Masisir Kok Berpolitik?

Artikel Populer

Oleh: Salsadilla Musrianti H.

Saat sebelum menginjakkan kaki ke Mesir, saya pikir kehidupan mahasiswa di sana hanya sebatas kuliah dan mengaji. Namun ternyata, setelah hampir dua tahun menjadi bagian dari mereka, saya mendapati realita yang jauh melampaui ekspektasi saya. Terlebih, saat saya menemukan keterlibatan beberapa teman dalam partai politik, yang ternyata sudah tumbuh cukup lama di kalangan Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir).

Meskipun pada realitanya mereka tidak memperlihatkan pergerakan yang masif, namun hal ini tetap tidak dapat menghilangkan cap negatif yang diberikan masyarakat terhadap politik. Lantas, bagaimana jika stigma yang demikian melekat terhadap partai politik, kini disandingkan dengan Masisir yang digadang-gadang akan menjadi alim ulama? Apakah masisir tidak boleh berpolitik?

Dalam sejarah Indonesia, cikal bakal partai politik sudah tercium sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Kita bisa melihat beberapa organisasi seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, dan beberapa organisasi lainnya yang lahir sebagai pergerakan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun sempat vakum pada masa penjajahan Jepang, partai-partai ini kembali aktif pada saat Indonesia telah mendapatkan kemerdekannya. Hal ini dapat ditandai dengan partisipasi beberapa partai politik dalam mengikuti Pemilu 1955. Partai-partai tersebut ialah Masyumi, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan beberapa peserta partai lainnya.

Dari pembacaan sejarah di atas, saya mendapati bahwa latar belakang berdirinya partai politik tidak terlepas dari adanya suatu kepentingan. Dari yang dulunya berkepentingan untuk merdeka, kemudian berkembang untuk memperebutkan kekuasaan. Kepentingan dalam bentuk lain dapat kita temui dalam Pemilu 1999. Pada masa ini, kepentingan dalam tubuh partai hadir sebagai perwajahan demokrasi setelah sebelumnya Indonesia berada di bawah sistem politik yang otoritarian. Dan pada akhirnya, adagium yang pernah saya dengar benar adanya: tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan.

Saya kira, jejak sejarah inilah yang akhirnya melahirkan stigma seperti yang saya singgung di muka. Namun, bukan berarti saya sepakat bahwa politik bersifat negatif secara mutlak. Seperti pisau bermata dua, politik dapat dikatakan licik, apabila pemangku kuasa hanya memainkannya demi kepentingannya pribadi ataupun partainya sendiri. Sebaliknya, politik dapat dikatakan cerdik, apabila pemangku kuasa dapat memanfatkannya demi kepentingan khalayak luas. Singkatnya, citra politik bergantung bagaimana seseorang memainkan kuasanya.

Yosar Kardiat dalam jurnalnya yang berjudul “Organisasi Sebagai Arena Kekuasaan Politik” mengutip ucapan Pfeffer yang mendefinisikan politik sebagai jaringan interaksi antar manusia dengan kekuasaan yang diperoleh, ditransfer, dan digunakan. Sehingga dari definisi ini, Pfeffer berpendapat bahwa politik tidak hanya terjadi pada sistem pemerintahan, melainkan juga pada organisasi formal, badan usaha, klub-klub pribadi, organisasi keagamaan, kelompok suku primitif, marga dan bahkan pada unit keluarga. Tersebab, pusat analisis politik adalah kekuasaan dan pengaruh.

Kutipan dari pemikir manajamen paling berpengaruh di atas, dapat kita temukan realisasinya dalam kehidupan kita sebagai mahasiswa. Seperti yang telah saya singgung di muka, kehidupan masisir tidak hanya berputar pada perkuliahan dan talaki. Sama halnya dengan mahasiswa di Indonesia, tidak sedikit dari masisir yang aktif di berbagai organisasi, baik tingkat lokal sampai internasional. Sehingga, kehadiran politik dalam berbagai organisasi yang ada di kalangan masisir, adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari.

Sama halnya dengan kepentingan. Mengingat latar belakang masisir yang kian beragam, membuat kepentingan yang bersarang dalam suatu organisasi menjadi semakin bervariasi—meskipun pelakunya adalah masisir yang seringkali mendapat label sebagai sosok yang paham agama. Semakin besar kepentingan seorang pelaku, maka semakin besar kekuasaan yang ia upayakan. Dan semakin besar kekuasaan yang telah dimiliki pelaku, maka semakin besar pengaruh yang dapat dimanfaatkan demi memenuhi kepentingannya, baik kepentingan bersama ataupun personal.

Oleh karena itu, kepentingan menurut saya, merupakan suatu kunci yang dapat menggeneralisir antara masisir dengan politisi. Kepentingan menurut saya, sama-sama tumbuh dalam organisasi maupun partai. Satu hal yang dapat membedakan keduanya adalah keterkaitan dari kepentingan itu sendiri: apakah untuk pribadi ataupun bersama. Jadi, apakah masisir boleh berpolitik?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait