Tiga Ibrah Kehidupan Dari Tiongkok

Artikel Populer

Saya akan mencoba mengulas pelajaran penting dari negeri China. Negeri yang dengan pedenya Rasul Muhammad anjurkan kita bersafar ke sana untuk sekadar meneguk mutiara ilmu. “Uthlub al-ilma wa lau kâna bi as-Shini” “carilah ilmu meski harus ke negeri China” -begitu bunyi sabda Nabi.

Meski sebenarnya hadist tersebut hanyalah sebuah ungkapan dari Nabi untuk mengompori semangat umat muslim agar belajar di manapun. Namun saya sebagai bagian dari santri NU hendak membawakan sebuah ilmu dari Tiongkok yang dikemas dalam bentuk cerita. Hitung-hitung juga ngalap berkah dari negeri tersebut.

Tseng Zu adalah seorang pedagang kaki lima yang menjual perisai dan tombak. Ia seringkali berjualan di pasar dekat desanya. Dengan dandanannya  yang agak necis dan omongannya yang sudah mirip dengan para politisi kita, dagangannya kerap kali laku keras. Namun kali ini ceritanya beda.

Karena dirasa pasar sedang ramai ia pun berjalan menuju pinggiran pasar untuk mempromosikan barang dagangannya. Dengan pongahnya ia mengambil perisai buatannya. Sambil diketuk-ketuk dengan batu ia berpromosi.

“Perisai buatan saya ini sangat sakti dan tidak bisa ditembus oleh apapun. Bahannya terbuat dari besi yang langka. Bila anda minat perisai sakti ini, langsung saja dibeli!”

Setelah dirasa cukup berpromosi perisainya. Ia ganti menawarkan tombaknya, yang sekilas memang terlihat runcing. Sambil mengayun-ayunkan tombaknya ia mulai berdemonstrasi.

“Tombak saya ini cukup hebat. Ia merupakan sebuah tombak legenda yang bisa menembus barang apapun, sekalipun barang itu cukup keras. Bila ada yang minat silahkan ditawar!”

Promosi seorang Tseng Zu yang menggebu-gebu itu cukup membuat seisi pasar riuh dengan tepuk tangan, kecuali Lee. Ia hanya diam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada yang mengganjal di kepala Lee saat pedagang senjata ini berpromosi.

Dengan raut muka yang amat tenang ia menerobos kerumunan itu untuk menanyakan sesuatu pada pedagang perisai.

“Pak Tseng!”, sapanya.

“iya, anak muda! Apakah anda tertarik untuk membelinya?”

“Iya! Namun sebelumnya aku perlu bertanya perihal dua senjata istimewa itu.”

“Silahkan! Bertanyalah sesukamu!”

“Apa yang akan terjadi jika tombakmu diadu dengan perisaimu? Mana yang akan kalah? Perisaimu yang akan berlubang? Atau Tombakmu yang akan patah ujungnya?”

Raut muka Tseng Zu seketika berubah mendengar pertanyaan cerdas dari seorang pemuda yang diketahui bernama Lee. Yang semula riang dan berseri-seri layaknya “kasir Indomaret” berubah menjadi merah karena rasa malu bak “perawan” hendak dilamar. Ia baru sadar bahwa promosinya yang salah bisa membuatnya mati kutu di hadapan seorang pemuda.

Melihat Tseng Zu tak dapat menjawab pertanyaan Lee kerumunan itu pun langsung buyar. Mereka meninggalkan Tseng Zu sambil menertawainya. Di hari kedepannya Tseng Zu tak lagi berlebihan dalam berpromosi.

Cerita yang saya sadur dari dongeng rakyat Tiongkok ini setidaknya membawakan kita tiga pelajaran penting untuk menjalani kehidupan.

Pertama, tidak ada tombak yang bisa menembus apa pun, dan tidak ada perisai yang tidak bisa ditembus. Semua kelebihan memiliki kekurangannya masing-masing. Jadi jangan pernah sombong.

