Praktik Politik Kebangsaan ala Nabi di Madinah

Artikel Populer

Nizam Noor Hadi
Nizam Noor Hadi
Mahasiswa Universitas AL-Azhar Mesir

Kopiah.coPada dasarnya syariat tidak memberikan ketetapan eksplisit yang bersifat statis dan rigid mengenai paradigma politik kaum muslim. Sebagai sosok suri teladan, Rasulullah SAW seolah hanya memberikan gambaran singkat tentang nilai-nilai, norma dan etika politik umat Islam.

Ketika Nabi SAW memimpin masyarakat Madinah yang dikenal heterogen, beliau tidak lantas bersikap arogan ataupun diskriminatif terhadap suku atau pemeluk agama lain.

Sekalipun tidak menetapkan secara legal formal arah politik kaum muslim pada waktu itu, melihat manajemen kepemimpinan Rasul SAW sudah cukup menjawab sikap umat Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.

Kota Madinah kala itu benar-benar menjadi prototipe ideal dari sebuah sistem politik negara. Interaksi sosial yang terbangun antar masyarakat berdiri atas asas inklusivitas dan egaliter.

Kepemimpinan Rasul merupakan cerminan perpaduan antara konsep iman dan amal shaleh. Pribadi luhur Nabi SAW bukan hanya terbatas dapat dirasakan dan dinikmati oleh umat Islam saja.

Kalangan Yahudi, Nasrani dan pemeluk agama lain nyatanya ikut merasa aman dan nyaman berada di bawah komando kepemimpinannya. Di sanalah letak kearifan praktik berpolitik yang Rasulullah ajarkan.

Nabi SAW mengajarkan agar tetap memandang hormat dan berlaku adil sekalipun berbeda keyakinan. Hingga lahirlah Piagam Madinah yang berisikan kesamaan visi untuk membangun negara.

Nilai-nilai berupa perlindungan hak asasi kemanusiaan di dalam butir-butir Piagam Madinah sangatlah kental. Namun, sangatlah disayangkan kesepakatan tersebut ternodai oleh pengkhianatan beberapa oknum penganut agama Yahudi. Mereka merasa iri, dengki dan tidak terima atas pesatnya populasi komunitas muslim di masa itu.

Begitu pun tatkala peristiwa fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), sifat lemah lembut Rasulullah sangat tampak saat beliau memberikan amnesti umum kepada kalangan kafir Quraisy.

Padahal sebelumnya mereka banyak melakukan tindakan diskriminatif dan persekusi terhadap beberapa Sahabat. Tidak ada gejolak pertentangan ketika berlangsungnya fathu Makkah.

Hal itu disebabkan oleh kebijaksananan Rasulullah sebagai pemimpin utama yang menjamin keamanan dan kebebasan seluruh masyarakat kota Makkah. Mereka tetap mendapatkan perlindungan yang wajar dari kaum Muslim sekalipun tidak memeluk agama Islam.

Demikianlah keluhuran akhlak Rasul SAW yang dipenuhi sikap rahmat dan tidak memaksakan kehendak serta menghormati segala bentuk perbedaan.

Oleh karena kepemimpinan dan metode dakwah Rasulullah yang sejuk dan menenteramkan, Islam dapat tersebar ke seluruh penjuru alam. Demikian dalam pola penyebaran dakwah yang dilakukan oleh beberapa Sahabat di Jazirah Arab. Mereka tidak melakukan ekspansi secara brutal.

Rasulullah SAW berpesan agar mematuhi norma-norma kemanusiaan sekalipun dalam keadaan perang. Berdasarkan itu dakwah Islam disampaikan dengan penuh keteladanan, tanpa ada unsur pemaksaan bagi penduduk pribumi.

Sebagaimana disinggung dalam QS. Al-Kahfi: 29, Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan baragsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.

Termasuk awal mula penyebaran Islam di bumi Nusantara yang pada abad ke 16 masih dipenuhi dengan berbagai macam aliran kepercayaan. Melihat sejarahnya, dakwah Islam tersampaikan dengan jalan rahmat, nyaris tanpa timbul pertumpahan darah.

Para pendakwah yang mayoritas datang dari Negeri Gujarat mampu berafilisiasi dengan kultur masyarakat pribumi Nusantara. Akulturasi budaya Nusantara yang telah lama menyebar berpadu dengan nilai-nilai substansial ajaran Islam.

Para dai mengemas dakwah Islam yang berpadu dengan kearifan lokal. Konsep keadilan, persamaan hak dan kewajiban banyak membuat masyarakat tertarik untuk memeluk ajaran tauhid ini.

Tersebarnya Islam di Nusantara tidak membuat dakwah Islam terhenti begitu saja. Akan tetapi terus mengalami tantangan dan benturan dari berbagai pihak. Utamanya tatkala kolonialisme-imperialisme Barat menyandera kebebasan rakyat Indonesia dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.

Selanjutnya perjuangan melepaskan diri dari cengkraman penjajahan kembali tidak lepas dari peran utama para ulama sebagai motor penggerak dan pendidik umat.

Mereka menjadi panutan umat, bahu membahu bersama masyarakat menyerukan pentingnya memperjuangkan kemerdekaan. Puncaknya dapat dilihat dari semangat juang dan seruan jihad yang dicetuskan oleh Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari.

Perjuangan melawan kesewenang-wenangan penjajahan harus ditumpas agar rakyat Indonesia bisa bebas menjalankan ritual ibadah berikut aktivitas kesehariannya.

Melalui kejeniusan Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari, perjuangan hubbu al-Wathan min al-Iman (cinta negari sebagian dari unsur keimanan)selaras dengan prinsip li i’laai kalimatillah (menjunjung tinggi syiar agama).

Perpaduan yang apik antara konsep iman serta amal saleh inilah yang menjaga sekaligus melestarikan kearifan lokal umat Islam Indonesia.

Mbah Hasyim memandang bahwa perjuangan umat Islam di Nusantara tidak lepas dengan hanya terbebas dari cengkraman kolonialisme. Namun terus berlanjut melalui pendidikan serta kesejahteraan sosial sebagai medan juang utamanya.

Hal itu diwujudkan dengan mendirikan organisasi sosial keagamaan berupa Nahdlatul Ulama yang memilki komitmen tinggi terhadap gerakan kemanusiaan.

Sudah selayaknya pandangan politik kita berdasar pada asas kemaslahatan bangsa bukan hanya sekadar kepentingan pribadi atau golongan semata.

Sebagaimana kaidah fikih mengatakan, “Tasharuf al-Imam ‘ala ar-Raiyyah manutun bi al-Maslahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyat yang dipimpin harus berdasarkan asas kemaslahatan umum).”

Lantaran pada dasarnya politik hanyalah sarana untuk mewujudkan pemerataan keadilan, kesejahteraan dan menghilangkan kesenjangan di bumi Nusantara.

Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW menunjukkan keseimbangan antara pokok keimanan dan amal kebajikan dalam kehidupan beragama, berbangsa, serta bernegara.

Maka sudah sepatutnya keteladanan Rasulullah SAW termanifestasikan di seluruh sendi kehidupan umat Islam. Lantaran politik tidaklah selamanya kelam selama kita mampu memosisikan diri, utamanya sejalan dengan tuntunan Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Kita bisa belajar politik kebangsaan dari Nabi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait