Tetralogi Kehidupan Nabi Membangun Peradaban

Artikel Populer

Oleh : Muhammad Irfan Maulana, Mahasiswa Universitas Zaitunah Tunisia

Kopiah.Co — Sayang sekali, bila perjalanan kenabian sang Rasul Muhammad shalallahu alaihi wasallam hanya dipahami layaknya cerita tokoh lainnya. Dihafalkan tok kejadian kronologis, semenjak lahir, masa kanak-kanak, masa dewasa, permulaan kenabian, fase Makkah, fase Madinah, hingga wafat. 

Kehidupan kenabian yang syarat pelajaran, petunjuk, dan cahaya tentunya tidak akan maksimal menemui pembaca bila dipahami dari sisi kronologis saja. Untuk sampai pada potensi terbaik hasil “pembacaan perjalanan sang nabi”, perlu menembus batas analisa kering kronologis di atas, dengan cara masuk lebih dalam daripada apa yang secara gamblang tertera.

Hal ini, sebagaimana yang dilakukan Dr. Ali Jum’ah yang berhasil menerobos batas kering itu, memberikan kesegaran analisa pada fase kehidupan sang nabi. Ia memiliki suatu analisis dengan apa yang ia sebut sebagai 4 model kehidupan nabi dalam konteks interaksi antar individu maupun kelompok. Dalam hal ini bolehlah penulis katakan sebagai “Tetralogi kehidupan Nabi” menurut Ali Jum’ah.

Kesegaran tawaran ini tampak pada keterlepasannya dari periodisasi mainstream, biasanya kita kenal sebagai fase Makkah dan fase Madinah, fase Makkah terbagi menjadi dua : Sirri dan Jahri, dan seterusnya. Analisis ini, Ali Jum’ah kemukakan dalam pembukaan bukunya yang berjudul “Al-Ta’ayusy Ma’al akhar fi Dhau’i Al-Shirah Al-Nabawiyah”. Sekali lagi, analisa ini dibalut dalam sudut pandang “seni berinteraksi/bergaul sang Nabi” dalam setiap fasenya.

Fase Makkah 

Ketika umat Islam hanya sedikit jumlahnya dalam lingkungan yang tidak bersahabat, maka karakter yang ada di sana adalah maqam al-Shabr (kesabaran), husn al-mu’amalah (interaksi yang baik), dan dakwah ila al-Islam (dakwah).

Fase Habasyah 

Dimana umat Islam sedikit jumlahnya dalam lingkungan yang adil dan merata, maka karakternya ialah di mana terdapat maqam al-indimaj (membaur), al-wafa (kesetiaan), dan al-Musyarakah (gotong royong)

Fase Madinah I 

Kaum muslimin menjadi mayoritas yang hidup dalam masyarakat dimana mereka hidup bersama dengan minoritas yang berbeda dan beragam, baik dari segi agama, ras, dan lain-lain.Setiap orang diorganisir di bawah pemerintahan Muslim, Maka karakter yang terdapat di dalamnya adalah maqam al-musawat (kesetaraan), al-ikha (persaudaraan), al-ta’awun (kerjasama/saling menolong) dan al-muwathanah Lil Jami’ (kewarganegaraan untuk semua).

Fase Madinah II

Minoritas telah hilang dari masyarakat Muslim, dan perkaranya hanya terbatas pada individu non-Muslim yang tinggal di negara Muslim yang patuh pada sistem Islam. Negara ini telah menetapkan otoritasnya dan mengatasi kekuatan-kekuatan yang menentang pendirian dan kebangkitannya, maka karakternya ialah maqam al-adl (keadilan), al-infitah (keterbukaan), dan al-Hiwar (dialog).

Keempat model ini merupakan gambaran komprehensif bagi kehidupan manusia, khususnya muslim. Kelangsungan hidup muslim khususnya dalam masyarakatnya hampir tidak menyimpang darinya, dan keempat model tersebut menjadi pedoman bagi umat Islam untuk hidup berdampingan dengan semua sistem, agama, dan peradaban.

Namun kita harus mewaspadai detail dan seluk-beluk model tersebut agar dapat hidup berdampingan dengan baik, agar kita dapat memperoleh manfaat darinya dan menerapkannya dengan baik dalam realitas kita dan masa depan kita. 

Penulis juga menyimpulkan bahwa keempat fase ini, bukanlah sebagai susunan hierarkis, di mana ada kompetisi berlari dari satu fase kepada fase yang lainnya. Di mana fase terakhir menjadi naskh/penghapus fase sebelumnya.

Karena kondisi individu Muslim dan kondisi umat Islam secara kolektif berubah dan mengalir, dan Muslim tidak dilarang pula untuk mengambil manfaat dan bimbingan model-model ini dalam kehidupan dan penghidupannya, menjalankan ritualnya dan menjalankan seruannya. Di mana umat Islam hidup dengan sistem berbeda, maka ada perlakuan berbeda yang perlu diperhatikan lebih cermat.   

Sebagaimana kita hidup di Indonesia dalam negeri yang diikat oleh konstitusi atau perjanjian kolektif atau kontrak sosial atau juga biasa di sebut negara berbasis “al-Sulh”.

Inilah gambaran hidup berkeadilan yang dicontohkan sang Rasulullah pembawa kabar gembira bagi umat manusia. Memperlakukan perbedaan sebagai fitrah kehidupan, dan melakukan cara interaksinya yang berbeda tergantung pada kondisi yang dialaminya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait