Di kalangan pesantren, turats bukanlah kata yang asing didengar. Turats biasanya merujuk pada kitab-kitab klasik karangan para ulama terdahulu dalam Bahasa Arab. Ia juga dikenal dengan sebutan lain seperti kitab kuning (karena biasanya dicetak dengan kertas berwarna kuning kecoklatan) atau kitab gundul (karena bahasa Arab di dalamnya tidak dilengkapi dengan tanda baca dan harakat). Oleh karenanya, dalam tradisi pesantren, penyebutan turats selalu disandingkan dengan kitab menjadi ‘kitab turats’ karena memang ia sering dipahami hanya sebagai kitab atau buku.
Beberapa tahun terakhir ini, turats menjadi tema pembahasan yang sangat mainstream dan ramai diperbincangkan. Munculnya dalam lingkaran diskusi intelektual para pemikir muslim berbarengan dengan meningkatnya upaya revolusi dan modernisasi dunia Arab dan Timur Tengah. Turats selalu dihadap-hadapkan dengan upaya pembaharuan dan modernisasi. Di mana ada pembahasan tajdid, di situ pula diskursus turats dibicarakan.
Tajdid atau pembaharuan adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah peradaban. Bahkan dalam Islam sendiri Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Sesungguhnya, setiap seratus tahun Allah akan mengutus seseorang di umat ini (Islam) yang akan memperbaharui agama mereka.” Modernitas sebagai sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari, secara simultan harus dihadapi oleh umat Islam. Tajdid adalah jalan bagi umat Islam untuk menghadapi modernisasi dan ketertinggalan. Ketika tajdid dianggap sebagai jalan yang harus dilalui umat Islam, lalu bagaimana posisi turats dan pemikiran para ulama terdahulu?
Dalam menyikapi realita di atas, umat Islam secara umum terbagi ke dalam dua poros. Namun sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu sebenarnya turats? Apakah ia hanya sebatas buku tua yang berwarna kuning, tulisan yang berbahasa Arab, atau karangan ulama terdahulu dengan tema agama? Lalu, mengapa ia menjadi salah satu diskursus yang senantiasa di bahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim saat ini?
Dalam kitab al-Tharîq ila al-Turâts al-Islâmî, Dr. Ali Jum’ah mendefinisikan turats Islam sebagai produk kemanusiaan umat Islam yang diturunkan secara lisan maupun tulisan seratus tahun yang lalu. Dr. Ali Jum’ah menegaskan bahwa barang peninggalan bukan termasuk turats, dan jelas bahwa makna produk kemanusiaan yang dimaksud adalah produk pemikiran. Sehingga baginya, al-Quran dan Hadits Nabi juga bukan merupakan turats karena keduanya bukan merupakan produk kemanusiaan, tetapi berkaitan dengan keilahian. Secara khusus juga definisi ini memberikan ukuran waktu 100 tahun sebagai batasan minimum sesuatu bisa disebut sebagai turats.
Dr. Hasan Hanafi memberikan penekanan pada waqi’ (realita) yang mempengaruhi dan membentuk turats. Menurutnya, turats adalah warisan psikis suatu masyarakat, bukan sebuah warisan material seperti bukti peninggalan sejarah dan bukan pula warisan keilmuan teoritis semata. Kedua bentuk warisan di atas tak lain merupakan proyeksi kesadaran psikis suatu masyarakat yang tercermin dan tercermin dari realita. Sehingga upaya tajdid menurut Dr. Hasan Hanafi merupakan upaya interpretasi ulang terhadap khazanah masa lalu dengan berpijak pada orisinalitas nilai suatu masyarakat.
Dari dua definisi di atas dan beberapa definisi dari para pemikir Arab, dapat ditarik kesimpulan bahwa turats bukanlah kitab kuning ataupun benda peninggalan peradaban masa lalu. Turats adalah warisan pemikiran, keilmuan, sifat, dan karakteristik suatu peradaban. Warisan ini kemudian turun-temurun dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.
Setelah mengetahui definisi turats, mari kita melihat bagaimana para cendekiawan berinteraksi dengannya. Terdapat dua aliran mainstream dalam menyikapi turats di tengah arus modernitas saat ini. Pertama, golongan yang berpegang teguh dengan turats. Golongan ini menganggap bahwa pemikiran ulama zaman dahulu selalu relevan dengan kehidupan masyarakat muslim kapanpun dan di manapun.
Mereka cenderung menjadikan turats sebagai solusi dalam berbagai masalah keterbelakangan yang melanda umat Islam. Alih-alih meninggalkannya, mereka menyerukan umat Islam untuk kembali ke turats dan menjauhi pemikiran modern yang telah tercampur dengan budaya Barat yang mengotori nilai Islam yang terkandung dalamnya.
Di sisi lain, golongan kedua menyatakan bahwa keengganan umat Islam untuk meninggalkan turats membuat masyarakat muslim semakin jumud dan kaku. Turats seharusnya ditinggalkan. Keilmuan manusia modern sangat jauh melampaui turats. Golongan ini mengkritik mereka yang menjunjung tinggi turats. Sakralisasi terhadapnya ini cenderung berlebihan dan membuat umat muslim semakin tertinggal. Bagi golongan ini, ilmu berkembang seiring zaman, harus diikuti dan diambil dari manapun itu, sekalipun orang-orang Barat.
Kedua poros ekstrem ini lahir karena adanya kesalahan dalam memahami turats. Sebagaimana telah didefinisikan di atas, ia tidak lain adalah produk manusia yang sifatnya terbatas. Selalu terikat dengan ruang dan waktu sehingga sangat mungkin untuk berubah atau bahkan ditinggalkan. Di satu sisi, ia juga merupakan buah pemikirian peradaban yang selalu mengandung orisinalitas nilai suatu bangsa. Ruang dan waktu selalu memiliki korespondensi sejarah di tiap generasi, begitu juga turats yang merupakan refleksi atas ruang dan waktu dari generasi yang telah lampau. Sehingga meninggalkannya berarti menghilangkan orisinalitas nilai suatu peradaban.
Dengan memahami turats secara tepat, kita akan mengetahui bagaimana interaksi yang tepat pula. Turats sangat perlu untuk dikaji dan dipahami. Akan tetapi, cara interaksi yang tepat dengan turats tidak berhenti sampai di situ saja. Adanya penerimaan terhadap pemikiran-pemikiran Barat dan mengomparasikannya dengan khazanah pemikiran klasik merupakan upaya yang lebih bijak. Sebab dari dilihat dari segi ruang, turats sangat dekat dengan kita karena ia lahir dari rahim umat Islam sendiri. Meskipun demikian, khazanah pemikiran Barat lebih dekat dengan kita dari segi waktu sehingga mengkajinya adalah sebuah keharusan.
Untuk mendorong kemajuan, interaksi keilmuan antara kebudayaan adalah modal utama. Yunani Kuno lahir dari interaksi kebudayaan mereka dengan mesir Kuno. Umat muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari Yunani dan Persia. Sedangkan saat ini, Barat mampu mengekstraksi pemikiran umat muslim. Dari sana kita perlu sadari, bahwa interaksi antar budaya adalah kunci utama kemajuan dengan tetap juga mereinterpretasi turats. Jika kita tidak melahirkan pemikiran orisinal baru yang lahir dari interaksi antara umat muslim dengan liyan di era sekarang. Apakah kita rela membiarkan generasi selanjutnya tanpa meninggalkan sepeser pun warisan (turats) keilmuan?
bagus tadz