Belajar Menjadi Manusia yang Memanusiakan Manusia

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

kopiah.co – Apa fungsi pendidikan? Pertanyaan semacam ini jika hendak ditelisik lebih jauh lagi, ia akan masuk ke dalam bahasan filsafat ilmu. Tapi tak perlu beranjak ke sana. Saya rasa kejauhan, belum tentu juga akan mendapatkan jawaban yang konkret. Tapi, sedikit banyak akan bertemu dengan ragam kerumitan, karena yang tertera adalah berbagai macam aliran filsafat ilmu sesuai karakter metodologisnya.

Namun berbeda untuk sebagian orang. Justru menurut mereka persoalan yang rumit, bahkan buat pikiran mumet itu menyenangkan. Bisa memicu adrenalin. Seperti anak punk yang konon sangat anti dengan status kemapanan. Menarik sekali, bukan?

Soal kenapa kita perlu mengetahui fungsi pembelajaran adalah karena tidak sedikit orang yang sudah belajar bertahun-tahun, bahkan bisa sampai puluhan tahun, ketika dihadapkan pada suatu realitas tertentu, ia malah tak tahu apa yang mestinya hendak dilakukan.

Bisa jadi karena faktor terlalu nyaman dengan ‘sistem’ yang sedang berlangsung. Seolah-olah kita tak perlu lagi susah payah merumuskan nilai-nilai filososfis dan aktualisasi suatu fenomena. ‘Sistem’ itu misalnya gini lho, “Untuk bisa melamar pekerjaan ini, maka saya harus meluluskan ini!” ‘Sistem’ yang terekam dalam alam bawah sadar pikiran kita seperti ini sejatinya bukanlah kesalahan, karena begitulah konsekuensi kehidupan yang selalu diisi pola-pola struktural. Seperti halnya ujaran, “Yang bukan ini, maka ia tak berhak mendapat itu.” Dan oleh sebagian orang, betapa menyedihkannya menjadi yang bukan ‘itu’, dan betapa beruntung dan bahagianya mereka yang mendapatkan ‘itu’.

Jelas sekali! Sebelum manusia ‘terbentuk’, atau merelakan dirinya agar ‘dibentuk’ oleh pola-pola atau struktur kehidupan. Mula-mula manusia lah yang meramal wajah keberlangsungan dirinya melalui ‘sistem ‘yang mereka buat sendiri, yaitu lewat alam pikiran.

Jadinya pun bermacam-macam. Koneksi atau interaksi antar manusia pun rupanya membentuk identitas manusia. Ada yang rela tak jadi dirinya sendiri dengan mengikuti pola pikir orang lain. Inilah yang sering terjadi di permukaan. Ada pula yang memilih berdiri di atas idealisme atau memiliki prinsip yang berdasar pola pikir sendiri. Orang dengan model terakhir seperti ini masih ada, meskipun jarang sekali ditemukan.

Entah berapa jumlah mereka, pastinya pekerjaan berpikir bagi manusia masa kini adalah sesuatu yang seolah ‘wah’. Malah sekarang muncul gejala baru, orang-orang tak lagi diburu menjadi sosok yang memiliki keahlian di bidang tertentu (profesionalitas), namun lebih pada kemampuan untuk mengaktualisasikan diri lewat konten media sosial misalkan.

Orang boleh saja mendalami beragam pengetahuan berikut keterampilan individu, akan tapi jika tidak bisa bikin konten misalkan, orang lain mau menerima apa? Sudah terbukti, banyak yang tak jelas status pendidikannya, tapi karena kepalanya berisi sistem kerja yang kreatif, ia mudah menjadi miliarder.

Bukan. Jangan salah persepsi dulu. Saya tidak sedang mengarahkan pembaca pada soal cuanisme. Melainkan sekelumit gambaran bahwa antara dunia formal yang ‘berpola’ berbeda dengan alam realita yang menuntut aksi nyata. Alam realita disadari banyak keunikan, cenderung kreatif dan terkesan solutif.

Alkisah, saya memiliki seorang teman. Panggil saja ia Kiai Wali. Dulu ketika di Kairo rutinitas sehari-harinya tidak lepas dari alur ngopangopi, ngegame, dan seabrek ngalorngidul yang tidak jelas. Tapi, saat yang bersamaan, ia dikenal sebagai peminat buku dan doyan berdiskusi. Meski saat pulang ke kampung halaman, ia tidak membawa deretan gelar yang mentereng. Cukup lulus sarjana, gitu saja! Tapi terlihat jelas dia terlibat dalam pembentukan kesadaran para murid dan santri di lingkungan tempat dia mengabdikan diri. Tiap hari dia pilihkan baca-bacaan yang bermutu kepada para murid. Diajarinya anak didik tersebut bagaimana cara menulis dan menikmati kesenian. Di samping itu, para murid juga dipicu untuk menghidupkan kembali budaya setempat yang selama ini seakan redup, seperti halnya tradisi “kenduren”.

Jujur, saya lebih terkesima dengan orang-orang dengan semangat pengabdian seperti ini. Orang-orang yang seolah tak jelas status sosialnya, apakah ia sebagai orang yang kaya raya atau kere; ber-folowwer banyak layaknya para selebritis yang mulus dan goodlooking itu; atau orang yang asing di depan hingar bingar cakrawala popularitas. Apapun identitas dan standar moral sosialnya, saya tak peduli. Setidaknya kawan yang saya ceritakan tadi telah sukses menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia. Ia layaknya manusia yang sekadar tinggal di bumi, tapi mengerti kapan manusia lain bodoh, kesepian, ataupun kelaparan.

Ya, tugas manusia itu sederhana; melonggarkan cakrawala kesadarannya. Barangkali dengan cara itu terberi kesempatan bagi keterasingan yang lain untuk singgah dan berpeluk sembari berkeluh kesah. Manusia adalah ruang peraduan dan kenyamanan bagi yang lain. Bukan malah abadi mengejar egoisme fantasi diri, lalu acuh dengan segala malang kejadian di bumi.

Mari kita jujur sekali lagi. Betapa mudahnya menghafal tulisan atau susunan kalimat yang terhampar di lembaran buku-buku. Demikian juga, betapa mudahnya berlagak macam kaum terpelajar di bangku-bangku kuliah. Namun, saat dihadapkan pada kehidupan yang riil, kita sering kali kelabakan. Uniknya lagi, berpuluh-puluh tahun sekolah malah makin kesulitan mengerti Tanah Air kita. Apa itu Indonesia? Konten macam apakah itu? Aku kah itu Indonesia? Bagaiamana caranya ber-Indonesia?

Tapi, menurut saya sih cukup sederhana. Sebelum berbicara tentang bangunan besar semacam itu, perlu kiranya mencari titik tolaknya terlebih dahulu. Yakni, pengertian mendasar tentang manusia. Apakah gerangan manusia? Apa yang dibutuh dan perlu dikejar oleh manusia? Apa yang mesti dibela dari manusia, dan sudah cukup manusiawi kah kita yang manusia ini?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait