Ketika membaca sejarah peradaban Islam di Eropa, kita akan menemukan banyak sumber yang menyebut bahwa Islam pernah menaklukkan Andalusia. Dalam catatan sejarah, Islam mampu mendirikan sistem pemerintahan yang kokoh di Andalusia, sehingga ia berhasil membangun dan memajukan peradabannya selama berabad-abad di sana.
Namun, peristiwa sejarah tersebut dibantah oleh penulis asal Spanyol, Ignacio Olague, dalam bukunya ‘’La Revolucion Islamica en Occidente’’. Menurut penulis, Arab tidak pernah benar-benar menaklukkan Andalusia, melainkan Islam diterima oleh penduduk setempat karena terdapat persamaan mazhab teologis antaragama di dalamnya—Kristen, Yahudi dan Islam yang monoteis. Dengan bahasa lain, islamisasi Andalusia bukan melalui agresi militer, tetapi lebih kepada revolusi sosial agama yang kemudian memengaruhi tatanan sosial masyarakat Andalusia saat itu.
Ignacio Olague juga menyebut tidak ada dokumen historis-arkeologis yang bisa menjadi bukti bahwa pasukan Islam yang dipimpin Thariq bin Ziyad telah melakukan invasi ke Spanyol. Menurutnya, klaim penaklukan tersebut ditulis belakangan, jauh setelah peristiwa itu terjadi. Penulis meyakini bahwa para elite penguasa Muslim lah yang menuliskan sejarahnya sendiri sebagai peristiwa penaklukan.
Dalam Bahasa Arab, buku Ignacio Olague ini diterjemahkan menjadi ‘’ al-Arab lam yasta’miru Isbaniya” oleh penerbit Nohoudh. Pada 31 Agustus 2025 kemarin, Nohoudh mengadakan seminar bedah buku tersebut di Beyt Sinari, Sayyidah Zaenab, Kairo. Terdapat dua akademisi sejarah yang menjadi pembicara, yaitu Dr. Jamaluddin Ahmad Abdurrahman dan Dr. Muhammad Ali Said Dabur.
Dr. Jamaluddin Ahmad Abdurrahman, Dosen Sastra Spanyol, Universitas al-Azhar menjadi pembedah pertama. Dalam kesempatan terbatas, pemaparan utamanya hanya berfokus pada proses kreatif penulis. Ia sebatas memaparkan gambaran umum bagaimana awal mula buku itu beredar. Alih-alih di Spanyol, ia menanyakan mengapa karya tersebut justru diterbitkan di Prancis—yang bukan negara asal penulis.
Sementara itu, Dr. Muhammad Ali Said Dabur, Dosen Sejarah Peradaban Islam, Universitas Kairo, lebih jauh mengungkapkan mengenai biasnya argumen utama Ignacio Olague. Dalam pernyataannya yang berulang, ia menilai bahwa setiap kalimat di buku ini sangat layak untuk dikritik, bahkan bisa dilakukan secara terpisah satu persatu.
Di antara keberatan yang disampaikan oleh pembedah kedua ini adalah: pertama, pernyataan Ignacio Olague di muka, yang mengatakan bahwa bangsa Arab sebenarnya tidak pernah datang menaklukan Andalusia—sehingga Islam dapat tersebar. Ignacio berpendapat bahwa kelompok kanan Katolik lah yang memainkan peran politis, sampai akhirnya Islam diakui dan diterima karena adanya persamaan teologis.
Menyikapi hal ini, pembedah kedua menganggap bahwa argumen penulis berbeda jauh dengan sumber-sumber sejarah yang ada. Menurutnya, Ignacio Olague (mungkin) berhasil menulis sejarah dengan perspektif berbeda. Namun secara substansi, peristiwa sejarah Islam di Andalusia versi penulis dikembangkan oleh logika-akal yang hanya mempertanyakan ulang narasi yang ada. Kebaruan perspektifnya bukan pada isi, tapi emosi pembaca.
Kedua, penulis menyebut penaklukan itu ditulis belakangan oleh elit penguasa muslim ketika Islam sudah berkembang dan mengklaimnya sebagai peristiwa penaklukan. Penulis di sini seolah menafikan keberadaan Thariq bin Ziyad yang tercatat memenangkan pertempuran dengan Raja Roderick pada 711 M. Lebih jauh lagi, Ignacio Olague menyebut bahwa Abdurrahman al-Dakhil adalah seorang Jerman, hanya berdasarkan pada matanya yang berwarna biru. Hal ini jelas suatu klaim dan argumen yang dangkal.
Setelah sesi penyampaian materi, moderator acara sekaligus direktur Nohoudh, Dr. Ahmad Muhammad Ibrahim Makruf, memberikan kesempatan bagi peserta seminar untuk me-review dan menanggapi penyampaian para pembedah. Salah satu peserta menyayangkan kedua pembedah yang kurang menghadirkan sumber (buku) lainnya sebagai perbandingan. Peserta lainnya juga menyebut bahwa ketebalan buku Ignacio Olague yang berjumlah 672 lembar jelas tidak bisa didiskusikan dalam waktu singkat.
Meski demikian, fakta yang sulit dibantah oleh seluruh peserta yang hadir di sana adalah keterbatasan literatur Spanyol yang mencatat sejarah peristiwa besar Islam tersebut.