Al-Azhar dan Kepingan Logam Suez

Artikel Populer

Belakangan masisir mendapat perhatian lebih dari netizen. Masisir dianggap berada dalam kondisi chaos, tak terkendali, amoral, dan menyimpang dari tujuan utama mereka diberangkatkan ke Mesir agar semua menjadi ulama—itu pun jika kita semua sepakat. Riak yang semakin membesar ini saya kira merupakan efek dari postingan kumparan di kanal Youtubenya bersama MN.

Awalnya saya tidak begitu tertarik untuk membahas problematika masisir serupa. Ini merupakan isu tahunan yang selalu mencuat ke publik masisir menjelang kedatangan mahasiswa baru di Al-Azhar. Sejak dulu, isu pembludakan mahasiswa dan deklinasi karakter masisir menjadi topik yang selalu hangat diperbincangkan mendapat respon yang sangat beragam. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menyoroti setiap pendapat yang ada. Saya hanya akan mengutarakan pendapat yang murni timbul dari benak saya. Tidak menyeluruh, namun saya rasa ini merupakan fragmen penting yang hilang dari banyak opini yang muncul di kalangan masisir dan pihak terkait, yakni bahwa Al-Azhar juga bertanggung jawab atas fenomena yang dianggap ‘chaos’ ini.

Sebelum masuk ke dalam pembahasan inti, satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa fenomena ini merupakan permasalahan yang kompleks. Mengambinghitamkan satu pihak dan mengabaikan peran pihak lain hanya akan menyeret isu ini kepada diskusi tak berujung, yang pada akhirnya hanya akan menjadi bola liar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, fenomena ini harus dibaca secara menyeluruh sebagai fakta sosial, alih-alih menghadap-hadapkan realitas ini dengan imajinasi kita akan sebuah konsep ideal masisir.

Saya tidak akan membahas panjang drama lawas di atas. Namun yang jelas, apa yang dibicarakan di dalam kanal YouTube kumparan, pun dengan argumen-argumen yang dibawakan sama persis dengan apa yang artikel yang pernah saya tulis tahun 2022 berjudul ‘Kapitalisasi Pemberangkatan Camaba’, sayang tulisan itu saat ini sudah tiada. Intinya, semua persoalan yang ada di masisir kembali kepada pembeludakan jumlah mahasiswa lantas menjadikan OIAA, Kemenag, dan mediator sebagai kambing hitam karena terlibat dalam proses pemberangkatan mahasiswa baru.

Setelah beberapa tahun menjalani hidup sebagai masisir; mengamati setiap proses pemberangkatan mahasiswa baru dan juga aktivisme Al-Azhar sebagai institusi, saya kemudian melihat bahwa argumen seperti di atas terlalu simplikatif. Terlalu banyak variabel diabaikan yang hanya menjadikan isu ini sebagai bola liar di ruang publik. Terlalu naif jika mengatakan bahwa pembeludakan merupakan satu-satunya akar masalah yang berujung pada tuduhan OIAA dan mediator sebagai dalang. Layaknya pohon kelapa dengan akarnya yang berserabut, banyak pihak yang bertanggung jawab. Faktor psikologis seperti pandangan konvensional rerata masisir juga sedikit banyak berperan dalam menciptakan lingkungan ini. Lalu, variabel yang sangat penting namun diabaikan oleh banyak pihak adalah andil Al-Azhar sebagai kampus induk mahasiswa Indonesia di Mesir.

Saya kira kita harus menganalisis fenomena ini dengan kepala dingin, terutama ketika berbicara tentang poin terakhir di atas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Saya tidak hendak menelan ludah sendiri dengan menjadikan Al-Azhar sebagai kambing hitam. Seperti yang sudah disampaikan di atas, dengan melihat fenomena ini sebagai fakta sosial, maka setiap variabel sosial yang ada dianalisis tanpa mengabaikan sekecil pun—kalau bisa—faktor meskipun minim impact. Dengan demikian, tidak sama seperti obrolan kumparan yang hanya mencari kambing hitam. Kita seyogianya melacak seluruh variabel yang yang ada, mencacah, kemudian mengontrolnya.

Jika kita mengikuti perkembangan hubungan Al-Azhar dengan mahasiswa luar negeri, kita akan menyadari bahwa Al-Azhar terus berusaha mempermudah akses bagi penduduk asing untuk berkuliah. Dengan inovasinya, Al-Azhar sengaja memberikan kelonggaran bagi siapapun yang ingin menjadi pelajar, baik di tingkat ma’had maupun kampus. Tentu upaya ini sangat dirasakan oleh para pihak terkait, termasuk saya sebagai mahasiswa. Di antara contoh kemudahan ini adalah berdirinya PUSIBA yang membolehkan proses sertifikasi bahasa dilaksanakan di Indonesia sehingga tidak harus dilakukan Mesir. Dan akhir-akhir ini, Dr. Nahlah, penasihat Imam Akbar urusan pelajar asing sekaligus pimpinan markaz tathwir sangat aktif safar ke Indonesia, yang tentu bisa kita lihat sebagai upaya promosi, khususnya untuk pelajar ma’had, yang oleh sebagian masisir dianggap sebagai masalah besar.

Dalam banyak kesempatan, tidak jarang saya temukan pernyataan dari perwakilan Al-Azhar yang membangga-banggakan tingginya angka pelajar yang dimiliki. Dalam suatu kegiatan Majma’ Buhuts yang saya ikuti, narasumber menyebut jumlah fantastis seluruh pelajar Al-Azhar dan menyebutnya sebagai sebuah kebanggaan. Pada acara itu, panitia juga membagikan laporan pencapaian tersebut yang diolah dalam format leaflet. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Namun bagaimanapun, kita tidak bisa menutup mata bahwa Al-Azhar terus mengejar kuantitas pelajar, khususnya luar negeri. Ini bisa dibuktikan dengan fakta bertambahnya pelajar asing yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Entah apapun alasan yang melatarbelakangi fakta ini, Al-Azhar tentu memiliki jawabannya. Dan sebagai institusi, ia punya hak atas inovasi dan visi yang dikembangkan. Di antara hal yang bisa dijadikan alasan terkuat Al-Azhar membuka keran yang lebar terhadap masuknya pelajar asing adalah propaganda nilai-nilai Islam moderat. Ya, mau tidak mau kita harus menerima fakta bahwa moderatisme menjadi salah satu narasi utama wacana keislaman di dunia saat ini, dan Al-Azhar adalah nahkodanya. Bahkan dalam banyak seminar kelulusan atau seminar rabithah, diksi ‘sufara al-azhar’ sengaja dipopulerkan untuk menyebut para alumni yang diharapkan menjadi duta-duta Al-Azhar dalam menyebarkan karakter moderat azhari.

Soal efektivitas propaganda dengan meningkatkan jumlah pelajar adalah hal yang bisa diperdebatkan. Akan tetapi, bukan dalam kapasitas saya untuk berbicara mengenai hal tersebut karena itu adalah hak prerogatif para petinggi Al-Azhar. Pun demikian, ada sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan. Dalam 2 dekade terakhir, nama Al-Azhar sebagai madrasah Islam berada dalam puncak popularitasnya. Dan hal ini berjalan searah dengan peningkatan jumlah pelajar asing.

Dengan kata lain, semua efek samping yang muncul, yang kemudian hari kita populerkan sebagai problem di masisir, barangkali bukanlah problem. Artinya, semua sudah berada dalam perhitungan. Asumsi liar seperti, “Seandainya masyayikh Azhar tahu adanya tindakan amoral yang dilakukan oleh satu-dua masisir, niscaya Azhar akan menutup akses mahasiswa,” dan lain semacamnya tidak akan ada. Pun seandainya problem ini berada di luar perhitungan, dengan penuh keyakinan saya, Al-Azhar juga tidak akan melakukan tindakan serupa asumsi liar di atas. Al-Azhar tentu akan bertindak lebih terhormat dan rasional daripada tindakan yang gegabah seperti itu. Alih-alih marah kepada para alumni yang terlibat, Al-Azhar akan lebih dulu berinstropeksi. Setidaknya, ini adalah husnuzon saya terhadap Al-Azhar yang saya pandang sebagai madrasah keislaman yang memiliki kematangan berpikir dan bertindak.

Jika kita melihat fakta parsial dalam banyak individu mahasiswa, mungkin kita akan berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa peledakan kuantitas adalah sumber masalah. Tidak sedikit sesama mahasiswa yang bercerita pada saya bagaimana hidupnya terselamatkan karena berkuliah di Mesir. Ada yang tidak bisa baca bahasa Arab gundul hingga akhirnya berhasil menguasai kitab turos maupun kontemporer. Ada juga yang berujar semisal, “Seandainya ana gak di Mesir, mungkin ana akan melakukan dosa ini dan itu.”—mengingat pergaulan masa lalunya di Indonesia. Dari sini saya hendak mengatakan, barangkali apa yang kita anggap sebagai masalah nyatanya bukanlah masalah, namun karena ide buruk sudah menguasai kepala kita sehingga memalingkan kita dari kebaikan yang berada di lain sisi. Pandangan romantisasi atau hikmatisasi seperti ini pada hakikatnya tidak menyelesaikan masalah, namun setidaknya mampu men-delay problem dan mampu mengontrol kepala kita untuk tidak tergesa-gesa berpikir suuzon.

Oleh karena itu, untuk meredakan situasi yang penuh perdebatan ini, maka tetap menganggap fenomena ini sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan adalah cara yang tepat. Kemudian, saya melihat adanya sebuah gejala psikologis masisir yang menurut saya, jika bisa dikondisikan mampu meredakan permasalahan ini. Itu karena gejala psikologis ini sangat berkaitan dengan andil Al-Azhar yang sudah saya paparkan di atas. Setiap variabel harus diletakkan pada posisi yang proporsional, tak terkecuali Al-Azhar, meskipun itu berarti desakralisasi Al-Azhar.

