Pameran Buku Kairo; Oase Ilmu di Tengah Gurun

Artikel Populer

Setiap tahun, Mesir selalu mengadakan pameran buku berskala Internasional. Seperti biasanya, pameran ini begitu mencuri perhatian penduduk lokal Mesir dan tak terkecuali para pelajar Indonesia yang berada di Mesir.

Di tahun ini, pameran diadakan selama dua belas hari mulai dari 26 Januari hingga 6 Februari yang diikuti oleh total 1043 penerbit yang terdiri dari penerbit lokal hingga mancanegara.

Pameran ini pertama kali diadakan pada tahun 1969 untuk memperingati hari kelahiran Kota Kairo yang ke-1000. Kala itu, Menteri Kebudayaan Republik Arab Mesir, Tsarwat ‘Ukasyah menunjuk Suhair al-Qalamawi, penulis dan pemimpin gerakan feminisme di Mesir sebagai penanggung jawab pameran yang pertama. Hingga sekarang, pameran digelar secara rutin dan sudah memasuki jilid ke-54 di tahun 2023 ini.

Sejak 2006, pameran buku di Kairo ini menjadi pameran terbesar di Timur Tengah dan kedua di dunia setelah pameran buku internasional di Frankfurt, Jerman. Pameran ini seakan menjadi magnet di tengah lebarnya hamparan padang pasir negeri Firaun. Puluhan hingga ratusan ribu orang memadati kompleks pameran yang digelar setiap harinya. Bahkan, pada hari pertama pameran ke-54 ini, terdapat sebanyak lebih dari 130 ribu lebih pengunjung.

Kebetulan, penulis menjadi satu dari 130 ribu pengunjung yang meramaikan pameran buku di hari pertama. Hari pertama menjadi keistimewaan tersendiri bagi sebagian besar kalangan, terutama bagi mereka yang hendak berburu buku-buku bersubsidi di paviliun Haiah ‘Ammah lil Kitab. Paviliun ini meneyedian buku-buku dengan harga murah dengan kualitas cetakan yang tidak terlalu buruk, mulai dari 6 pound Mesir atau setara 3.000 rupiah. Namun apabila berbicara soal kualitas isi buku, tidak perlu diragukan lagi sebab buku-buku yang dicetak ulang di Haiah ‘Ammah adalah buku-buku pilihan. Siapa yang tidak tergiur dengan penawaran menarik di atas. Oleh karena itu, di hari pertama, para pengunjung rela berdesak-desakan di paviliun ini untuk berburu buku bagus supaya tidak kehabisan stok.

Paviliun lain yang juga mencuri perhatian karena buku murahnya, namun dengan isi yang berkualitas ialah Al-Azhar dan Darul Ifta’. Bagi para pelajar Indonesia yang mayoritas belajar ilmu agama di Al-Azhar, kedua paviliun ini adalah surganya ilmu di tengah pameran buku. Setiap harinya, tidak kurang dari ribuan pengunjung akan memadatinya untuk berburu buku selama pameran. Belum lagi, seminar-seminar yang diadakan di paviliun Al-Azhar yang seringkali mengundang syaikh ternama untuk membahas isu seputar buku dan keislaman kontemporer.

Pameran buku Internasional ini sejatinya merupakan kesempatan emas bagi para pelajar Indonesia di Mesir untuk menggali lebih dalam pengetahuan mereka tentang dunia literasi dan kajian seputar keislaman. Banyak penerbit, baik yang berasal dari Mesir maupun mancanegara, yang menyediakan buku-buku yang jarang ditemukan oleh masisir.

Perluasan pemahaman dan wawasan sangat penting bagi para pelajar yang notabene belajar agama di luar negeri. Hal demikian sangat diperlukan agar pemahaman agama kita tidak bersumber dari satu lingkungan saja agar pandangan keberagamaan kita menjadi terbuka sehingga mampu dikonteksualisasikan dengan ilmu pengetahuan dan peradaban yang terus berkembang. Di antara penerbit yang mengeluarkan buku-buku seperti ini ialah al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘Arabi, Dar al-Saqi, dan Mu’minun Bila Hudud. Dan untuk cetakan lokal bisa ditemukan di Dar al-Ma’arif, Dar al-Tanwir, ataupun Dar al-Lubnaniyah al-Nisriyyah.

Akselerasi wawasan keilmuan juga bisa dilakukan dengan membaca riset-riset keagamaan yang ditulis oleh para syekh, peneliti, dan cendekiawan. Hal demikian juga dapat meningkatkan nalar ilmiah kita dalam ilmu agama. Syekh Hamdi Zaqzuq mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ilmiah. Sebagaimana dikatakan Gus Dur juga bahwa Indonesia kelebihan mubaligh dan kekurangan cendekiawan—yang mampu mengkaji agama secara ilmiah sesuai dengan metode penilitian yang sahih.

Di samping itu, mengkaji disertasi dan tesis juga diperlukan untuk mengasah nalar ilmiah kita sebagai—tidak hanya pelajar agama melainkan juga mahasiswa. Jurnal, disertasi, tesis, dan riset seperti di atas dapat ditemukan di paviliun Markaz Ihya, Markaz Nama dan Markaz Nuhudh.

Sebagai pelajar yang melancong ke Negeri Kinanah, alangkah baiknya juga kita memperluasan wawasan kita tentang kebudayaan Mesir khususnya dan Timur Tengah secara umum. Buku-buku yang membahas demikian dapat ditemukan di Qushur al-Tsaqafah, Dar al-Syuruq, Dar al-Ma’arif, maupun Haiah ‘Ammah.

Ajang setahun sekali ini benar-benar harus dimanfaatkan oleh para mahasiswa Indonesia di Mesir. Pameran ini tak lain merupakan wahana pertukaran budaya dan wasilah untuk berkenalan dengan pemikiran dunia Timur Tengah yang tertuang dalam goresan tinta.

Tidak bisa mencukupkan wawasan keagamaan dan kebudayaan hanya dengan kitab-kitab yang tersebar di Distrik Darrasah. Sebagaimana dikatakan Syekh Hasan Syafi’i dalam Harakah al-Ta’wil al-Niswi, bahwa pertukaran budaya dan pemikiran adalah hal yang positif karena sejalan dengan universalitas kemanusiaan dan mampu menghilangkan kejumudan atau konservativisme. Berkelilinglah untuk melihat-lihat sekalipun tidak membelinya. Sebab judulnya saja pameran, bukan penjualan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait