Menghidupkan Bung Karno

Artikel Populer

Kopiah.Co — “Saya adalah manusia biasa. Saya tidak sempurna. Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku. Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku. Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat”. (Sukarno, 10 September 1966.

Kemarin, 21 Juni 2023 adalah peringatan 53 tahun wafatnya Bung Karno. Sebelumnya, 6 Juni 2023 lalu adalah 122 tahun lalu Bung Karno lahir ke dunia, tepatnya pada 6 Juni 1901. Hingga hari ini, sosoknya terus dikenang. Gagasan, pemikiran, dan cita-citanya masih terus relevan, tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari Bung Besar itu? Spirit dan semangat apa yang harus kita hidupkan kembali dari sosok Putra Sang Fajar itu di hari ini?

Cinta Tanah Air

Bung Karno telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk Indonesia. Hidupnya ia habiskan untuk kepentingan bangsa. Perjuangan dan pengabdian itu telah ia mulai sejak usianya masih remaja. Ia belajar, berguru, membaca buku, dan melahap ilmu sebanyak-banyaknya. Perjalanan yang ditempuhnya itu hanya untuk satu tujuan, yaitu kemerdekaan Indonesia, sebagai jembatan emas untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Saya dapat mengatakan demikian setelah mengenal sosok Bung Karno lebih dekat, yaitu melalui catatan-catatan yang ia tulis dan termaktub pada buku “Di Bawah Bendera Revolusi“. Untuk mengenal dan memahami Bung Karno serta Indonesia, buku tersebut memang penting dan harus menjadi rujukan utama untuk dibaca. Maka, silakan teman-teman dapat membacanya.

Kembali ke Bung Karno. Cinta Tanah Air yang Bung Karno miliki merupakan kecintaan yang tulus, yang selalu ia hidupkan hingga akhir hayatnya. Ketika Bung Karno muda dan Indonesia masih belum merdeka, ia merasa geram terhadap anak bangsa yang berseteru dan tidak bersatu untuk kepentingan nasional.

Misalnya, ketika tiga kelompok yang mempunyai tiga sifat ; Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis berseteru, Bung Karno geram. Menurut Bung Karno, di tengah situasi negara yang masih terjajah dan masing-masing haluan memiliki cita-cita yang sama untuk kemerdekaan Indonesia, berseteru bukanlah suatu hal yang relevan. Bagi Bung Karno, untuk membangun Indonesia, kolaborasi atau kerja sama mesti dikedepankan.

Dalam perjalanan perjuangannya, beberapa kali Bung Karno diasingkan, dipenjara, dan nyaris dibunuh. Namun, hal itu tak menggentarkan dirinya untuk tidak berjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bertekad agar kemerdekaan itu betul-betul didapatkan secara utuh oleh bangsa Indonesia. Melalui perjuangannya bersama kaum Marhaen, Bung Karno berdiri paling depan dalam menentang penjajahan yang bertolakbelakang dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Meskipun bagi Bung Karno, kemerdekaan itu bukan akhir dari segalanya. Dalam salah satu pidatonya yang terkenal, Bung Karno menegaskan, “Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya”. Ia juga menambahkan, “Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila”. 

Pada tahun 1949, terjadi upaya dari Belanda untuk kembali menjajah Indonesia dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca Konferensi Meja Bundar, 27 Desember 1949. Dengan sistem yang berbentuk federal, yaitu terdiri dari 7 negara bagian dan 9 daerah otonom termasuk Republik Indonesia, RIS dianggap sebagai alat pemecah belah persatuan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Sehingga, terbentuknya RIS ini membuat Bung Karno dan rakyat Indonesia marah besar, sehingga menolak dan menentang dengan keras. Kemudian Bung Karno dan Bung Hatta berupaya aktif melobi ke negara-negara bagian, diikuti dengan mosi integral Natsir dan tuntutan dari rakyat, pada 19 Mei 1950 pun RIS bubar dan tercipta Piagam Persetujuan untuk kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Visi tertinggi Bung Karno dalam perjuangannya untuk Indonesia adalah kemaslahatan bersama (maslahah al-‘ammah). Bung Karno senantiasa menempatan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan atau individu. Sikap itu lahir dari spirit cinta Tanah Air (hubbul wathan) yang tulus dan kokoh.

Bung Karno mengatakan, “Negara ini, Republik Indonesia, bukan milik kelompok manapun, juga agama, atau kelompok etnis manapun, atau kelompok dengan adat dan tradisi apa pun, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”. Selain itu, Bung Karno juga menegaskan, bahwa “Itulah konsep nasionalisme yang didirikan Indonesia. Bukan orang Jawa, bukan orang Sumatera, bukan orang Kalimantan, Sulawesi, Bali atau lainnya, tapi orang Indonesia, yang bersama-sama menjadi fondasi satu kesatuan nasional.

Sikap, prinsip, nilai, dan semangat Bung Karno dalam mencintai Tanah Airnya, Indonesia mesti kita hidupkan terus-menerus. Semangat persamaan derajat dan pro terhadap kemaslahatan bersama merupakan api warisan Bung Karno yang seyogianya terus kita kobarkan. Lebih-lebih untuk menyongsong Indonesia Emas tahun 2045 nanti, spirit cinta Tanah Air ini merupakan kekuatan dasar yang seharusnya hidup dalam setiap jiwa dan raga kita sebagai anak bangsa.

Menghidupkan Bung Karno

Indonesia saat ini telah memasuki era bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Per-Juni 2022, usia produktif itu mencapai 69%. Artinya, jika jumlah yang besar itu dimanfaatkan dan disiapkan dengan baik, maka Indonesia dapat betul-mencapai era emasnya di 2045 mendatang.

Tak dimungkiri, bahwa generasi muda adalah kelompok yang dapat memainkan peran penting dalam kemajuan Indonesia hari ini dan ke depan. Namun, dapat menjadi sebab kemajuan itu ketika generasi muda mampu memahami dan mengenal Indonesia dengan baik. Untuk memulainya, kita dapat memulai berkenalan dengan sosok Bung Karno, memahami gagasan dan pemikirannya, serta mewarisi api perjuangannya.

Pelajaran dan nilai dasar yang bisa kita tiru dan amalkan dari sosok Bung Karno itu bisa dimulai dari perasaan cinta Tanah Air yang tulus, yang kemudian diikuti dengan spirit persatuan, gotong-royong, dan kolaborasi untuk kepentingan serta kemaslahatan bangsa.

Menurut Bung Karno, ketika kita emiliki cita-cita yang sama untuk kemajuan Indonesia, berseteru bukanlah suatu hal yang relevan. Bagi Bung Karno, untuk membangun Indonesia, kolaborasi atau kerja sama mesti dikedepankan. Dengan kolaborasi, masing-masing kekuatan itu dapat dihimpun menjadi satu kekuatan yang besar.

Saat ini, terutama di era globalilasi, spirit kolaborasi sangat penting dibangun oleh setiap individu dan kelompok. Saling berseteru dan berkonflik adalah sebab kehancuran yang sungguh pun tidak sesuai dengan karakter manusia sebagai makhluk sosial, atau dalam bahasa Ibnu Khaldun disebut dengan, “al-Insanu madaniyyun bi al-Thabi’“, artinya setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya.

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan kekayaaan alam dan budaya. Perbedaan suku dan agama harus dipandang dengan semangat persamaan derajat dan pandangan kasih sayang. Sehingga dengan demikian, dari perbedaan itu kita dapat membangun sebuah kekuatan besar atau bahkan maha-besar.

Setelah membangun Indonesia, bukan tidak mungkin kita naik level untuk berperan besar dalam membangun peradaban dunia yang damai. Sebagaimana dicita-citakan oleh Bung Karno, bahwa cinta Tanah Air atau nasionalisme yang kita miliki, seyogianya dimaknai dengan makna yang luas, yaitu perasaan cinta yang tinggi terhadap Tanah Air dan tidak memandang rendah bangsa lain. Bung Karno mengatakan, bahwa, “kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa”.

Bung Karno menegaskan, “Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia..”. Dari perkataan ini, Bung Karno mengajarkan agar nasionalisme yang kita bangun adalah bertujuan untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Artinya, yang menjadi landasan nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan.

Implementasi semangat tersebut dapat kita lihat dengan inisiasi Bung Karno menyatukan negara-negara non blok, menggelar Konferensi Asia-Afrika, dan peran serta kontribusi Bung Karno untuk kemerdekaan negara-negara terjajah dalam rangka melawan kolonialisme dan imperialisme. Saat ini, kalau kita pergi ke Tunisia, Maroko, atau Al-Jazair misalnya, nama Bung Karno sangat harum sebagai pejuang yang berdiri paling depan dalam membela kemanusiaan.


Apa yang telah dilakukan oleh Bung Karno sejatinya adalah jalan yang wajib ditempuh oleh kita dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini. 53 tahun lalu Bung Karno wafat, namun kebaikan, inspirasi, dan semangatnya masih tetap menghiasi Republik ini. Saking cintanya terhadap Indonesia dan bangsanya, Bung Karno juga pernah berkata, “Jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada tanah air dan bangsa”.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa sebagai bangsa Indonesia, seharusnya kita bersyukur karena di tengah keberagaman suku, agama, bahasa, dan budaya, Tanah Air kita masih kokoh berdiri secara damai dan harmonis. Pancasila, UUD NRI 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika harus senantiasa menjadi pedoman kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga ke depan, apa yang dicita-citakan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa itu benar-benar terwujud. Pertanyaannya, apakah kita yang akan mewujudkannya, atau kita hanya menjadi penonton?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait