Diplomasi Puisi dan Peradaban Baru

Artikel Populer

Kopiah.co – Pada 16 Juli 2022, KBRI Tunis menggelar malam Diplomasi Puisi Indonesia-Tunisia. Kegiatan tersebut menghadirkan sastrawan terkemuka Indonesia, Jamal D. Rahman dan sejumlah penyair besar Tunisia di antaranya: Muhammad Ghazi, Anis Syusyan, Hindun Trabelsi, Rasyid Arfawi, Mukhtar Arfawi, dan Izzudin Syabi.

Diplomasi Puisi ini menjadi langkah baru dalam rangka memperkokoh persahabatan Indonesia-Tunisia. Tak hanya membangun hubungan bilateral dalam bidang ekonomi dan politik, melainkan kebudayaan juga menjadi elemen penting yang dapat mempererat hubungan Indonesia-Tunisia sebagaimana yang dikatakan oleh Zuhairi Misrawi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Tunisia dalam sambutannya pada malam Diplomasi Puisi Indonesia-Tunisia tersebut.

Saya yang hadir secara langsung dalam kegiatan itu menyaksikan betapa keharmonisan, kebahagiaan, dan kasih sayang betul-betul menghiasi persahabatan Indonesia-Tunisia yang sangat erat. Setiap penyair maju ke depan, berdiri di atas panggung, membacakan puisi-puisinya yang indah. Terlihat harapan dan cita-cita besar di setiap untaian kata yang disampaikan oleh para penyair melalui puisinya untuk kemajuan Indonesia, Tunisia, dan dunia.

Jamal D. Rahman, penyair nasional Indonesia membacakan puisinya tentang persahabatan Indonesia-Tunisia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab lalu dibacakan juga oleh Zuhairi Misrawi, Duta Besar RI untuk Tunisia. Puisi yang berjudul “Aku Memanggilmu Tunis” itu menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara Bung Karno, Bapak Proklamator Indonesia dan Habib Bourguiba, Presiden Pertama Tunisia.

Alkisah, Rachid Driss dalam bukunya yang berjudul “Min Jakarta Ila Carthage” menceritakan tentang pengalamannya ketika berjuang mempersiapkan kemerdekaan Tunisia di Jakarta dan menuliskan tentang persahabatan Indonesia-Tunisia yang telah dimulai sejak tahun 1951, lima tahun sebelum Tunisia merdeka. Pada saat itu, Bung Karno mengundang Habib Bourguiba ke Jakarta untuk mempersiapkan kemerdekaan Tunisia. Lalu pada tahun 1952, Tunisia pun mendirikan kantor perwakilan persiapan kemerdekaan di Jakarta dan Rachid Driss menjadi kepala perwakilan pertama Tunisia di Indonesia.

Pada 1955, Bung Karno menggelar Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Peristiwa bersejarah itu pun menghantarkan Tunisia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1956. Kemudian Bung Karno berkunjung ke Tunisia pada tahun 1960 dan pemerintah Indonesia membuka Kedutaan Besarnya di Tunisia sebagai realisasi pembukaan hubungan diplomatik yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan Tunisia.

Sebab itu, Indonesia dan Bung Karno menjadi sosok penting bagi Tunisia. Selain menjadi negara Asia pertama yang mengakui kemerdekaan Tunisia, Indonesia pun berperan besar dalam membantu negara paling utara Afrika ini mewujudkan kemerdekaannya. Diplomasi persahabatan ala Bung Karno tersebut sungguh pun menjadi pelajaran bahwa Indonesia merupakan negara besar yang seharusnya terus berperan di level internasional.

Kembali ke Diplomasi Puisi Indonesia-Tunisia. Di Indonesia, para penyair seperti Taufik Ismail, Chairil Anwar, WS Rendra, dan Sapardi Djoko Damono telah membuktikan bahwa puisi dapat menjadi infrastruktur kebangsaan. Melalui puisi, setiap penyair mampu menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, cinta, kepedulian, dan kasih sayang melalui narasi-narasi yang indah dan dapat merasuk hingga ke jiwa.

Di Tunisia, puisi pun memiliki posisi penting dalam membangkitan gairah hidup masyarakat, khususnya pada masa reformasi ketika Tunisia berada di bawah protektorat Perancis. Saat itu, muncul Abul Qosim Syabbi, sastrawan abad ke-20 yang dengan puisi-puisinya dapat membangun sikap optimisme bagi masyarakat Tunisia dalam meraih kemerdekaan.

Bagi Syabbi, puisi tidak hanya rangkaian kata yang disusun menjadi indah, melainkan puisi merupakan sumber kekuatan, kebebasan, dan dapat membangun rasa cinta tanah air. Tak heran jika puisi-puisi Syabbi mampu merubah pemikiran masyarakat Tunisia sehingga memunculkan reaksi seperti gerakan kemerdekaan dan pembaharuan.

Di antara karyanya, puisi Iradatul Hayat karya Syabbi memberi pelajaran bahwa setiap bangsa harus bangkit dari keterpurukan, keterbelakangan, dan dapat merubah kondisinya sendiri ke arah yang lebih baik dan berkemajuan. Atas jasa dan perannya, salah satu bait puisi Syabbi pun diabadikan dalam lagu kebangsaan Tunisia. Hal tersebut menunjukkan betapa puisi memiliki posisi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Tunisia. Serta menunjukkan bahwa Tunisia adalah negara yang memiliki peradaban adiluhung, menghargai seni dan budaya.

Maka itu, langkah yang dilakukan KBRI Tunis dengan menggelar diplomasi puisi pun menjadi langkah yang tepat. Selain relevan dengan kondisi sosial masyarakat Tunisia yang mencintai dan menghargai budaya, juga menjadi gaya diplomasi yang membumi. Karena sebagaimana yang dilakukan oleh Bung Karno, bahwa hubungan yang dibangun oleh setiap negara itu seharusnya hubungan yang dibangun bak sahabat, saling merangkul dan saling menghargai.

Selama hampir tiga tahun di Tunisia, saya merasakan betapa negeri yang memiliki 12 juta penduduk ini menjunjung tinggi seni dan budaya. Sejak bulan ramadhan, masyarakat Tunisia menjadikan malam-malamnya sebagai malam-malam kebudayaan. Pun di musim panas seperti saat ini, masyarakat Tunisia menggelar berbagai festival internasional di antaranya: Festival Carthage, Festival Tabarka, Festival Bizerte, Festival Dougga, Festival Kasserine, dan lain-lain. Tarian, musik, film, teater dan penampilan seni budaya lainnya menghiasi kegiatan festival rutinan musim panas serta menjadi hiburan di tengah masyarakat.

Ke depan, tarian, musik, film, dan kesenian Indonesia harus ikut serta dalam kegiatan festival internasional di Tunisia. Sebagai negara yang terkenal kaya akan budaya, sungguh pun Indonesia harus terus memainkan peran di level global, menampilkan karya seni anak bangsa di tingkat internasional. Demikian juga dengan keberagaman suku dan agama yang menjadi ciri khas Indonesia, yang di tengah perbedaan senantiasa mampu hidup dengan damai, pun dapat menjadi role model bagi masyarakat dunia.

Oleh karena itu, kebudayaan dapat menjadi infrastruktur diplomasi dalam meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dan mewujudkan perdamaian dunia. Melalui kebudayaan, tidak mustahil setiap warga dunia bersatu, saling merangkul, menghargai, dan mencintai. Maka diplomasi budaya ala Indonesia dapat menjadi garis yang dilalui dalam mewujudkan peradaban baru. 

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait