Nabi Muhammad saw. Memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha hebat. Jika kita melihat sosok Muhammad dalam lanskap kekuasaan, kita akan mengakui dengan jujur bahwa Muhammad adalah pembangun masyarakat terbesar dan kepala pemerintahan terhebat dalam sejarah kemanusiaan universal. Jika kita menelaah kembali lembaran-lembaran sejarah, akan kita temukan banyak peristiwa besar tanpa tahu pahlawan sesungguhnya di balik peristiwa yang ada, seperti keberhasilan Amerika Selatan dalam memerdekakan diri dari belenggu imperialisme Spanyol. Simon Boliviar bisa saja mengklaim dirinya sebagai pemimpin gerakan pembebasan Amerika Selatan itu, bisa pula orang lain mengklaim senada.
Akan tetapi, realitas tersebut tidak berlaku dalam kekuasaan Arab islami. Wilayah kekuasaan Islam yang super luas dan besar itu selalu identik dengan Muhammad dan tiada satu pun yang mengklaim keberhasilan penyebaran panji-panji Islam itu atas nama pribadi selain Muhammad. Masyarakat dunia mengakui keagungan itu dan kehebatan sosok Muhammad. Keberhasilan spektakuler tersebut tidak akan diraih tanpa kepemipinan, tuntunan, dan pembekalan iman yang diajarkan Muhammad.
Nabi Muhammad saw. Mempunyai peranan yang sangat hebat. Lalu, bolehlah kita bagi menjadi dua peranan yang sangat hebat itu: bagian sebelum hijrah, dan bagian setelah hijrah. Bagian sebelum hijrah itu terutama sekali mempunyai peranan sebagai membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak: yaitu ketauhidan, membangun orang-orang untuk mempunyai keimanan, kesucian akhlak. Hampir semua ayat Al-Qur‘an yang diturunkan di Makkah itu berisi tentang ajaran-ajaran pembentukan rohani: tauhid, rukun-rukunya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, dan lain-lain sebagainya yang diperlukan oleh kehidupan manusia pada umumnya. Sembilan puluh dua surat dari seratus empat belas surat, hampir dua pertiga dari Al-Qur’an diisi oleh ayat-ayat Makkah.
Para sahabat yang dididik oleh Nabi dengan ayat-ayat Makkah, serta dengan sunnah dan teladannya pula, maka menjadilah para sahabat yang tahan uji, yang gilang gemilang imannya serta akhlaknya. Para sahabat inilah yang menjadi fundamental bagi Nabi Muhammad saw. Untuk menyusun masyarakat dan perjuangannya kelak.
Masuklah kita pada bagian kedua, yaitu bagian setelah hijrah. Pada saat Nabi Muhammad saw. Menggerakan kaum muhajjirin dan kaum ansar, mendinamiskan keduanya ke dalam perjuangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan rohani yang telah nabi tanamkan di dalam dadanya kaum muhajjirin dan ansar itu menjadikan ucapan yang keluar dari mulutnya yang mulia, dengan satu perintah saja maka akan menyala dan berkobar menerangi seluruh dunia Arab. Thomas Carlyle pernah mengatakan tatkala berbicara tentang Muhammad, “ Pasir di padang-padang pasir Arabia yang terik dan luas , yang beribu-ribu tahun diam seakan-akan mati, pasir itu berbondong-bondong menjadi ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia.”
Pada bagian Madinah inilah Nabi mulai menyusun masyarakat dengan tuntunan Ilahi, di Madinah kebanyakan turunnya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga lagi dari kitab Al-Qur’an. Di Madinah nabi menyusun satu kekuasaan “negara”, yang membuat orang jahat menjadi takut menyerang kepada-Nya, dan orang baik gemar mendekat kepada-Nya. Dengan hebatnya Nabi membuat peraturan kemasyarakatan, orang-orang silih berganti mengadu kepada Nabi mengadukan semua permasalahan, dari urusan agama, atau berbagai masalah dunia sehari-hari.
Secara garis umum, bolehlah kita mengtakan bagian Mekah adalah persediaan masyarakat, bagian Madinah adalah pelaksanaannya. Di Mekah dijanjikannya kemenangan orang yang beriman, di Madinah dibuktikannya kemenangan orang yang beriman, Di Mekah diatur hubungan manusia dengan Allah, di Madinah diatur hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Namun, itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman purbakala, ada 1400-an tahun selisih zaman itu dengan zaman kita. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Mekah dan Madinah itu akan abadi di dalam kitab Al-Qur’an, diajarkan oleh bapak ke-anaknya dari zaman ke-zaman. Begitupun syariat, syariat ini tidak menjadi kumpulan hukum yang mengatur masyarakat padang pasir di kota yastrib empat belas abad yang lalu saja, tetapi juga menjadi kumpulan hukum yang mengatur masyarakat kita di zaman sekarang juga.
Sebelumnya, kita mesti mengamini bagaimana masyarakat itu tidak beku, melainkan terus mengalir. Masyarakat niscaya terus berubah dan nyatalah perubahan itu. Lalu, bagaimana pandangan masyarakat mengenai syariat itu? Ton Andrea menulis di dalam sebuah majalah “Islam pada saat ini sedang menjalani ujian apinya sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia. Kalau ia kalah, ia akan merosot ke tingkatan yang ke dua untuk selama-lamanya.”
Dahulu, saat zaman Madinah dalam bayangan kita bahwa Nabi Muhammad beserta para sahabatnya berkumpul di masjid nabawi yang mungkin hanya bertiang pohon kurma, di mana para sahabat mendatangi nabi dan mengadukan berbagai masalah agama maupun tentang urusan dunia sehari-hari, Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabra, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya dengan jawaban yang menjurus kepada roh semangatnya orang yang berhubungan dengan Nabi. Di sinilah syariat Islam tentang masyarakat lahir ke dunia, di sinilah undang-undang kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-menurun melintasi batasnya waktu, batasnya negeri, dan batasnya Samudra.
Sekarang, kita lihat dengan maha hebatnya Nabi, syariat Islam yang beliau bawa tentu harus cocok dan dan memberi kepuasan kepada masyarakat zaman itu, dan niscaya harus elastis agar bisa dipakai oleh zaman-zaman kelak di kemudian hari. Sebab, dengan maha kebijaksanaannya nabi sadar bahwa ia tidak hanya memberi undang-undang kepada masyarakat pada saat madinah itu saja, tetapi memberi undang-undang kepada seluruh umat. Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala hukum-hukum kemasyarakatan itu bersifat bare minimum, yakni bukan tuntutan-tuntutan yang mutlak.
Mengutip dari Halide Edib Hanum, “Didalam urusan ibadat, maka Muhammad itu keras sekali, tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam sistem masyarakat, ia sebagai seorang pembuat undang-undang yang jauh penglihataannya, sebenarnya adalah memberi hukum-hukum yang ‘liberal’. Yang membuat hukum-hukum masyarakat menjadi sempit ialah consensus ijmak ulama. Jikalau kita renungkan perkataan Halide Edib Hanum ini, hakikatnya selaras dengan dengan perkataan Sayid Amir Ali tentang fleksibelitas syariat Islam itu.
Sekali lagi, kita harus ingat bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak mati, tetapi hidup mengalir, senantiasa berubah, maju, dinamis dan berevolusi. Bagaimana Nabi telah menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Sedangkan, Bung Karno di dalam pidato dan tulisannya mengatakan Islam is progress, Islam adalah kemajuan. Bagaimana kita jangan sampai hanya meng-copy barang lama saja, jangan sampai kita “menyutat” dari kalam Allah dan Sunahnya Rasul hanya abunya, debunya, dan asapnya saja.
Terakhir, uraian di atas selaras dengan ajakan Bung Karno dalam tulisannya “Masyarakat Onta Dan Masyarakat Kapal Udara”, ia mengajak kita untuk memperhatikan bahwa kini bukan masyarakat onta, melainkan masyarakat kapal udara. Maka dengan cara seperti itulah kita dapat menangkap inti arti yang sebenarnya dari warisan Nabi yang mauludnya kita rayakan hari ini. Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Nabi di dalam artian penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita sebagai umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih, atau umat kaum ulama.
Penulis: Fither Ahladzikri (Mahasiswa S1 Universitas Zaitunah, Tunis, Tunisia)

