Ibadah Sosial yang Termarjinalkan

Artikel Populer

Oleh : Muhammad Irfan Maulana, Mahasiswa Universitas Zaitunah Tunisia

Kopiah.Co — Muhammad Thahir bin ‘Asyur, cendekiawan Tunisia dalam kitabnya berjudul “Prinsip Pranata Sosial dalam Islam” mengatakan “Agama adalah Aqidah (Keyakinan) dan Amal (Perbuatan) yang jikalau benar ditempuh jalannya akan menghasilkan kebaikan di dunia sekarang ini dan juga di akhirat kelak”.

Begitupun Islam, ia menambahkan, tidaklah turun, melainkan untuk kemaslahatan manusia di kedua dunia itu, dengan mengatur bagaimana hubungan manusia dengan tuhan (horizontal) serta mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (vertikal).

Kendati demikian, pengertian ibadah seakan mendapat pengerdilan dari banyak kaum muslim, efeknya adalah luputnya kerja-kerja sosial, atau ibadah sosial untuk dianggap sebagai ibadah dalam Islam.

Dalam hal ini, pada suatu waktu, diriwayatkan dalam hadits, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Ayyul Islami Khair yaa Rasulallah?. Manakah Islam yang baik?. Rasulullah bersabda : “Tuth’imu al-Tha’am, wa Tuqirru al-Salam ala man Arafta wa la man ta’raf” . Kamu memberi makan, Menyebarkan salam (perdamaian, ketentraman, kebaikan), baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak kamu kenal.

Hadits-hadits seperti ini, kalah populer dari ibadah-ibadah formal yang terbatas pada ruang tertentu, sehingga Islam (seakan) dan muslim itu aktif hanya pada ruang dan waktu tertentu saja. Seperti di Masjid atau perayaan tertentu saja.

Padahal, Islam dikehendaki untuk hidup lifetime, tertanam dalam ajaran dan perbuatan seorang muslim. Agar lebih mudah memahami, yang penulis maksud dengan ibadah formal adalah Ibadah – ibadah yang terbatasi ruang dan waktu, seperti shalat, haji, dan sebagainya.

Adapun ibadah sosial adalah ibadah yang memberikan efek kepada sosial masyarakat lainnya serta tidak memiliki waktu dan ruang tertentu, sesederhana menghalau ranting dari jalan, menyebarkan senyum, menolong orang lain, atau yang lebih luhur lagi seperti adil, amanah, tolong menolong orang lain, tidak menelan orang lain untuk mengenyangkan perut sendiri, cinta pada sesama manusia.

Sederhananya, kalaulah sudah shalat tepat waktu, wiridan seribu kali, itu tidak apa-apa kalau kita tidak memedulikan keadaan sekitar, mengumpat menghina yang lain, malas-malasan. Begitulah yang populer saat ini.

Ibadah-ibadah sosial yang tercantum dalam “ayat-ayat masyarakat” di ayat madaniah khususnya, seperti memperjuangkan kemaslahatan umum seperti melalui organisasi, atau menafkahi keluarga, sering dianalogikan sebagai perbuatan yang kurang baik daripada mengaji, shalat tahajud, shalat dhuha, dan lain sebagainya.

Akibatnya, standar kesalehan sendiri, sering dibatasi saja dengan berapa banyak ibadah formal yang ia lakukan, dan sehingga minatnya seorang muslim pada ibadah sosial menjadi berkurang. Atau bahkan dibatasi pada pakaian yang ia pakai.

Seolah ahli agama, merekalah yang hanya memakai jubah, dsb. Tentu tidak ada salahnya mengenakan itu, kekurangannya terletak pada persepsi masyarakat tentang agama yang diletakkan dalam hal-hal simbolik semata. Atau memang benar demikian?

Kita kutip hadits lain untuk memperjelas, bahwa ibadah sosial mendapat tempat besar juga. Selain hadits di atas juga diriwayatkan, misalnya, sabda beliau “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya”. Sabda-sabda seperti ini, menjadi indikator bahwa ibadah sosial mendapat tempat tinggi dan tak kalah penting.

Kekurangpopuleran Ibadah Sosial di kalangan muslim, menjadi sebab terdistorinya nilai Islam oleh pemeluknya sendiri. Dalam hal ini, penulis pernah bertanya kepada seseorang masyarakat Tunisia, “Apa perbedaan keadaan di Tunisia setelah revolusi yasmin tahun 2011 dan setelahnya?”. Ia menjawab, “sebelum revolusi, kebersihan dan keteraturan kota itu sangat terjaga, tapi urusan agama itu jelek”.

Kemudian, “adapun setelah revolusi, kebersihan dan keteraturan kota itu jelek, tapi urusan agama menjadi lebih baik”. Penulis mengernyitkan pikiran dan tertawa sendiri, dan berbicara dalam hati. Benarkah demikian yang ia katakan itu?

Semenjak kapan Islam hanya mengurusi ibadah-ibadah formal, dan tidak memedulikan kebersihan, keteraturan, dan sebagainya.

Agama sebagai sistem sosial masih belum menempati tempat yang semestinya. Nilai-nilai sosial religius masih tak banyak terjamah berada di pojokan lemari. Tak berlebihan, kalau kita telusuri, penyebabnya adalah bermuara pada marginalisasi (peminggiran) Ibadah sosial.

Dimensi zakat (representasi ibadah sosial) yang selalu disandingkan dengan kata shalat (representasi ibadah formal), belum menjadi arusutama, atau bahkan mendekati dimensi shalah. Mandat manusia sebagai khalifah (pemakmur) di muka bumi dihiraukan dan tak mendapat tempat dalam cita-cita banyak pemeluk agama.

Islam (seakan-akan) menjadi agama yang melangit, enggan turun membumi mengurusi aspek sehari-hari kehidupan manusia. Yang tak berbau masjid bukan ibadah, yang tak identik dengan perayaan tak banyak dikerumuni dan diminati.

Ibadah, dikatakan ibadah jika perbuatan tersebut berkaitan dengan tuhan (secara langsung) atau ibadah vertikal saja. Tak sedikit hadits berbicara tentang keutamaan kebersihan, keteraturan, keterorganisiran, dan lain sebagainya, yang hanya diperlakukan sebagai tempelan dalam kitab-kitab shahih.

Lebih dari itu, ibadah formal sekalipun, dipandang dan dipahami kulitnya saja. Seperti dalam suatu hadits diceritakan,“berapa banyak orang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Manusia berlomba-lomba memperbanyak shalat, tapi tuturkatanya menyakiti orang lain, manusia memperbanyak ibadah puasa, tapi nafsunya tidak bisa ia kendalikan. Artinya, ada kepingan puzle yang tak diambil sehingga tidak menggambarkan keutuhan pola atau kesinambungan.

Beginilah kata Thahir Haddad, “Islam bukanlah agama tasbih dan salawat, yang setelahnya begitu saja tidak berkaitan dengan pekerjaan dan kondisi kehidupan lainnya. Islam bukan juga seperti buku masa depan sehingga menetapkan semua hal dalam satu waktu. Tetapi agama yang dikehendaki sebagai suatu hal yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki dampak positif dalam jiwa kehidupan.”

“Sehingga ayat-ayat yang menjadi ajarannya turun, menunggu kejadian yang memanggilnya, bukan karena hukum yang mengada-ada. Karena itulah Al-Quran tidak membagi isinya berdasarkan bab khusus yang ditinjau dari sudut pandang tertentu. Karena itu juga ajaran Islam itu melekat dengan realitas hidup, sehingga mampu diterima banyak orang serta mengejutkan banyak pihak akan kebenarannya. Karena itulah Islam adalah ajaran untuk menempuh kehidupan.”

Bila meninjau pada faktor cepatnya penerimaan manusia terhadap risalah muhammadiyah atau syari’at Islam, maka itu kembali kepada ibadah-ibadah sosial yang menjadi arus utama, Islam menghapus sistem kasta, Islam memberikan keadilan, Islam menjadi tempat berlindung kaum papa, dan sebagainya.

“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, – begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropa Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan nabi Muhammad.

Tentu mesiu di sini, bukan yang berfungsi membinasakan atau menghancurkan saja, tapi juga mesiu yang digunakan untuk membuat jalan, jalan kereta api, jalan biasa, dan jalannya keselamatan dan kemakmuran.

Di Mekkah turunlah terkhusus ayat-ayat keimanan, di Madinah turunlah ayat-ayat mengamalkan keimanan itu. Ayat-ayat Mekkah dicirikan lagi dengan mengatur hubungan manusia dengan Allah, di Madinah dibimbinglah oleh ayat-ayat bagaimana hubungan manusia dengan manusia sesama.

Di Mekkah dijanjikan suatu kemenangan bagi orang beriman, di Madinah dibuktikanlah kemenangan bagi orang beriman. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kedua periode itu tidak terpisahkan sama sekali sifatnya satu dengan yang lainnya, tidak juga meniadakan satu sama lain.

Tulisan inipun tidaklah ditunjukan mengurangi nilai ibadah-ibadah formal, tetapi teranglah saat ini bahwa ibadah-ibadah sosial kurang dilirik dan diminati oleh muslim itu sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Bung Karno, Ibu Megawati, dan Imam Bukhari

Kopiah.Co — Ziarah Ibu Megawati Soekarnoputri ke makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (20/9) memberikan pesan tentang pentingnya spiritualitas...

Artikel Terkait