Dalam sebuah pepatah di olahraga pencak silat kita mengenal istilah, diatas langit masih ada langit. Sehebat apapun kemampuan atau barang yang kita miliki tetap saja sombong merupakan hal yang dilarang. Karena kita manusia, dan manusia pasti memiliki batas yang tidak bisa ia tembus.

Untuk mengatasi kepongahan para ilmuwan yang kerap kali unjuk gigi di zamannya, Socrates pun berani mengungkapkan suatu kalimat yang membuat benteng kesombongan para intelektual di zamannya roboh. “Hanya satu yang aku tahu, yaitu aku tidak tahu apa-apa”. Socrates sebenarnya bukanlah yang paling bodoh di antara mereka, ia justru yang paling jenius di masanya. Adapun ucapannya itu hanyalah untuk membuat para ilmuwan sadar akan kesombongannya.

Pelajaran kedua yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah tentang konsistensi berpikir dalam menjalani kehidupan. Lebih tepatnya kita akan belajar dari kontradiksi dalam kisah tersebut, Perkataan yang saling bertentangan. Pada saat promosi perisai Tseng Zu berkata, jika perisainya tidak bisa ditembus. Kemudian saat menawarkan tombak ia juga menyatakan, bahwa tombaknya bisa menembus apa pun.

Kedua pernyataan Tseng Zu ini tentu saja saling bertentangan. Namun itu yang sering terjadi dalam real life kita. Kadang-kadang untuk mencapai suatu tujuan dengan enaknya sendiri kita melakukan inkonsistensi logis atau dalam istilah lain, kalau tidak salah, seperti yang dikenalkan seorang psikolog bernama Leon Festinger, disonansi kognitif.

Perlakuan seperti ini bila kita sadari juga sering terjadi di kalangan politisi kita. Ambil sampel saja ketika kampanye-kampanye di daerah rawan banjir berlangsung, para politisi biasanya akan berjanji bahwa, ketika ia menjadi pemimpin banjir akan bisa teratasi dengan mudah. Walhasil, karena gaya kampanyenya yang meyakinkan ia pun berhasil menjadi pemimpin. Namun apa yang ia janjikan mengenai banjir tidak bisa ia tepati.

Contoh lain bisa kita lihat dalam percaturan dalam dunia kontestasi politik Indonesia. Ada satu koalisi yang dengan gagahnya mengangkat seseorang menjadi cawapres karena elektabilitasnya cukup baik. Namun seiring berjalannya waktu ternyata ada tokoh lain yang dirasa lebih layak menjadi cawapres guna menambal suara, meski elektabilitasnya lebih rendah dari cawapres sebelumnya. Walhasil, didepaklah cawapres yang pertama dan digantikan dengan yang kedua.

Dan pelajaran ketiga atau terakhir yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah tentang objektivitas. Omongan tidaklah lebih penting dari kenyataan. Sebenarnya Tseng Zu bisa saja langsung membuktikan kekuatan kedua senjatanya itu dengan mengadunya. Jika perisainya bisa ditembus maka tombaknya lah yang hebat. Sebaliknya, jika ujung tombak itu patah berarti perisainya yang berkualitas. Namun ia justru berbelit-belit dengan promosinya. Sehingga tanpa sadar ia membuat sebuah kontradiksi.

Tiga pelajaran dalam cerita Tiongkok ini saya kira cukup sebagai bahan refleksi kita dalam menjalani kehidupan. Tiongkok bagi saya memang selalu asyik sebagai teman refleksi. Terutama melalui cerita-ceritanya yang dibawa dengan cermat oleh para filsufnya.

Ahmad Miftahul Janah, penulis buku “Sidul Santri Kucluk”  ini merupakan mahasantri abadi Mahad Aly Annur 2 yang pernah mukim dan ngopi di komplek EL pp Al munawwir. Kini ia aktif sebagai mahasiswa fakultas syariah al-Azhar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait