Tat Twam Asi; Falsafah Cinta Bung Karno

Artikel Populer

Mengenal Bung Karno sebagai Bapak Proklamator bukanlah perkara yang asing terdengar di telinga kita masyarakat Indonesia. Apalagi Bung Karno adalah presiden pertama. Siapa yang tidak mengenal sosoknya dalam memperjuangkan kemerdekaan malawah penjajah.

Julukan di atas begitu melekat dengan sosok Bung Karno hingga pada akhirnya kita hanya mengenal sosoknya sebagai Sang Proklamator saja. Padahal terdapat sisi lain Bung Karno yang justru membentuk kepribadian dan gerakan politik serta intelektualnya. Ya, Bung Karno adalah Sang Pencinta.

Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mendeskripsikan Bung Karno dengan begitu unik. Dalam paragraf pembuka buku itu Cindy menguraikan, “Cara yang mudah menggambarkan sosok Sukarno ialah dengan menyebutnya mahapencinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segala-galanya, dia mencintai dirinya sendiri.”

Apa yang disampaikan Cindy bukanlah semata-mata hasil interpretasi mandirinya atas sosok Bung Karno. Ia melihat pada gerakan politik, gerakan kemanusiaan, dan gerakan kerakyatan yang ada dalam diri Sukarno sepanjang perjalanan hidupnya. Terlebih dalam wawancaranya dengan Bung Karno, Cindy melihatnya sebagai sosok yang lembut dan penuh perasaan. Bung Karno berulang-kali mengakui bahwa dirinya adalah seorang perasa.

Cinta bagi Bung Karno bukanlah sebatas perasaan ketertarikan kepada sesuatu yang sifatnya temporal, datang lalu hilang dan tak kembali. Bukan. Cinta telah menjadi landasan filosofis hidup Bung Karno yang paling dalam. Pada tataran ini, cinta adalah sebuah upaya manusia memahami kesadaran eksistensialnya.

Sifat perasa dan penyayang yang dimiliki Bung Karno ini diwariskan dari ibundanya yang merupakan keturunan bangsawan Kerajaan Bali Singaraja. Ibundanya adalah sosok yang lembut, penyabar, dan penuh perasaan. Berbeda dengan ayahnya yang sangat keras dan disiplin dalam mendidik Sukarno kecil. Tiap kali Sukarno kecil bermain menyusuri kampung hingga larut dan pulang membawa ikan kakap untuk ibunya, sang ayah langsung merampas ikan tersebut dan semua yang melekat padanya. Ayahnya naik pitam. Dan di saat itu lah ibunya selalu menjadi sosok tempat Sukarno kecil berlindung dari amarah sang Bapak.

Meskipun bapak dari Bung Karno begitu tegas dan disiplin, namun falsafah hidup bagi Bung Karno justru didapatkan melalui pengajaran dari sang Bapak. Hal unik yang tidak didapatkan pada diri orang lain namun ada pada diri bapak Bung Karno adalah sang Bapak mengajarkan cinta dan kasih sayang dengan tangan besi, keras dan tegas. Akan tetapi, hal itu lah yang membuat Soekarno kecil terngiang-ngiang dengan pelajaran hidup yang selalu disampaikan ayahnya.

Sewaktu-waktu Soekarno kecil pernah berbuat kesalahan yang sebenarnya sederhana, namun dianggap sebagai kesalahan besar oleh bapaknya. Bahkan ia menganggap apa yang dilakukan Sukarno kecil sebagai perbuatan nakal. Pernah dalam suatu pagi, Sukarno memanjat pohon jambu di pekarangan rumahnya dan dengan tidak sengaja Sukarno menjatuhkan sarang burung yang bertengger di atas pohon jambu. Wajah sang Bapak seketika sungut dan membentak Sukarno. Sukarno kecil kala itu hanya terdiam, menunduk ke bawah, dan menjawab pertanyaan satire sang bapak seadanya. Lagi-lagi Sukarno kecil dingatkan dengan sebuah pepatah berbahasa Sanskerta, Tat Twan Asi, Dia adalah aku dan aku adalah dia; engkau adalah aku dan aku adalah engkau.

Tat Twam Asi adalah pepatah dalam bahasa Sanskerta yang memiliki arti ‘itu adalah kamu’. Berasal dari tiga kata; tat yang berarti itu, twam yang berarti kamu, dan asi yang berarti adalah. Tat Twam Asi adalah sebuah konsep dasar moralitas tanpa batas yang ada pada pengajaran umat Hindu. Dengan menganggap semua hal sebagai diri kita, sebenarnya secara khusus kita sedang mengatakan bahwa ada kesatuan raga dalam setiap makhluk hidup. Menyakiti makhluk hidup dan orang lain sama saja menyakiti diri sendiri. Padahal setiap orang seharusnya mencintai dan menyayangi dirinya sendiri. Dan dengan menyayangi diri sendiri artinya dia juga seharusnya menyayangi orang lain, hewan, beserta lingkungan hidupnya persis sejauh dia mencintai dirinya sendiri.

Bapak dari Bung Karno menjelaskan konsep Tat Twam Asi secara ontologis dengan mengatakan bahwa untaian lafaz tersebut memiliki sebuah makna khusus. Maknanya ialah bahwa Tuhan berada di diri kita semua. Perkataan tersebut sebenarnya perlu dicermati apakah ia memiliki tendensi makna yang serupa dengan monisme atau panteisme. Jika melihat ajaran teologi umat Hindu memang memiliki keserupaan dengan pandangan panteisme secara konsep, yaitu dengan meyakini adanya kesatuan substansial antara Tuhan dan segala makhluk. Semua makhluk memiliki pancaran atman yang berasal dari Brahman Sang Pencipta.

Dalam dialognya dengan Sukarno kecil, sang Bapak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan. Kesadaran ontologis seperti itulah yang sebenarnya berusaha dibangun oleh sang Bapak. Dengan menyadari bahwa setiap manusia sama begitu juga manusia dengan makhluk lain adalah sama-sama ciptaan Tuhan, maka tidak seharusnya seseorang merusak tatanan kesetaraan eksistensial dengan menyakiti dan merusak orang lain, hewan, tumbuhan, dan lingkungan.

Tat Twam Asi menjadi pelajaran moral yang harus kita refleksikan kembali di tengah-tengah masyarakat lebih-lebih di zaman sekarang. Meskipun perang dunia telah berakhir, tetapi ujaran kebencian atas nama agama dan ras tak henti-hentinya digaungkan. Tentu masih belum luntur dari ingatan kita bagaimana konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina menjadi daftar hitam dalam catatan sejarah kemanusiaan kita. Ironi yang juga masih menjadi jerawat di permukaan wajah bumi kita pertiwi. Jerawat yang amat sulit dihilangkan karena selalu tumbuh dan menyebar. Ketika dipaksakan memecahnya, dua-tiga lahir menyusul di tempat lain.

Jasad Bung Karno memang telah lama ditimbun tanah dan absen dari kehidupan kita. Akan tetapi, kita sebagai generasi penerusnya harus terus percaya bahwa ruhnya masih hidup bersama kita. Melalui catatan-catatan yang ditinggalkannya kepada kita, sejatinya Bung Karno masih terus berpidato di depan kita. Tanpa pengeras suara apalagi panggung yang besar, beliau masih mengobarkan api semangat meraih cita-citanya, kemerdekaan sejati. Kemerdekaan manusia dari belenggu penjajahan dan perbudakan terhadap makhluk lain. Kemerdekaan yang berdasarkan dengan cinta, untuk meraih perdamaian antar manusia secara hakiki dengan memandang kau, dia, dan mereka sebagai aku.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait