Kopiah.co – Aisha binti Abd al-Rahman, lebih dikenal dengan nama pena Bint al-Shati (Putri Pantai), adalah salah satu perempuan muslim paling berpengaruh di dunia Arab abad ke-20. Sebagai seorang akademisi, pengkaji Al-Qur’an, novelis, dan kolumnis, ia menulis lebih dari 60 buku dan puluhan jurnal dalam berbagai topik, termasuk literatur Arab, tafsir Al-Qur’an, isu perempuan, serta karya fiksi. Ia menjadi dosen di Universitas Ain al-Shams, Kairo, Mesir, dan Universitas al-Qarawiyyin, Fez, Maroko. Pada tahun 1994, Bint al-Shati dianugerahi penghargaan bergengsi King Faisal International Prize. Ia berhasil menyeimbangkan kesuksesan akademik dengan peran tradisionalnya sebagai istri dan ibu.
Perjuangan dalam Budaya Patriarki
Lahir pada tahun 1912 di Dimyat, Mesir, Bint al-Shati tumbuh dalam lingkungan patriarki yang sangat membatasi akses perempuan ke pendidikan. Namun, berkat dukungan ibunya, ia berhasil menyelesaikan pendidikan formal meskipun mendapat perlawanan keras dari ayahnya. Bint al-Shati terus melanjutkan studinya hingga meraih gelar doktor dalam Sastra Arab pada tahun 1950. Gelar ini mengukuhkannya sebagai akademisi terkemuka, dan selama 50 tahun ia mengajar di universitas di Mesir dan Maroko.
Nama Bint al-Shati adalah nama pena yang dipilihnya sebagai cara untuk tetap anonim, sebagaimana lazim bagi perempuan pada masanya yang tidak menaruh nama asli mereka di ruang publik. Nama ini diambil dari kampung halamannya Dimyat yang terletak di tepi Laut Tengah, sebuah simbol dari akar budayanya. Bint al-Shati menjadi begitu dikenal, ketika ia menjadi bahan perbincangan, yaitu karya sastra yang dihasilkannya, baik dalam bentuk buku maupun tulisan yang berserak di media Mesir, khususnya Al-Ahram.
Pendekatan Filologis dalam Tafsir
Bint al-Shati dikenal karena pendekatannya yang unik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam karya monumental al-Tafsir al-Bayani—sebuah tafsir yang mencakup 14 surat terakhir Al-Qur’an—ia menggunakan metode filologi atau pendekatan bahasa secara tradisional. Baginya, setiap kata dalam Al-Qur’an memiliki makna yang harus digali melalui analisis kebahasaan yang mendalam, tanpa campur tangan sumber eksternal.
Bint al-Shati menerapkan pendekatan filologis klasik dalam memahami Al-Qur’an dan teks-teks Islam. Pendekatan ini, mirip dengan fenomenologi, memungkinkan Al-Qur’an menjelaskan dirinya sendiri dalam konteks sejarah aslinya tanpa dipengaruhi oleh asumsi atau teori modern. Segala prasangka dan teori modern tidak serta merta harus membuat makna al-Quran sesuai dengan selera modern. Karena ia memahami kata per kata dan konteks sebuah ayat, ia pun tak berselera untuk menyerahkan kepakaran ilmu al-Quran pada mereka yang bukan ahli.
Kontribusi dalam Bidang Sosial dan Isu Perempuan
Sebagai penulis yang membahas isu-isu perempuan, Bint al-Shati memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa mengesampingkan nilai-nilai tradisional Islam. Ia percaya bahwa pembebasan perempuan tidak berarti meninggalkan akar agama dan budaya. Meski dikenal karena pemikiran progresifnya akan isu perempuan, ia tidak menyebut dirinya feminis. Bahkan, ketika beberapa kalangan menyebutnya sebagai “feminis berjilbab,” Bint al-Shati menolak gagasan tersebut dan menegaskan bahwa representasi seorang muslimah tidak ditentukan hanya oleh pakaian.
Dalam tulisannya, baik di koran seperti Al-Ahram maupun di novel dan karya non-fiksinya, ia sering mengeksplorasi peran perempuan dalam sejarah Islam serta menelisik biografi dan peran perempuan sejak Islam masa awal dan selama Islam klasik. Baginya, perempuan memiliki peran yang signifikan sejak era Islam awal, dan itu harus diakui dalam narasi sejarah.
Pengabdian pada Bahasa dan Sastra Arab
Keistimewaan lain dari Bint al-Shati adalah kecintaannya pada bahasa Arab dan dedikasinya untuk menyunting teks-teks klasik. Kita mengetahui, sebagaimana kata Zacky Umam dalam buku Renungan Pemikir Muslim Dunia, sedikit sekali dikenal perempuan hebat yang dapat menyunting naskah klasik. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah suntingan terhadap Risalat al-Ghufran karya penyair terkenal Al-Ma’arri. Dalam proyek ini, ia menggunakan pendekatan yang ketat untuk memastikan keakuratan teks, bahkan menggabungkan metode penyelidikan hadis untuk memastikan keaslian sumber-sumbernya. Hal ini jarang dilakukan oleh perempuan pada masa itu, dan memperlihatkan keahliannya yang luar biasa sebagai filolog dan editor teks.
Inspirasi Bagi Perempuan Muslim
Bint al-Shati memberikan inspirasi besar bagi perempuan, baik melalui tulisan-tulisannya maupun perjuangannya melawan batasan-batasan sosial. Ia percaya bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi pada masyarakat, dan keyakinan ini ia dasarkan pada logika Islam serta argumen-argumen fikih.
Sebagai seorang akademisi yang berdedikasi, ia menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan, namun tetap menghormati nilai-nilai tradisional. “Dalam masa ketika seorang perempuan berpendidikan adalah khurafat,” komentar Haifa Younis, “Bint al-Shati berdiri sebagai simbol kekuatan dan kecerdasan perempuan.”
Warisan dan Pengakuan
Selama hidupnya, Bint al-Shati meninggalkan lebih dari 40 buku keislaman, puluhan karya fiksi, serta ratusan artikel yang tersebar di media cetak harian dan mingguan. Selepas wafatnya, pemerintah Mesir menghormatinya dengan mengeluarkan prangko yang menggunakan replika fotonya, karena foto aslinya tidak ditemukan.
Melalui karya-karyanya, Bint al-Shati telah mencetak warisan intelektual yang berharga dan memberikan contoh bahwa perempuan muslim dapat memainkan peran penting dalam dunia akademik, tanpa meninggalkan identitas keislaman mereka. Kontribusinya tidak hanya dikenang di dunia Arab, tetapi juga diakui secara global sebagai salah satu sarjana perempuan terbaik abad ke-20. Demikianlah Bint al-Shati, yang lahir di tepi Laut Tengah, menantang batasan sosial dan menjadi salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia Arab.