Syaikhul Azhar: Fiqih, Sumber Dusta Terhadap Perempuan

Artikel Populer

Ketika bulan suci Ramadhan datang, umat Islam berlomba-lomba menyambut kedatangannya dengan cara yang beragam tak terkecuali Al-Azhar. Sebagai institusi keagamaan Islam terbesar sekaligus universitas tertua di Mesir, Al-Azhar merayakan datangnya bulan Ramadhan kali ini dengan membagikan 4000 porsi paket berbuka puasa untuk wafidin (sapaan akrab untuk pelajar yang berasal dari luar Mesir) setiap harinya. Kebaikan ini tentunya tak lepas dari sosok Syaikhul Azhar Ahmad al-Thayyib yang dikenal sangat perhatian dengan wafidin. Bahkan beliau dijuluki dengan Abul Wafidin (Bapak Wafidin) karena besarnya cinta dan perhatian beliau terhadap wafidin.

Barangkali kecintaan Syaikhul Azhar terhadap wafidin berangkat dari kecintaannya pada kemanusiaan. Syaikh Ahmad al-Thayyib gencar mengampanyekan koeksistensi damai antar sesama manusia. Beliau senantiasa mengutuk kerasa segala peperangan dan konflik antar manusia. Untuk menegakkan koeksistensi damai tersebut, tak jarang beliau duduk berdampingan dengan Paus Fransiskus. Bahkan Syaikh Ahmad al-Thayyib tak segan-segan untuk menginisiasi pertemuan dengan para pemuka syiah dalam rangka meredakan konflik berkepanjangan antara kaum sunni dengan syiah.

Selain gencar menggaungkan koeksistensi damai antar umat manusia, Syaikhul Azhar juga memiliki pemikiran yang brilian tentang keseimbangan dan keseteraan gender. Berkali-kali beliau mengeluarkan statemen yang mendukung kesamaan hak antar laki-laki dan perempuan. Beliau bahkan menentang segala bentuk penindasan terhadap perempuan yang diwariskan budaya patriarki yang mengatasnamakan agama dan Tuhan. Dari sini mungkin tak berlebihan kiranya kalau gelar keulamaan saja tak cukup, beliau juga layak disebut sebagai pemikir dan aktivis kemanusiaan.

Seperti bulan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya, setiap harinya Syaikhul Azhar menyampaikan kultum yang disiarkan melalui televisi maupun media sosial Youtube. Kultum yang disampaikannya berbeda dengan kultum-kultum biasanya. Alih-alih membincang tentang keutamaan bulan Ramadhan, tema yang diangkat sangat beragam dan cenderung membahas tema yang aktual dan menarik dalam isu-isu kontemporer.

Serial halaqah kultum Syaikhul Azhar tahun ini sangat unik dan berbeda. Disiarkan melalui stasiun al-Qanah al-Ula al-Misriyyah, beliau menyampaikan bahwa serial pada Ramadhan kali ini akan membahas tentang isu perempuan. Tak dapat dielak memang, tatkala gerakan feminism mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, isu tentang perempuan tak pernah basi untuk dibahas. Feminisme yang awalnya menentang budaya patriarki Barat bertransformasi menjadi kritik ketimpangan gender dalam segala ranah, tak terkecuali Islam.

Oleh sebagian kalangan, Islam dianggap sebagai agama yang membelenggu hak-hak perempuan. Sebut saja syariat hijab yang membatasi ruang gerak perempuan dalam ruang publik. Syariat ini dipandang sebagai salah satu bentuk pengekangan Islam terhadap hak-hak perempuan yang membatasi kebebasan perempuan dalam berekspresi dan bermuamalah. Tak hanya itu, masih banyak lagi pandangan miring yang dilontarkan terhadap ideologi Islam terhadap perempuan.

Segala kritik yang menyerang akidah dan syariat Islam terhadap bias gender yang menurunkan harkat dan martabat perempuan tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun demikian, menerimanya mentah-mentah jugalah bukan perilaku yang arif. Sebab kritik terhadap Islam tidak serta-merta berarti melawan syariat yang diturunkan oleh Allah SWT. Kadangkala umat Islam memang memerlukan hal tersebut untuk bangun dari tidurnya. Adanya pembaruan dalam hukum fikih pun juga bukanlah yang mustahil, melainkan wajib dalam rangka mengikuti perkembangan zaman sebab fiqih bukanlah ilmu yang abstain dari aktualitas.

Kritik tajam yang seringkali dilontarkan terhadap fiqih Islam adalah adanya bias gender yang sangat kental. Di samping itu, fatwa-fatwa yang terdapat dalam khazanah fiqih klasik juga cenderung menyudutkan kaum Hawa sedangkan laki-laki sering kali berada di pihak yang diuntungkan. Jika melihat ke dalam kondisi sosial di mana kitab-kitab fiqih klasik ditulis, kondisi demikian adalah hal yang wajar sebab dunia memang masih dilingkupi budaya patriarki, tidak hanya di Arab, melainkan seluruh dunia.

Dalam episode pertama serial halaqahnya, Syaikhul Azhar menyampaikan bahwa memang terdapat dusta terhadap perempuan yang dianggap berasal dari Islam. Pertama, fitnah orang-orang Barat terhadap syariat Islam yang dianggap merugikan kaum perempuan. Kedua, dusta terhadap perempuan yang bersumber dari fiqih yang sejatinya syariat Islam tidak tahu-menahu tentang hal tersebut.

Jika kita melihat pada pernyataan pertama di atas, barangkali itu adalah hal yang wajar sebab kaum feminis memang tak henti-hentinya mengkritik patriarkisme di seluruh entitas budaya tak terkecuali Islam. Terlebih sejak 9/11, media global memang memberi kesan buruk terhadap agama Islam secara keseluruhan. Framing buta tersebut pada akhirnya melahirkan kebencian dan ketakutan bangsa Barat terhadap atribut dan ajaran Islam yang jamak dikenal sebagai Islamophobia.

Bagi penulis, pernyataan lebih menarik yang dilontarkan Syaikhul Azhar justru berada pada poin kedua. Bagi kita yang sejak kecil mempelajari fikih berlandaskan pada kitab-kitab ulama terdahulu akan terpukul dengan pernyataan Syaikh Ahmad al-Thayyib tersebut. Bagaimana mungkin fiqih yang membahas tentang amal perbuatan Islami justru menebar dusta yang sebenarnya tidak dibawa oleh Islam sama sekali?

Secara dangkal, pernyataan tersebut memang akan terkesan kontradiktif. Fiqih sebagaimana telah diramu sedemikian rupa oleh para ulama adalah ilmu yang membahas amal seorang hamba. Para fuqaha (sebutan untuk ahli fikih) pun menyusun permasalahan fikih berlandaskan kepada al-Quran dan hadit. Dengan demikian, adalah hal yang mustahil kiranya seandainya fiqih membicarakan perkara yang tidak dikenal Islam.

Pernyataan di atas memang benar adanya jikalau kita mengacu pada definisi dan metodologi yang disusun oleh para ulama terhadap makna fiqih. Namun jika melihat adanya kenyataan lain yang mengaburkan prinsip fiqih di atas, maka bukan tidak mungkin jikalau satu-dua permasalahan fiqih tidak dikenalkan sama sekali oleh Islam. Hal demikian dapat dibuktikan dengan adanya pandangan patriarki dalam fiqih yang menyudutkan kaum perempuan. Padahal sejatinya, jikalau kita telisik lebih jauh, Islam adalah agama yang datang membawa keseteraan hak sesama manusia. Kesetaraan tersebut mendobrak batas gender dan suku. Semangat ini bisa kita lihat dalam pembatasan pernikahan yang diberlakukan dalam syariat Islam?

Berdasarkan pemaparan di atas, seandainya fiqih merupakan usaha representasi syariat, seharusnya tidak bertentangan dengan semangat keseteraan yang dibawakan oleh Islam sendiri. Barangkali, berdasarkan hal ini Syaikhul Azhar melontarkan pernyataan sebagaimana telah disebutkan di atas. Memang pada kenyataannya, sebagian permasalahan fiqih tidak benar-benar berada dalam al-Quran maupun sunnah. Penetapan hukumnya pun dilandaskan pada tradisi dan budaya. Tradisi patriarki Arab akhirnya secara tak disadiri masih mendominasi nalar masyarakat. Fiqih yang harusnya membebaskan malah menjadi katalisator budaya patriarki tersebut. Apa yang tidak pernah diperintahkan dalam Islam akhirnya dianggap sebagai syariat sebab fiqih dianggap sebagai representasi syariat.

Dalam kesempatan lain, Syaikhul Azhar menyampaikan perhatiannya yang besar terhadap isu-isu perempuan. Beliau menentang keras khitan perempuan. Menurutnya, perintah khitan perempuan tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Quran maupun sunnah. Pada praktiknya, khitan perempuan justru malah menyakiti perempuan dan meninggalkan penyakit yang tak bisa diobati. Beberapa tahun belakangan, beliau bahkan pernah mengeluarkan sikap mengenai 14 isu perempuan yang disalahpahami di dalam Islam. Ironisnya, sebagian besar isu tersebut selama ini kita anggap baik berdasarkan fiqih yang telah kita pelajari.

Ahmad al-Thayyib adalah the next level ulama. Beliau menghormati kedudukan kaum hawa dan bahkan berusaha memberdayakannya. Sejak beliau berada di pucuk kekuasaan Al-Azhar, banyak nama wanita yang mengisi posisi-posisi strategis dalam jabatan keagamaan di Mesir, seperti Dr. Ilham Syahin. Bahkan, pengajian di Al-Azhar yang sebelumnya hanya dipimpin oleh seorang syaikh laki-laki, kini sudah mulai diisi oleh guru perempuan Dr. Nahlah Ash-Sha’idiy. Terbukti nama yang telah penulis sebutkan di atas dan beberapa nama ulama wanita lainnya mampu bersaing dengan ulama laki-laki, bahkan mampu melahirkan gebrakan yang lebih positif dan hebat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait