Gus Dur dan Kesadaran Universal

Artikel Populer

Kunti Zulva Russdiana Dewi
Kunti Zulva Russdiana Dewi
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Redaktur Ahli Bedug Media | Fatayat Study Club Mesir | Anggota kajian di Sekolah Tinggi Filsafat Girinata | Anggota kajian Salon Budaya PCINU Mesir

Semenjak kuliah, saya selalu merenungi anjing-anjing yang lewat di flat samping saya ketika tinggal di Kairo. Apa yang salah dengan anjing-anjing ini? Mengapa—dalam pandangan manusia—ia tampak menjijikkan? Bukankah semua makhluk di dunia ini sama di hadapan Allah? Faktanya, agama saya—barangkali juga agama yang lainnya—mengajarkan bahwa anjing, sekalipun tidak sama dengan manusia, sebagai hewan, namun ia harus tetap diperlakukan dengan bijak dan baik di dunia ini bukan? Makhluk itu punya perasaan, sama seperti saya, manusia dan hewan punya perasaan, alam pun demikian.

Dari pandangan subjektif saya sebagai manusia, saya mencoba mencari penyelesaian mengenal sang liyan ini sebagai bagian dari kita, sebagai kesatuan makhluk. Mungkin terlalu berlebihan jika saya mengibaratkannya dengan seekor hewan. Namun realitanya, terlalu naif jika kita tidak mengakuinya sering mendiskriminasi apa-apa yang berbeda. Jangankan hewan, sesama manusia juga demikian, saling merendahkan dan menafikan yang berlainan dengan dirinya.

Saya kemudian teringat bahwa faktor diskriminatif adalah egosentrisme. Sebuah sikap dan tindakan yang berpusat pada dirinya sendiri. Saya cukup yakin, manusia mayoritas demikian, barangkali saya pun demikian. Lantas kita harus bagaimana? Karena ego lahir dari sebuah kesadaran, maka kita harus menelisik kesadaran terlebih dahulu.

Saya tidak bisa sendirian dalam proses ini, saya butuh seseorang yang berhasil menelisik kesadaran itu. Saya pun mengenal sosok Gus Dur. Sosok yang terkenal berhasil merefleksikan kesadaran masyarakat bahkan secara kolektif untuk memiliki sudut pandang yang luas. Gus Dur saya nobatkan sebagai Pemikir Universal, mengubah kesadaran masyarakat di setiap lini untuk menyadari keberlainan sebagai bagian dari kita. Maka tidak ada Aku dan Kamu. Seperti halnya Indonesia, tidak boleh ada dominasi Islam terhadap Kristen, Katolik, dan Budha, atau sebaliknya.

Gus Dur, adalah sosok yang berhasil merealisasikan apa-apa yang lahir dari sebuah Kesadaran Universal melalui tindakan kemanusiaannya. Ya, bertindak sebagaimana harusnya manusia bertindak. Kesadaran Universal bersifat mutlak dan hadir di mana-mana pada saat yang sama dalam keseluruhannya, maka kesadaran seseorang, seperti yang dikatakan Charles Haanel, “Harus sama dalam jenis dan kualitas sebagai keseluruhan, yang membedakan hanyalah derajatnya”. Dengan begitu, derajatnya ditentukan oleh derajat pengakuan akan kesatuan kita dengan-Nya.

Gagasan tentang Kesadaran Universal yang tunggal juga merupakan dasar kebenaran mendalam dalam ajaran kuno yang mengatakan bahwa kita semua adalah Satu. Kita semua terhubung—tidak hanya satu sama lain, namun juga dengan seluruh alam dan segala sesuatu di alam semesta. Ini adalah Hukum Kesatuan. Gus Dur menerapkan hal ini.  Apa yang Gus Dur lakukan terhadap orang lain, Gus Dur juga melakukan terhadap dirinya sendiri. Apa yang ia pikirkan tentang orang lain, itulah yang ia pikirkan tentang diri Gus Dur sendiri. Gus Dur menerapkannya dalam banyak hal di tengah masyarakat Indonesia yang saat itu berusaha keluar dari mimpi buruk otoritarianisme Soeharto. Memosisikan rakyatnya persis dengan dirinya, sebagai manusia yang sedang menghamba kepada Tuhan. Maka jabatan dalam pikirnya, hanyalah alat untuk mendapatkan privilese yang baik demi menuangkan ide, gagasan inklusif yang ia bangun dari Kesadaran Universal.

Dalam kesadaran lainnya, Gus Dur berhasil mengakui agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Gus Dur melihat agama Konghucu sebagaimana ia melihat agamanya, Islam. Keduanya mendapatkan pengakuan yang sama di mata pemerintahan. Gus Dur menerapkan perspektif universalnya untuk menghubungkan kekerabatan sesama manusia. Hubungan vertikal ini sangat penting demi menciptkan keharmonisan hidup. Maka, kemajemukan dan menyadari keberlainan merupakan kesadaran awal yang harus kita perhatikan dan kita sikapi. 

Keterpisahan yang kita yang alami secara fisik dalam bentuk tiga dimensi ini adalah ilusi yang dialami oleh diri fisik kita, yang diteruskan ke otak melalui panca indera fisik. Sifat sebenarnya dari realitas kita adalah non-dualistik, yang berarti bahwa meskipun segala sesuatunya tampak berbeda, namun sebenarnya kita tidak terpisah. Gagasan ini telah diterapkan oleh Gus Dur. Sekalipun kita sebeneranya terpisah, bahkan secara biologis, namun pada dasarnya semua manusia adalah sama, dan yang membedakannya adalah derajat ketakwaan pada Tuhan, dan manusia dilarang—bukan hanya tidak bisa— untuk menilai ketakwaan itu.

Bagaimana gagasan ini bisa tampak sebagaimana dilakukan oleh Gus Dur, kuncinya adalah mewujudkannya dalam realitas. Ia menerapkannya sebagai proyeksi dari Kesadaran Universal. Selain fakta di atas, fakta lainnya yang dapat dijadikan sebagai proyeksi Kesadaran Universal Gus Dur adalah kesetaraan gender, buktinya adalah pengalihan nama yang saat ini kita kenal sebagai Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Gus Dur sangat teliti membaca gejala-gejala diskriminasi di tengah masyarakat kita, sayang tak banyak orang seperti Gus Dur yang hidup di saat ini.

Gus Dur telah mengalami pengalaman protagonis orang pertama yang sangat nyata di dunia ‘pemimpi-cita-cita, proyeksi’ dari sudut pandang ‘saya dan orang-orang luar yang berlainan dengan saya serta benda-benda,’ sebuah kehidupan yang membentuk pengalaman Gus Dur dalam menjalani kehidupannya yang penuh cita-cita harmonis dan damai.Gus Dur berhasil menanggalkan apa yang disebut perspektif dualisme. Itulah Gus Dur yang berhasil menciptakan realitas melalui pikirannya, sebagai manifestasi dari-Nya sebagai Sang Esa. Ini dapat kita tiru dan elaborasi dalam kehidupan kita, untuk mengingat siapa diri kita sebenarnya hingga diciptakan dan disebut sebagai manusia oleh Tuhan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait