Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Artikel Populer

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis.

Kopiah.co – Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa, namun juga memasuki bidang kehidupan lainnya, yaitu politik sebagai sebuah dunia yang dianggap tabu sebelumnya. Keterkaitan kaum sufi dalam bidang politik tampil dalam bentuk secara tidak langsung dan secara langsung. Ada beberapa faktor kaum sufi memasuki kancah politik, diantaranya yaitu kedekatan tokoh sufi dengan penguasa politik, keinginan untuk menerapkan nilai-nilai Islam, dan tanggung jawab teologis. 

Keterkaitan dengan politik ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah semakin memudahkan untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan yang lebih luas. Sedangkan dampak negatifnya ialah tergoresnya ajaran sufi yang asli yang dipahami secara tradisional yang pesimis. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut kehadiran tasawuf modern atau tasawuf fungsional menjadi kata kunci. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat di antara kaum sufi dengan politik, yaitu sama-sama berupaya mengimplementasikan nilai Islam dalam kehidupan sebagai sebuah tanggung jawab teologis.

Dimensi Sufistik Indonesia Pra-Kemerdekaan

Dalam konteks keindonesiaan, kedekatan tokoh sufi dengan penguasa telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, tentu dengan motivasi yang varian. Pada zaman penjajahan Belanda kedekatan penguasa Islam dengan pimpinan tarekat dilatari oleh kepentingan dan keinginan bersama untuk mengusir penjajah kolonial Belanda dari Nusantara. Sejak akhir abad-18 para kesultanan di seluruh Jawa, seperti Demak, Banten, Mataram, dan Cirebon tidak ingin dikuasai oleh kolonial Belanda, karena telah kehilangan hak-hak istimewa (previlege) dari rakyatnya, sedangkan pimpinan tarekat tidak ingin penjajah berkuasa karena akan memberikan tekanan dan ketidakbebasan dalam menjalankan ajaran agama.

Sebab itulah para kolonial yang menjajah Indonesia, seperti Belanda, Jepang, Portugis memandang gerakan tarekat sebagai perlawanan politik. Oleh karena itu, di Indonesia kaum sufi selain menjadi perantara tersebarnya agama Islam, juga telah memelihara jiwa di kalangan kaum muslim pada saat Indonesia mengalami kemunduran dalam hal kekuatan politik dan militer pada masa penjajahan Belanda, karena kebijakan-kebijakan (ordonasi) yang dibuat oleh kolonial Belanda dapat dipahami sebagai tekanan, akhirnya menjadi akar keresahan orang Indonesia yang kemudian menjadi sikap emosi dan frustrasi yang kumulatif.

Kemudian sebagaimana yang kita ketahui, bahwa pondok-pondok pesantren di Pulau Jawa memiliki kontribusi dan juga berfungsi sebagai kawasan spiritual Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah merupakan tempat yang sangat strategis bagi pelestarian siklus kehidupan sufi. Karena tempat ini, tidak diragukan lagi, menjadi tempat keberhasilan untuk menciptakan sifat dan karakter kepribadian pada setiap individu, seperti tawadhu, ikhlas, sabar. 

Sejarah Jawa abad ke-19 selalu menunjukkan peranan pesantren dan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam pengembangan masyarakat pedesaan, tempat budaya pesantren dialirkan ke pedesaan untuk membangkitkan masyarakat Jawa yang frustrasi. Hal itu menunjukkan bahwa Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah telah menjadi satu sistem sosial organik yang mampu mengantisipasi persoalan dan tantangan zaman.

Kehadiran tarekat, terutama Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa terutama di bagian pusat-pusat tarekat, seperti Banten, Kediri, dan Sidoarjo (sekitar tahun 1870 M) telah membawa angin segar bagi rakyat yang saat itu terjajah, mereka ingin segera terbebas dari pola hidup yang tertekan, karena pada saat itu mereka memandang Belanda sebagai orang asing dan penguasa tidak sah yang menerapkan kekuasaan dengan kekerasan. Dan pada saat itu pula menjadi banyak pengikutnya, dan membuat sebuah pergerakan yang kuat mengakar rumput di masyarakat. Perubahan fungsional dari sistem sosial organik ke sistem sosio-politik ini tentunya dilakukan demi keselamatan, kemaslahatan, dan mempertahankan keutuhan sistem serta nilai-nilai sosial yang selama ini telah diwariskan sebelumnya.

Jenis perubahan semacam ini disebut Parsons sebagai “evolusi sosial menuju peningkatan adaptasi” yang semula hanya bersifat “akhirat sentris” kemudian mengubah polanya ke “politik sentris.” Sekalipun dalam arti sempit, perbedaan semacam ini tidak ada dalam pandangan Islam khususnya dalam kerangka konsep Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah sendiri. Perubahan tersebut ditandai dengan pembenahan fungsi Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah untuk memberikan kekuatan penggerak serta dorongan kegiatan sosial politik dalam upaya menentang kolonialisme berdasarkan pola-pola struktur yang ada di dalam ajarannya serta pola-pola tradisional dan kebudayaan setempat.

Semangat perjuangan yang dikobarkan oleh masyarakat umumnya dan kaum tarekat khususnya, dalam menghadapi kolonialisme semakin menggebu serta penuh harapan akan datangnya seorang pemimpin besar atau biasa disebut (messianisme), menurut Nurcholish Madjid, adalah sumber kekuatan dan semangat perjuangan bagi kaum tertindas, karena dengan messianisme itu mereka tidak akan pernah kehilangan harapan kepada sesuatu bentuk pertolongan dari langit. Ia menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang dengan amat sangat mendambakan kebebasan dan keadilan. 

Oleh karena itu, bagi umat Islam, upaya melepaskan diri dari ikatan penjajahan itu dapat dipandang merupakan refleksi dari keyakinan teologisnya yang mengajarkan manusia hanya menggantungkan diri kepada Sang Khaliq. Sikap ini mendorong umat Islam untuk memiliki keberanian menyatakan suatu kebenaran dan menolak kebatilan, sekalipun ia dihadapkan pada tuntutan mengorbankan dirinya. Upaya perjuangan yang suci ini bermula dari keyakinan akan sebuah balasan yang akan diterimanya, apabila nyawanya menjadi korban karena memperjuangkan kebenaran dan hak kebebasan dengan melawan para penjajah saat itu. Pada saat ini, Islam diidentikkan dengan perjuangan kebangsaan atau nasionalisme. Terjalinnya hubungan Islam dengan perjuangan kebangsaan ini jelas hadir dalam sejumlah perang kemerdekaan di Indonesia.

Andil Tarekat Dalam Politik Nasional

Hubungan sufisme dalam perpolitikan di Indonesia dapat di lihat bagaimana efektifnya potensi yang dimiliki oleh kaum tarekat khususnya Qadiriyah-Naqsyabandiyah dengan kebutuhan psikologis dan sosiologis rakyat Indonesia. ia telah menjadi katalisator dalam menggerakkan masa, bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga dalam pemikiran politik. Sampai di sini kita dapat melihat hubungan yang signifikan antara sufisme dan politik Indonesia pada masa kolonial atau sebelum kemerdekaan. Kemudian, relevansi sufisme dan politik Indonesia juga sangat signifikan, bahkan sangat di butuhkan hingga masa kemerdekaan sampai saat ini, dimana demokrasi dengan nilai-nilai Pancasila sebagai substansinya menjadi landasan politiknya.

Menurut Nurcholish Madjid, demokrasi sudah tentu mengimplikasikan sebuah kebebasan pribadi. Namun, banyak orang yang takut kebebasan, karena di situ dituntut tanggung jawab pribadi yang lebih besar. Ketakutan itu bisa menjadi penghalang yang besar atas terwujudnya demokrasi khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, penting sekali diperhatikan dari segi pendidikan politik, yang di situ masalah kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang mengiringinya harus diberikan secara proporsional. Suatu kebenaran yang mungkin terdengar ganjil bahwa dimensi sosial hidup manusia, termasuk sistem politik demokrasinya akan membutuhkan pertumbuhan pada setiap individu yang kuat dan berkualitas, yang menghargai kebebasan dan siap menerima konsekuensinya berupa tanggung jawab pribadi. Masing-masing setiap orang itu yang pada akhirnya dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggungjawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya (di pengadilan Hadirat Ilahi nanti) tanpa mendelegasikannya kepada pribadi yang lain.

Maka dari itu, untuk mewujudkan stabilitas politik guna memberi atmosfer yang baik bagi pembangunan Negara Indonesia, dibutuhkan mentalitas dan kekokohan pribadi yang bertanggungjawab, karena dalam nilai-nilai inilah terdapat makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Kemudian, tanggung jawab pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus yang bisa dipertanggung jawabkan juga di hadapan manusia. Dengan menggunakan istilah sufisme yang lebih khusus, tanggung jawab yang bersifat pribadi itu membawa akibat adanya keselamatan (salamah) yang terwujud melalui amal saleh serta ada dalam konteks interaksi antara sesama manusia, bahkan sesama ciptaan Tuhan dalam arti seluas-luasnya.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa sikap sufistik atau sufisme yang merupakan esoterik Islam atau penghayatan keagamaan batin dan bersifat pribadi. Menurut Nurcholish, sangat diperlukan dalam dunia politik di Indonesia yang berlandaskan demokrasi Pancasila. Terlebih sufisme yang dikehendaki Nurcholish adalah sufisme yang hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau sosio-politik. Kemudian yang menjadi prioritas utamanya adalah perilaku dan moralitas manusia agar bisa berakhlak mulia dan bukan mengutamakan unsur legal-formal agama Islam seperti terwujudnya sebuah apologi Negara Islam, kejayaan partai Islam, serta ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, dan budaya Islam sebagai bagian dari eksperimentasi sistem ketatanegaraan. Jadi, meskipun tasawuf tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun tasawuf dapat memberi etos, spirit, dan muatan doktrinal dalam setiap individu masyarakat Indonesia, yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratis.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa dari historis kemerdekaan Indonesia tak dapat dipungkiri, bahwa gerakan politik tidak hanya menjadi semangat di kalangan kaum tarekat saja. Bahkan jauh lebih luas, ketokohan ulama karismatik dan juga para pemimpin pondok pesantren, mereka selalu menerapkan prinsip gotong royong untuk terus mempelopori dibalik perlawanan penjajahan kolonial Belanda ataupun Jepang. Oleh karena itu, betapa pengaruhnya kaum tarekat bisa melahirkan perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan spirit kebangsaan. Dan oleh sebab itu, peran dan fungsi kaum tarekat di masa lalu yang merubah arah pola aktifitas keagamaan menjadi gerakan politik adalah sebuah bukti kongkret dan nyata, bahwa sekali lagi, kaum sufi baik secara langsung ataupun tidak langsung telah memberi andil dan kontribusi yang sangat besar terhadap pergerakan perlawanan yang tumbuh dan lahir di masyarakat guna mencapai kemerdekaan di kemudian hari. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait