktik politik para Khulafa al-Rasyidin dalam rangka mewujudkan kebaikan di dunia dan akhirat. Praktek politik Islam juga merujuk pada cara-cara bagaimana Nabi Muhammad SAW dan periode-periode setelahnya (periode Khulafaur Rasyidin) menjalankan pemerintahan.
Namun, demikian di dalam perkembangannya terjadi pergeseran pemikiran mengenai apakah terdapat konsep tentang politik Islam atau hanya nilai-nilai Islam yang dipakai dalam menjalankan urusan Negara? Apakah ada hubungannya antara Islam dan politik? Perbincangan semacam ini banyak terjadi di kalangan umat Islam. Perbincangan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan maraknya diskusi-diskusi mengenai bentuk demokrasi dan bentuk sistem pemerintahan yang dipakai oleh negara-negara Barat di negara Indonesia, yang berpenduduk mayoritas beragama Islam.
Islam sendiri menekankan pentingnya organisasi pemerintahan dan otoritas kekuasaan untuk merealisasikan tujuan-tujuan dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya, antaranya; terciptanya kehidupan sejahtera di dunia dan di akhirat nanti. Tanpa adanya organisasi pemerintahan dan otoritas kekuasaan, maka suatu negata pasti akan terjadi kekacauan dan ketidakstabilan untuk negara tersebut. Karena dengan tidak ada pemimpin maka suatu negara tidak akan mampu menentukan arah politik dan kebijakannya
Maka dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw selalu menekankan pentingnya organisasi dan otoritas kekuasaan supaya bisa merelisasikan berbagai program dan kelancaran kordinasi untuk membangun suatu negara yang berkemajuan, adil, makmur, dan sejahtera. Penekanan pada pentingnya organisasi dan otoritas kekuasaan ini terus diperjuangkan serta dipertahankan oleh para pemimpin umat Islam kemudian, baik yang bergelar Khalifah, Sulthan, Malik, Imam, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Umar bin Khattab ( Khalifah ke 2 setelah Abu Bakar ) meyakini bahwa masyarakat tidak akan terorganisir dengan rapi tanpa Imam ( pemimpin ) yang ditaati. Dalam konteks ini Imam Ahmad bin Hambal pun memberikan pandanganya setuju dan berpendirian bahwa apabila Imam tidak ada, maka anarkis dan kekacauan akan muncul. Seorang pemikir politik muslim terkemuka di abad klasik; al-Mawardiy melangkah lebih jauh dan menegaskan bahwa keberadaan seorang Imam sebagai pemimpin umat dan memiliki otoritas, sama pentingnya dengan usaha mencari kebenaran dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, perbincangan mengenai hubungan Islam dan politik melahirkan aliran-aliran yang saling menguatkan pendapatnya masing-masing. Kemudian buah dari pergulatan tersebut munculah tiga aliran yang mengdefiniskan secara sitematis tentang hubungan antara Islam dan politik.
Aliran pertama, berpendirian bahwa agama Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan spritual saja antara manusia dengan Tuhan. Tapi lebih dari itu, Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan yang mencakup segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa, Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Yang mana di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik.
Oleh karenanya, dalam bernegara, umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al-Khulafaur Rasyidin yang mengedepankan prinsip dasar ; Amanah ( al-mabdaal-amanah ), .Musyawarah ( al-mabdaal-Syura ), Persamaan ( al-mabdaal-musawa ), .Keadilan ( al-mabdaal-`adalah ), Kemajmukan.
Aliran kedua, berpendirian bahwa agama Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.
Karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip wahyu kenabian, yang dimana tugas penting seorang nabi adalah fokus untuk mengajak manusia untuk kembali kejalan yang benar kejalan Allah SWT. Yaitu yang terfokus pada aspek penguatan ketaatan-ketaatan yang mencakup seperti ; sholat, zakat, puasa, serta berbuat kebaikan kepada seluruh penghuni alam semesta. Dengan demikian Agama Islam tidak keterkaitan dengan ketatanegaraan.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa agama Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Pandangan ini muncul sebagai respons terhadap dua aliran diatas, satu pihak yang menganggap Islam mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk sistem kenegaraan secara rinci, dan pihak lain yang menafsirkan Islam secara sempit hanya sebagai agama spiritual. Dengan posisi moderat ini, aliran ketiga berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan publik tanpa harus menjadikan agama sebagai alat kekuasaan atau mengabaikan pluralitas masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya tatanan negara yang inklusif, demokratis, dan berlandaskan pada nilai-nilai universal yang juga selaras dengan ajaran Islam.
Pemikiran politik Islam pada dasarnya terpenjara pada tiga aliran besar. Hampir seluruh pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran tersebut bahwa, yang pertama, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Kedua, Islam dan politik bisa dipisahkan. Dan yang ketiga, Islam dan politik saling berkaitan erat, tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik. Namun, sesungguhnya praktek politik Islam sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan bagaimana beliau dalam mendirikan sebuah negara, yaitu negara Madinah.
Beliau menunjukkan bagaimana menggabungkan antara hubungan manusia dengan Allah, hubungan antarsesama manusia, dan juga hubungan antara agama dan negara. Beliau juga menunjukkan bagaimana beliau menjadi seorang pemimpin agama sekaligus pemimpin agama.
Peran ulama dan umat Islam sangat penting dalam membangun kesadaran politik yang sehat dan beretika. Dengan partisipasi aktif dan cerdas, umat Islam dapat mewarnai sistem politik tanpa menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai sumber nilai moral dan keadaban publik. Tujuan akhirnya adalah terwujudnya bangsa Indonesia yang damai, adil, makmur, dan selaras dengan nilai-nilai keislaman dalam konteks demokrasi modern.