Saya melihat adanya upaya pengkultusan Al-Azhar dari sebagian besar masisir dan alumni.  Hal ini membuat kita abai (baca: takut) terhadap tanggung jawab Al-Azhar dalam menciptakan kondisi yang kita anggap chaos ini. Salah satu gejala pengkultusan ini dapat dilihat dari bagaimana reaksi masisir mengomentari film Cairo Conspiracy di awal peluncurannya. Film ini dikritik secara membabi-buta tanpa argumen yang mendasar selain menjaga marwah Al-Azhar. Dan banyak fenomena serupa yang menjadi bukti bahwa kita terlalu ‘mengkultuskan’ Al-Azhar. Saya sepakat bahwa Mesir dengan Azharnya adalah surganya para pencari ilmu pada satu sisi, namun di sisi lain terdapat kekurangan yang membuat chaos ini sistematis.

Sepekan yang lalu, saya berkunjung ke salah satu cicit ulama azhari top global, Muhammad Abduh. Pada momen itu, saya bertemu beberapa keluarga sang cicit. Ada salah seorang dari mereka yang menarik perhatian. Ia ternyata merupakan pejabat daerah yang kebetulan adalah lulusan Universitas Al-Azhar Madinat Nasr. Satu momen, dia bertanya pada saya, “Apa pendapatmu tentang belajar-mengajar di Al-Azhar?” Belum sempat menjawab, ia malah klarifikasi, “Maksud saya adalah ta’lim, bukan sistem dan administrasinya.” Kami lanjut berbincang-bincang, yang kemudian kami sepakati bahwa Al-Azhar diistimewakan dengan kehadiran para ulama dan dosen yang sangat kapabel. Namun sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan sistem yang memadai, yang mampu menjamin kualitas setiap peserta didiknya. Dengan kata lain, kita harus membuang pengkultusan berlebih kita pada Al-Azhar dan mengakui bahwa ia tidak memiliki sistem yang cukup baik.

Poin ini sangat penting disadari oleh setiap kalangan, baik masisir maupun stakeholder yang mengurus pengiriman pelajar Indonesia ke Al-Azhar. Bagi masisir, poin ini bisa menjadi tolok ukur dalam beradaptasi. Sementara bagi stakeholder, kekurangan ini harus dijadikan sebagai evaluasi pengiriman pelajar Indonesia ke Mesir. Al-Azhar memiliki keinginan kuat meningkatkan kuantitas peserta didik, namun apakah sistem dan kondisi yang ada sudah memadai? Jika iya, maka problem masisir, khususnya dalam kompetensi intelektual dasar tidak seharusnya ada. Tentu kita tidak pernah mendengar adanya mahasiswa NYU, dengan mahasiswa asing yang berjumlah relatif sama, tidak mampu baca-tulis menggunakan bahasa Inggris.

Dengan kesadaran ini, para stakeholder di Indonesia juga setidaknya bisa menjadi mitra aktif yang setara dengan Al-Azhar, bukan semata-mata berdiri sebagai kepanjangan tangan saja. Alangkah baiknya jika kekurangan tersebut bisa disampaikan semisal oleh OIAA atupun Kemenag agar terdapat perubahan sistem dalam perkuliahan dan segala hal yang berkaitan dengannya. Atau paling tidak, keinginan Al-Azhar dapat dikondisikan sesuai realita yang dihadapi saat ini.

Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, permasalahan ini sangatlah kompleks. Setiap pihak yang punya kepedulian akan hal ini harus saling mengulurkan tangan dan membuka mata sejernih-jernihnya. Masalah ini tidak bisa dibebankan pada satu dua pihak saja. Mediator yang nakal dan bodong, meskipun mereka sangat bertanggung jawab dalam mengirim mahasiswa, namun tidak bisa dianggap sebagai dalang satu-satunya. Mereka semua adalah para pedagang yang memanfaatkan cara apapun untuk memperoleh keuntungan. Selama Al-Azhar membuka akses seluas-luasnya, semut-semut akan terus bergerak menuju ke arah tempat gula berada dengan segala cara.

Jika tidak ada regulasi yang ketat, baik dari Indonesia maupun dari pihak Al-Azhar, kondisi ini hanya akan membuka ruang-ruang debat kusir. Pengiriman mahasiswa ke Mesir, pada akhirnya bukan lagi investasi kesarjanaan muslim dan ulama, melainkan tambang kepingan logam berukiran Suez. Oleh karena itu, perlu upaya dialog antara pihak Indonesia dan Mesir untuk berbicara secara terbuka atas problematika ini. Tidak semuanya perlu diumbar seperti dalam grup Pasar Mesir Original, setidaknya apa yang bersifat krusial bisa didiskusikan untuk menjadi bahan evaluasi semua pihak.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Bung Karno, Ibu Megawati, dan Imam Bukhari

Kopiah.Co — Ziarah Ibu Megawati Soekarnoputri ke makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (20/9) memberikan pesan tentang pentingnya spiritualitas...

Artikel Terkait