Akhir-akhir ini, mudah kita jumpai narasi negatif terhadap kiai, ulama dan pesantren. Kalau kita amati, narasi tersebut sekurang-kurangnya berangkat dari dua hal: ketidaksepemahaman dan kesalahpahaman.
Beda pemahaman itu wajar, asalkan pemahaman tersebut dilandasi dengan toleransi dan saling menghargai satu sama lain. Seperti contoh santri salaf yang berada di daerah jawa dan kalangan nahdiyin, mereka membungkukkan diri di hadapan ulama itu adalah suatu kewajaran karena dianggap sebagai ekspresi penghormatan terhadap pemegang otoritas agama dan keilmuan. Tapi dalam pandangan masyarakat urban, terkhusus di daerah luar jawa dan non-nahdiyin, “mbungkruk” dihadapan ulama tidak perlu dilakukan karena berkesan merendahkan diri dan kurang egaliter. Bagi mereka, menghormati ulama bukan dengan cara “mbungkruk“, tetapi lebih tepatnya menghargai substansi nilai yang diajarkan kiai atau ulama kepada kita, bukan melalui ekspresi.
Selanjutnya adalah karena kesalahpahaman, publik yang menyoroti pesantren dari kejauhan atau sosial media saja, mereka akan mudah terjebak pada kesimpulan-kesimpulan yang salah dan keliru. Kita ambil contoh dalam masalah pemberian amplop yang berisis uang kepada kiai. Bagi publik, pemberian amplop dari masyarakat atau santri kepada kiai akan terlihat negatif karena berangkat dari cara pandang yang murni materialistis. Padahal hal semacam itu merupakan bentuk penghormatan santri kepada kiainya atas dasar pengorbanan sang kiai yang tak kenal lelah mengajarkan santrinya.
Begitu pula saat praktik ini kita lihat melalui analisis kelas sosial, dengan pengandaian mereka bahwa kiai diibaratkan sebagai pemegang kelas kaum elit, kemudian mereka akan memposisikan santri sebagai kaum proletar, kelas bawah, sebagai pendorong alat produksi kekayaaan semata. Dan anggapan itu tidak benar dan sulit dibuktikan kebenaran faktanya.
Bedasarkan video yang disebar oleh stasiun televisi Trans7, sejatinya praktik tersebut murni dilakukan oleh santri sebagai ekspresi kecintaan diri kepada ulama. Sedikitpun tanpa ada intruksi, perintah, paksaan atau bahkan patokan angka yang pasti ketika memberikan amplop kepada kiai saat berkunjung untuk sowan. Semua ini murni budaya dan bentuk penghormatan atau cara berbaktinya santri kepada kiai dan ulama.
Amplop yang kita bahas di atas sejatinya tidak bisa kita pahami sebagai bagian dari kearifan lokal saja, dengan beranggapan bahwa hal tersebut adalah bentuk dari gaji dan timbal balik seseorang kepada orang yang ia hormati. Dan anggapan demikian tidak sejajar pemahamannya dengan status hubungan santri dan kiai yang lebih eksistensial seperti mengaji yang merupakan suatu proses pembelajaran diri dan penyambung sanad keilmuan dari para kiai hingga Rasul.
Dengan demikian seorang Kiai itu layak dihormati karena daya spiritualitas yang ia miliki sangatlah bagus. Serta nilai kesalehan dan nalar intelektualitas yang kiai miliki sangatlah tinggi, sehingga mampu memberikan dampak positif dan dampak pencerahan kepada orang-orang di lingkungan sekitarnya. Hal-hal semacam ini merupakan pembelajaran sejarah yang sampai kepada kita tentang sosok kiai sejatinya.
Ada sebuah cerita tentang seorang kiai yang sudah memiliki tingkatan khas, ia berasal dari Malang, Jawa Timur. Singkat cerita ada seorang santri yang sangat takzim kepada kiainya, sampai-sampai santri tersebut menghadiahi kiainya dengan mobil seharga milyaran rupiah. Seiring berjalannya waktu, mobil tersebut oleh sang kiai tidak dielus-elus sebagai koleksi barang mewah pada umumnya atau dijadikan bahan pameran kepada masyarakat sekitar. Sebaliknya mobil tersebut diparkir di bawah gubuk bambu yang reyot. Hal itu disebabkan oleh sang kiai yang tidak punya hasrat duniawi seperti kemewahan harta. Sebab hakikat tujuan hidup dari sang kiai tak lain dan tak bukan adalah bermunajat kepada Tuhannya.
Selain itu ada sebuah kisah bahwa dulu ada sosok kiai karismatik dari Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam tataran spiritualitas, sang kiai telah masyhur di lingkungan masyarakat dan sebagian besar kalangan kiai sebagai seorang wali Allah. Meskipun sang kiai ini mendapatkan banyak amplop sebagaimana kiai-kiai pada umumnya, rupanya beliau tidak memiliki lemari untuk menyimpan uang tersebut. Dengan demikian, beliau berprinsip bahwa uang tidak boleh sedikitpun bersinggah di rumahnya. Jadi, jika uang yang datang ke dirinya pada hari ini, maka uang tersebut harus dikeluarkan hari ini juga, seperti menyedekahkannya atau menggunakannya untuk kegiatan posistif lain tanpa melanggar hukum agama.
Terakhir, perihal kejadian yang ramai hari ini tentang narasi negatif yang dibuat oleh stasiun televisi TRANS7. Kemudian mereka mengarahkan narasi negatif tersebut kepada KH. Anwar Manshur Lirboyo tidaklah benar. Dan narasi yang mereka buat sangatlah jauh dari fakta yang sebenarnya. Bagi kami –sebagai santri dari Kiai Anwar Manshur yang sering melihat bahkan bertatap muka dengan dirinya secara langsung— beliau merupakan sosok kiai yang sangat sederhana. Hidup yang ia miliki sepenuhnya hanya untuk mengajar para santri di Lirboyo. Beliau tidak pernah menyuruh kami sebagai santrinya untuk mengejar ilmu hanya demi mendapatkan kehormatan, pelayanan istimewa, amplop atau bahkan harta.
Terbukti dengan umurnya yang sudah cukup sepuh, beliau tetap mencuci pakaiannya sendiri. Padahal ada banyak khadam atau pembantu yang berkenan dan ingin membantu untuk mencuci pakaian beliau. Di samping itu, beliau juga tidak memiliki telepon genggam seperti halnya masyarakat modern di zaman sekarang yang mewajibkan diri mereka untuk memiliki gadget seperti Android atau Iphone demi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan hal ini kita bisa katakan sebagai suatu praktik yang paling berat bagi masyarakat modern, karena hampir sebagian hidup mereka bergantung ke gadget. Bahkan banyak dari godaan-godaan duniawi yang berasal dan terkoneksi dari gadget.