Ibnu Rusyd dan Spirit Moderasi Sejak Dalam Pikiran

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Dalam sejarah keilmuan Islam, telah disepakati bahwa Ibnu Rusydi adalah satu tokoh besar yang buah pikirannya terus diminati dan dipelajari hingga kini. Cukup sebagai bukti ialah dari kritikan-kritikannya yang tajam kepada hujjatul Islam Abi Hamid al Ghazali, meski terkadang jug disalahpahami oleh beberapa kalangan apa maksud sebenernya dari kritikan Ibnu Rusydi yang tertuang dalam kitab Tahafut al Tahafutnya tersebut.

Kecenderungan berpikir biner, yakni terjebak pada satu sisi dari dua hal yang seolah berlawanan secara total adalah bentuk nyata ketidakadilan dalam berintelektual. Kita lihat permisalannya: jika yang dipilih Al Ghazali, maka konsekuensiya adalah Ibnu Rusydilah yang salah secara menyerluruh, dan bilamana yang dipilih adalah Ibnu Rusyd, maka akan berkonsekuensi yang sama pula seperti sebelumnya. Pola pikir generalis seperti ini tampak lumrah bagi kaum awam, tapi bagi pecinta kebijaksanaan, jelas hal itu adalah kedunguan semata.

Kita melihat contoh kasus pada Al Ghazali yang kerap dituduh penyebab “kejumudan” umat islam karena telah menyerang pemikiran para filolosof melalui bukunya Tahafut Falasifah. Oleh sebab itu, demi mencapai kemajuan, umat islam musti menempuh jalur pemikiran Ibnu Rusydi sebagai penawar, yakni kembali kepada filsafat sebagaimana telah terbukti di barat Ibnu Rusydilah salah satu penyambung lidah kaum pemikir berkat etos pencerahannya hingga sampai pada titik modernitas.

Namun dalam praktiknya, di Indonesia sendiri tak jarang filsafat dituduh sebagai penyebab orang jadi melenceng. Beberapa kali terdengar kabar, orang yang awalnya solat, setelah kulliah atau membaca buku-buku filsafat berubah menjadi tak solat lagi. Dari dulu kesannya negatif hingga muncullah Fakhrudin Faiz yang membawa suasana adem dengan gerakannya “Ngaji Filsafat” di dalam masjid.


Itu dari yang pro-filsafat. Lalu persoalannya menjadi tambah runyam setelah pihak yang anti filsafat memberikan tuduhan-tuduhan yang penuh kemusykiln, seperti: ” Hukum Filsafat adalah haram dan ia pintu kekafiran. Tidak ada dalam Filsafat kecuali kebodohan, pemutaran kata, dan kebingungan, dan sebuah pembahasan bertele-tele tanpa penyelesaian.”

Jika benar demikian faktanya, lalu bagaimana dengan Grand Syaikh Azhar Ahmad Tayyeb yang ternyata jebolan kuliah akidah filsafat yang hingga saat ini berada di garda depan menyuarakan pesan kemanusiaan, perdamaian dan nilai-nilai keislaman tidak hanya di dunia Arab saja, tapi juga pada dunia international. Lalu bagaimana pula dengan Prof. Dr. K.H Said Aqil Siraj yang menjadi ketua umum periode yang lalu di PBNU, yaitu sebuah organisasi Islam terbesar dunia yang bertambah hari kian dipercaya oleh umat sebagai rujukan ajaran islam damai dan toleran, yang mana ternyata beliau adalah lulusan jurusan filsafat saat menjalankan studi di Umul Qura itu.

Melihat fakta di atas, rupanya kita perlu mencari tahu perihal rumus keseimbangan, yang tidak begitu condong ke kanan atau pun ke kiri secara berlebihan. Maka membaca Fashl al Maqal fi Ma Baina al Hikmah wa al Syariah min al Ittishal, Penjelasan yang Kokoh Tentang Pertemuan Hikmah dan Syariat, sebuah buku dikarang oleh Ibnu Rusydi delapan abad yang lalu itu menjadi penting dewasa ini.

Ibnu Rusyd mengatakan:

” Jika pekerjaan filsafat tidak lebih dari sekedar berupaya menalar segala sesuatu yang wujud, serta melihatnya sebagai petunjuk akan keberadaan sang pencipta, yakni melalui ciptaan-ciptaannya…. Dan syariat sendiri telah menyeru kepada kita untuk mengambil pelajaran dari segala hal yang wujud, maka menjadi jelas bahwa apa yang ditunjukkan oleh nama ini (kerja filsafat), itu adakalanya wajib atau disunnahkan oleh syariat.”

Ibnu Rusydi mencatat bahwa pekerjaan seperti itu jelas senada dengan syariat karena terdapat banyak sekali ayat dalam al Quran yang menuntut manusia untuk bernalar dan mengambil pelajaran dari segala sesuatu menggunakan akal. Allah Swt berfirman, ” Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” ( Surat al Hasyr:2)

Bagi Ibnu Rusyd, ayat ini adalah bukti diwajibkannya melakukan qiyas, baik secara aqli, yakni qiyas silogistik yang terpahami dalam ilmu mantik dan ilmu kalam, juga giyas syar’i, yakni qiyas tamtsili yang terpahami dalam ilmu fikih. ( lihat Ibnu Rusyd, Fashl al Maqal hal. 23 cet. Dar al Ma’arif)

Lebih jauh lagi, Ibnu Rushd mengatakan bahwa ilmu bernalar dan mempelajari hakikat alam semesta inilah yang juga diajarkan oleh Allah Swt kepada Nabi Ibrahim As sebagaimana terpahami dalam ayat al Quran:

” Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. ” ( Surat Al An’am: 75)

Dari pemahaman seperti inilah Ibnu Rusyd mengambil kesimpulan bahwa terdapat pertemuan antara filsafat ( atau bisa disebut dengan ilmu hikmah/kebijkasanaan) dan syariat.

Ia mengatakan:

” Ketika (dipahami bahwa) syariat adalah kebenaran dan mengajak untuk bernalar yang bisa mengantarkan pada kebenaran, maka kita sebagai kaum muslimin meyakini secara pasti bahwa nalar burhani itu tidak akan menyalahi syariat. Karena kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebeneran.” ( hal. 32)

Begitulah Ibnu Rusyd menyusun bangunan filsafatnya. Bahwa kebeneran yang sesungguhnya tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, apa pun itu nama dan bentuknya. Secara sederhana, kita mencatat bahwa apa yang diupayakan oleh Ibnu Rusyd ialah semacam pengakuan akan satu nilai kebenaran universal (al wahdah al hakikiah). Maka menjadi jelas kesalahpahaman kaum Rusydian Latin yang menganggap bahwa agama dan filsafat adalah dua hal yang memiliki orientasi yang berbeda. Jelaslah nas-nas Ibnu Rusyd di atas membatas tuduhan semacam itu.

Karena sudah dijelaskan di awal kalau kerja filsafat ialah menalar dan merenungkan segala yang wujud, maka tidak salah jika kita belajar kepada para pendahulu yang telah berjasa merintis kajian-kajian tersebut, seperti ilmu mantik yang menyusun dan membagi konsep berlipikir ala qiyasi menjadi beberapa bagian, seperti qiyas burhani, qiyas jadali, khitabi dan seterusnya. Dalam hal ini, jelas yang dituju oleh Ibnu Rusyd adalah para filosof Yunani kuna, karena hampir mustahil jika umat manusia saat ini berusaha merintis kembali kajian yang menbutuhkan waktu yang demikian panjang itu. Sebagai contoh, Ibnu Rusyd membandingkan dengan kerja qiyas dalam ranah fikih. Yaitu mustahil tiba-tiba saat ini ada orang yang ingin merumuskan hukun-hukum fikih kembali dan memulainya dari nol seorang diri. Kita musti belajar kepada para mujtahid mazhab dan ulama-ulama fikih terdahulu perihal butir hukum dan standar-standar nilai yang mana untuk melakukan kerja seperti itu dibutuhkan tenaga, kapasitas ijtihad serta kurun waktu yang tidak sedikit pula.

Namun anjuran membaca kembali hasil pikiran filosof terdahulu itu tidak berlaku mutlak tanpa disertai prinsip sama sekali. Ibnu Rusyd mengatakan, ” Apa yang dari mereka sesuai dengan kebenaran, maka akan kita terima, kita merasa senang dan patut berterimaksih akan hal itu. Sedangkan apa yang tidak sesuai dengan kebenaran, maka perlu kita ingatkan, kita larang, dan kita salahkan. ” ( hal.28)

Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh dan filsuf besar yang mana mustahil bisa kita rampungkan untuk mengkaji pemikiran-pemikirannya hanya dalam beberapa lembar tulisan saja. Namun, kita mendapat pelajaran bahwa sikap intelektualitas yang dia miliki itu terlahir dari spirit moderatisme dalam berpikir, bukan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait