Bung Karno dan Persatuan Indonesia yang dicita-citakan

Artikel Populer

Kopiah.Co — Tema sentral perjuangan Sukarno muda adalah persatuan Indonesia. Menurutnya, di tengah kesengsaraan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan kolonial Belanda, persatuan merupakan suatu hal yang harus diupayakan keras dalam menghimpun spirit, prinsip, dan ide bersama untuk mencapai Indonesia merdeka.

Upaya mempersatukan rakyat Indonesia itu telah Sukarno mulai sejak usianya masih muda, tepatnya pada tahun 1926 ketika ia berusia 25 tahun dengan tulisannya yang berjudul, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Gagasan utama dalam tulisan tersebut adalah persatuan Indonesia, karena Sukarno melihat para penghayat ketiga ideologi tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri, padahal secara asas mereka memiliki kesamaan yang kuat, yaitu ingin mewujudkan Indonesia merdeka.

Tahun 1926 menjadi momentum Sukarno dalam mengukuhkan niatnya untuk terlibat dengan pergerakan Nasional. Sehingga dengan pematangan gagasan dan cita-cita, pada tahun 1927 Sukarno pun mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Partai Nasional Indonesia bersama Iskaq Tjokrohadisurjo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Budiarto, Sartono dan Sunario.

Bagi Sukarno, bangsa Indonesia tidak akan mampu meraih kemerdekaannya jika berjalan sendiri-sendiri. Sebab itu, menurut Bung Karno, masyarakat harus bersatu di bawah partai politik dengan prinsip, ide, dan cita-cita yang sama yaitu, menghapus imperialisme dan mewujudkan kedaulatan rakyat. Perjuangan Sukarno dengan Partai Nasional Indonesia disambut dengan baik dan mendapat dukungan masyarakat.

Akan tetapi, perjalanan Sukarno bersama Partai Nasional Indonesia ini tidak berjalan mulus. Saat itu, akibat pergerakan Sukarno yang berpengaruh besar di tengah masyarakat menyebabkan Pemerintahan kolonial Belanda khawatir, sehingga mereka mengawasi dengan ketat perkembangan PNI dan menganggap bahwa Sukarno berbahaya. Akhirnya, pemerintah kolonial Belanda menangkap Soekarno, Soepriadinata, Gatot Mangkupraja dan
Maskun pada 24 Desember 1929.

Dijebloskannya Sukarno sebagai pimpinan PNI menyebabkan anggota yang aktif di dalamnya dalam keadaan bahaya. Pada akhirnya, PNI pun bubar dan melahirkan perpecahan anggotanya menjadi dua kubu yaitu, kubu Sartono yang mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Partindo) dan kubu Moh. Hatta serta Syahrir yang mendirikan partai Pendidikan Nasional Indonesia, selanjutnya dikenal dengan PNI-baru.

Ketika Sukarno berada di dalam penjara, perpecahan di tengah masyarakat pun terjadi. Kaum Marhaen yang menjadikan Sukarno sebagai tokoh sentral kebingungan dan hilang arah tidak tahu melangkah dan mengikuti siapa. Apakah mengikuti Sartono dengan Partindo atau PI-nya atau mengikuti Hatta dengan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-nya. Berita itu terdengar oleh Sukarno di penjara Sukamiskin yang membuatnya merasa geram atas perpecahan yang terjadi, baik di kalangan masyarakat bawah (kaum marhaen) maupun di kalangan para aktivis.

Maka itu, ketika Sukarno bebas dari Penjara Sukamiskin, misi utama yang ia lakukan adalah mempersatukan anggota dan pengikut Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia yang sebelumnya memang pernah berjuang bersama-sama dengan Sukarno di Partai Nasional Indonesia. “Tatkala saya baru keluar dari penjara Sukamiskin, maka saya menyanggupi kepada kaum Marhaen Indonesia akan berusaha sekuat­kuatnya untuk mendatangkan persatuan antara Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia. Saya mempunyai cita-cita yang demikian itu karena keyakinan, bahwa di dalam zaman sekarang ini, di mana malaise makin haibat, di mana kesengsaraan Marhaen makin meluas dan mendalam, di mana musuh makin mengamuk elan merajalela, di mana udara makin penuh dengan getarannya kejadian-kejadian yang telah datang dan yang akan datang, yang paling perlu untuk keselamatan Marhaen ialah per­satuannya barisan Marhaen, agar supaya tidak hancur tergilas oleh roda zaman yang baginya pada waktu ini ada begitu kejam, – lebih kejam lagi daripada yang sudah-sudah”, kata Sukarno dalam tulisannya yang berjudul, “Maklumat dari Bung Karno kepada Kaum Marhaen Indonesia”.

Sukarno meyakini bahwa antara Partai Persatuan Indonesia (PI) atau disebut dengan Partindo yang diketuai oleh Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Hatta, Syahrir, dan lainnya memiliki kesamaan asas dan cita-cita yang sama. Sejak awal, melalui tulisannya tentang Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme di Suluh Indonesia Muda, Sukarno selalu mewanti-wanti agar perbedaan pemikiran atau ideologi jangan sampai menghasilkan perpecahan selama bangsa Indonesia memiliki cita-cita yang sama yaitu mewujudkan Indonesia yang merdeka.

Sukarno selalu merenung dan menyelami tentang pemikirannya mengenai sosio-nasionalisme atau persatuan rakyat yang menjadi misi perjuangan utamanya. Kata Sukarno, Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruhnya masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu. Kesengsaraan rakyat di bawah kolonial belanda yang sangat menderita itu jangan sampai diperparah dengan perpecahan. 

“Saya sebagai salah satu pemimpin kaum Marhaen merasa wajib mengikhtiarkan persatuan itu, wajib berusaha memulihkan lagi organisasi kaum Marhaen itu, wajib mencoba apa yang boleh dicoba, – dengan menyerahkan hatsil atau tidaknya ke dalam tangan Allah. Saya sering melihat orang bersenyum sambil berkata, bahwa semua orang tentu senang akan “persatuan”, tetapi saya tanya: Siapakah dari orang-orang itu yang mengikhtiarkan persatuan itu?” ungkap Sukarno.

Di tengah perpecahan antara Persatuan Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia, Sukarno pun menyusun strategi kembali agar kaum Marhaen atau bangsa Indonesia bisa bersatu kembali. Ia menegaskan bahwa selain pembentukan kekuatan kaum Marhaen yang harus ditegakkan, juga di dalam persatuan rakyat itu harus dibarengi dengan ide. Sehingga, politik yang diperjuangkan oleh Sukarno pada saat itu adalah politik gagasan, tidak hanya membangun kekuatan dan kesatuan masyarakat.

Dalam hal ini Sukarno terinspirasi dari Jawaharlal Nehru, negarawan India dan pemimpin rakyat Indonesia yang menyerukan agar dalam perjuangan membentuk sebuah kekuatan dan kesatuan, harus dibarengi dengan ide dan gagasan. “Kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu sahaja. Juga kita harus menjelmakan azas atau prinsip kita ke dalam suatu machtsvorming yang maha-kuasa. Juga kita haruslah insyaf seinsyaf-insyafnya, bahwa imperialisme tak dapat dialahkan dengan azas atau prinsip sahaja, melainkan dengan machtsvorming yang ter­pikul oleh azas atau prinsip atau idee itu!”, tulis Sukarno.

Namun demikian, Sukarno juga tidak bisa jika hanya menyerukan persatuan kaum Marhaen tanpa menghimpunnya di dalam partai politik. Akhirnya, Sukarno memutuskan untuk bergabung dengan Partai Persatuan Indonesia (PI) yang dibuat oleh Sartono. Karena bagi Sukarno, PI yang dibuat oleh Sartono adalah sesuai dengan yang dicita-citakan oleh Sukarno ketika ia mendirikan Partai Nasional Indonesia. Melalui partai Persatuan Indonesia (PI) itulah Sukarno kembali menyusun dan membangun kekuatan kaum Marhaen.

Sukarno menulis bahwa, “Kini orang banyak yang memanggil saya kembali ke “practische politiek“. Juga zonder panggilan itu saya niscaya kembali kepractische politiek, karena memang kewajibanku ikut berjoang di atas practische politiek. Ya, sebenarnya hari keluar saya dari penjara Sukamiskin saya sudah kembali kepractische politiek, yakni mulai mengusahakan persatuan Marhaen”.

Walaupun Sukarno memilih untuk bergabung bersama Partai Indonesia (PI), ia juga menyampaikan bahwa Pendidikan Nasional Indonesia tetap menjadi partainya kaum Marhaen karena keduanya membela kepentingan kaum Marhaen. Tetapi Sukarno menjadikan PI sebagai wadah perjuangan politiknya karena sesuai dengan apa yang diperjuangkan oleh Sukarno dalam mencapi Indonesia merdeka.

Di akhir tulisannya Sukarno menyerukan agar kaum Marhaen berada dalam satu barisan yang sama, yang bersatu dan memiliki gagasan untuk kepentingan Indonesia. “Kaum Marhaen Indonesia, masih tetap keinginan saya melihat satu barisan Marhaen yang radikal dan Marhaenistis, – satu barisan yang niscaya membesarkan kita punya Kekuasaan. Marilah kita senantiasa membesar besarkan machtsvorming kita itu. Marilah kita berjoang dengan berdiri tegak serapat-rapatnya, rapat di dalam perjoangan biasa, lebih rapat di dalam masa musuh mengamuk dan merajalela. Marilah kita memeras tenaga menjalankan suruhan riwayat, – suruhan riwayat yang hanya kaum Marhaen sendiri bisa melaksanakannya, yakni mendatangkan suatu masyarakat yang adil dan sempurna!”

Sebagai penutup, dari perjalanan pergerakan Sukarno ini, saya melihat tiga poin penting yang harus dihidupkan kembali oleh kita sebagai penerusnya saat ini. Pertama adalah bahwa persatuan Indonesia merupakan gagasan utama dalam membangun peradaban Indonesia. Kedua adalah di dalam persatuan yang kita terus perjuangkan, jangan sampai berhenti di membentuk kekuatan bersama saja, melainkan harus ada ide dan gagasan yang dikaji serta dipikirkan bersama untuk kepentingan umum.

Adapun yang ketiga adalah, ‘maslahah al-‘ammah‘ harus menjadi tujuan akhir dalam setiap langkah perjuangan dan pengabdian kita, kini, esok, dan seterusnya. Hal ini senada dengan tujuan hadirnya ajaran Islam yang dijelaskan oleh Muhammad Thahir bin ‘Asyur dalam kitabnya Maqasid Syariah al-Islamiyyah. Ia menyampaikan bahwa tidak lain, hadirnya agama di muka bumi ini untuk membangun tatanan dunia yang salih ; setara, merdeka, dan adil.

Apa yang dilakukan oleh Sukarno menjadi sebuah terjemahan dari ajaran Islam yang termaktub dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 10, yang mengajarkan kepada kita agar senantiasa menjadi penengah dan pemersatu di tengah kemajemukan yang niscaya selalu ada di muka bumi ini. Lalu, siapakah di antara kita yang akan menjadi penerus Bung Karno dalam mengikhtiarkan persatuan yang dicita-citakan itu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait