Puasa; Merawat Spiritualitas Bangsa

Artikel Populer

Syadila Rizqy Al Anhar
Syadila Rizqy Al Anhar
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo | Sekretaris Umum Tanfidziyah PCINU Mesir 2022-2023

Ramadan menjadi momentum yang pas untuk memperkuat kembali spiritualitas kebangsaan di tengah zaman yang kacau nilai seperti saat ini. Hampir setiap saat pemberitaan media  dibanjiri dengan gejala absurd di berbagai lini kehidupan, utamanya di ranah publik. Penyalahgunaan kepentingan, korupsi, dan berbagai kejahatan lainnya  masih marak. Spiritualitas kebangsaan kian meredup hingga tidak sedikit dari kita yang mulai kehilangan sensitivitas kemanusiaannya. Pada bulan ini, setiap insan akan ditempa untuk menundukkan hasrat duniawi, materialistik, hedonistik, dan beralih menuju alam spiritual. Selanjutnya, melalui penempaan itu, diharapkan akan lahir transformasi penting dalam wajah  kebangsaan kita menuju arah yang lebih baik.   

Dari Solidaritas Menuju Kohesi Sosial

Kehadiran bulan Ramadhan selalu dinantikan dan disambut  begitu antusias oleh masyarakat muslim dengan beragam tradisi dan budaya. Di Mesir misalnya, masyarakat setempat menyuguhkan makanan berbuka secara massal dengan varian menu yang terbilang istimewa, ini berjalan satu bulan penuh. Suguhan tersebut dikenal dengan maidaturrahman (Hidangan Tuhan Yang Maha Pengasih). Belum lagi, Masjid Al-Azhar yang menyediakan 4000 paket berbuka puasa khusus wafidin (sebutan warga negara asing).

Tidak hanya di Mesir, di Indonesia pun kita juga kerap menjumpai gejala masyarakat yang begitu menggembirakan, kegiatan bakti sosial, berbagi bukaan di jalan-jalan ramai dilakukan oleh siapapun. Riuh kegembiraan dan sambutan tersebut mengesankan bahwa masyarakat muslim siap memasuki pengalaman spiritual yang kolosal selama satu bulan ke depan dengan berpuasa menuju gelombang La’allakum Tattaqun  (Insan yang bertakwa).

Suatu gejala yang indah dimana terjalin ikatan sosial masyarakat. Menguatnya ikatan sosial semacam ini mesti diwujudkan pula dalam lingkup yang lebih luas. Gejala ini merupakan titik tolak terbangunnya kohesi sosial di tengah masyarakat. Ketika rasa kebersamaan sudah terjalin, lambat laun akan mengikis  pandangan materialisme dan individualisme, antar masyarakat yang menjadi persoalan laten dewasa ini.

Solidaritas yang terjalin ketika Ramadan mesti senantiasa dipupuk. Solidaritas sosial (Al-Takaful Al-Ijtima’iy) merupakan inti dari kerangka kebangsaan dan keemanusiaan. Dengan begitu, ia akan menjadi perekat yang menjaga masyarakat tetap terintegrasi dan memperindah relasi pemerintah dan publik dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang bermartabat.  

Dari Fisikal Menuju Spiritual

Setiap kita tentu menghendaki puasa yang dijalani berbuah makna dan tidak hampa. Sebagaimana telah diperingatkan oleh baginda Nabi Saw:  ‘Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apapun kecuali hanya lapar dan dahaga?’ (HR. Al-Nasai) Ini menjadi pesan penting bahwa puasa bukanlah sekadar manahan lapar dan dahaga.

Makna dasar puasa adalah al-Imsak (menahan diri). Secara terminologi syariat, menahan diri dari hal-hal yang mampu merusak nilai puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Lebih lagi, dalam Ihya Ulumiddin, Al-Ghazali menerangkan bahwa hakikat puasa adalah mengendalikan diri dari hawa nafsu dunia dan segala kenikmatan duniawi yang mampu memalingkan perhatian hamba dari pancaran ilahi (shaum al-Qalbi an al-Daniyyah, wa an al-Nawazi’ al-Dunyawiyah, wa al-Kaffu an ma siwa Allah Ta’ala).

Salah satu indikator keberhasilannya adalah dengan memperhatikan seberapa besar dan banyak makanan yang dilahap seseorang ketika berbuka. Jika berlebihan, bagi Al-Ghazali orang tersebut kehilangan esensi dari puasa itu sendiri (Kaifa yustafaadu min al-shaum qahru ‘aduwillah wa kasr syahwat, Wa lan Yahshula dzalika illa bi al-taqlil).

Pemaknaannya bukan sekadar mencukupkan menu bukaan atau semacamnya, melainkan mengarah pada integritas setiap insan dalam mengendalikan hawa nafsu agar lebih stabil. Pemaknaan konkritnya, jika pengeluaran kita di bulan Ramadan membengkak, dapat dipastikan puasa kita tidak cukup berhasil menekan nafsu konsumerisme yang telah melekat sepanjang tahun. Spirit puasa tentu bertolak belakang dengan budaya konsumerisme. Spirit puasa adalah spirit menanam etos asketik. Orang berpuasa dilatih mengendalikan hawa nafsunya dari hal-hal fisikal agar terfokus mengevaluasi spirit kemanusiannya.

Hawa nafsu yang melekat pada kita ibarat dua mata pisau tajam. Di satu sisi, ia merupakan faktor pendukung umat manusia dalam menjalankan amanahnya sebagai entitas yang memakmurkan dunia. Pesatnya perkembangan teknologi dan kemajuan infrastruktur di segala ini merupakan dorongan dari nafsu proporsional manusia. Di lain sisi, ia dapat mendorong manusia untuk menguasai dunia tanpa batasan. Penyalahgunaan kepentingan, korupsi, dan berbagai kejahatan lainnya berangkat dari keliaran hawa nafsu yang tak terkendali Coba bayangkan, jika setiap individu yang berpuasa menghayati esensi puasa, pada gilirannya akan menciptakan transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

Ketakwaan Sosial

Tujuan berpuasa adalah mengantarkan manusia pada predikat takwa. Secara normatif, takwa berarti menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.  Makna tersebut perlu diterjemahkan dalam tataran realitas agar ketakwaan yang ada tidak sekadar bersifat vertikal, tetapi juga menyebar secara horizontal. Ketakwaan yang bukan sekadar tercermin dari semangat ibadah individu kepada Rabbnya, tetapi juga ketakwaan yang merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan. Syekh Ibrahim Syauqi ‘Allam, Mufti Mesir memberikan penjelasan yang sangat menarik perihal tujuan puasa ini. Bagi beliau, ketakwaan adalah upaya menanamkan kepekaan beragama (al-Wazi’ al-Diniy) dan menempa jiwa dalam melakukan kebajikan sosial (majallatu al-Azhar Ramadhan 1439).

Secara konkret, ketakwaan setiap individu harus menjadi angin segar bagi permasalahan kemanusiaan. Wajah absurd kemanusiaan hari ini merupakan pr bersama yang perlu diselesaikan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi mesti mampu mengejawantahkan ajaran-ajaran keagamaan secara proporsional dalam rangka menjaga tujuan-tujuan penting agama.

Ironi sekali, jika gemuruh ibadah masyarakat muslim berhenti pada sisi formalitas saja yang sama sekali tidak menyumbangkan etos sosial di tengah-tengah masyarakat. Pesan penting umat terbaik _khaira ummah_ akan kehilangan bukti empirisnya dalam pergumulan kehidupan. Ketakwaan kita sudah saatnya menjadi kekuatan yang holistik hingga  dapat memberi dampak kebaikan pada khalayak luas.

Ketakwaan berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Orang-orang muttaqun akan berupaya menghadirkan nilai-nilai ketuhanan pada tataran realitas. Dengan begitu, kita berharap setelah Ramadan ini akan lahir orang-orang muttaqun yang mengawal transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait