Historisitas dan Realitas Islam Politik yang Dinamis (2)

Artikel Populer

Nizam Noor Hadi
Nizam Noor Hadi
Mahasiswa Universitas AL-Azhar Mesir

Setelah perkara terkait status wafat Rasulullah tuntas, umat Islam masa itu seketika dihadapkan oleh persoalan lain berupa penentuan khalifah. Menurut Abu Hasan al-Asy’ari, persoalan penetapan khalifah saat itu cukup pelik, sampai-sampai memunculkan perbedaan dan perselisihan di kalangan sahabat.

Mula-mula golongan Ansar berkumpul di Saqifah (Balai Pertemuan) Bani Saidah. Kabar itu pun terdengar sampai di telinga Abu Bakar dan Umar. Ditemani Abu Ubaidah bin al-Jarrah, mereka berdua lantas bergegas menuju balai pertemuan tersebut. Sesampainya di tempat, kalangan Ansar menghendaki kepemimpinan dari pihak mereka. Hingga Abu Bakar mencoba menenangkan dan berusaha mengambil hati mereka. Ia menyanjung keutamaan kalangan Muhajirin dan Ansar di sisi Rasulullah SAW. Abu Bakar lantas menyodorkan nama Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah di hadapan sidang kaum muslim yang hadir di Saqifah Bani Saidah. Akan tetapi, Umar menolak dan justru menghendaki Abu Bakar sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW. Singkat cerita, golongan Ansar dan Muhajirin masih bisa menemukan titik kesepakatan dan segera membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin mereka.

            Fakta sejarah demikian menunjukkan tidak ada konsep yang baku dalam penentuan kepemimpinan. Sebelumnya pandangan politik berikut model kepemimpinan umat Islam diserahkan sepenuhnya pada kebijakan Rasulullah. Sedangkan, Nabi Muhammad memang tidak memberikan instruksi dan mekanisme eksplisit terkait sosok pengganti dirinya. Perihal ketegasan dari supremasi hukum Islam terkait kepemimpinan inilah yang sempat membuat kegaduhan di kalangan sahabat. Untungnya, ketegasan Umar bersamaan dengan kebijaksanaan Abu Bakar dapat meredam gejolak api perpecahan dalam umat Islam. Peranan dua pembesar sahabat tersebut tidak bisa terpisahkan dari realitas sosial-politik yang sempat bergejolak pada peristiwa Saqifah Bani Saidah.

Pada keesokannya, setelah musyawarah sahabat di Saqifah Bani Saidah berakhir damai dan berujung pada pembaiatan Abu Bakar, ia kemudian menyampaikan pidato kenegaraannya di hadapan massa yang memilihnya sebagai pemimpin secara aklamasi, “Wahai segenap manusia, sungguh aku telah (dipercaya untuk) memimpin kalian, sedangkan aku (menyadari) bukanlah sosok yang terbaik (di antara kalian). Apabila aku berbuat kebaikan, maka bantulah aku. (Sebaliknya) jika aku (tergelincir) melakukan kesalahan, maka koreksilah. Kepercayaan merupakan amanah, (sebaliknya) ketidak jujuran adalah pengkhianatan….Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Sebaliknya), jika aku (melakukan kesalahan dengan) durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tiada sedikitpun (alasan) kalian untuk taat kepadaku. Mari tunaikan shalat, semoga Allah merahmati kalian.” (Ibnu Atsir, al-Kâmil fi at-Târîkh, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah).

Pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Abu Bakar ini menunjukkan sikap kebijaksanaan berikut integritasnya yang tinggi. Ia seakan sama sekali tidak berambisi untuk menjadi khalifah, namun para pembesar sahabat serta publik terlanjur bersepakat dan mengakui kelayakannya selaku pemimpin mereka. Di samping itu, para sahabat menilai kelayakan Abu Bakar sebagai khalifah lantaran ia sering kali menjadi pendamping Rasulullah, terutama ketika ia menemani Nabi Muhammad dalam perjalanan hijrah ke Madinah.

Abu Bakar pun ditunjuk sebagai pengganti imam shalat saat Rasulullah berhalangan. Beberapa indikasi kedekatan dan keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq di sisi Rasulullah tersebut membuatnya terpilih sebagai khalifah. Massa umat Islam kemudian berbondong-bondong melakukan baiat secara kolektif dan mempercayakan tampuk kepemimpinan di tangan Abu Bakar. Hal inilah yang kelak menjadi nilai-nilai dasar penentuan kepemimpinan dalam Islam, ulama mengharuskan terpenuhinya syarat baiat sebagai bentuk kepercayaan publik terhadap pimpinan mereka. 

Selanjutnya, melihat proses pergantian kepemimpinan dari Rasulullah kepada Abu Bakar, dapat disimpulkan bahwa tidak ada konsep baku dan rigid dalam Islam soal kepemimpinan serta sistem ketatanegaraan. Pun demikian, ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Ia ditunjuk untuk menggantikan posisi Abu Bakar, sesuai permintaan khalifah pertama tersebut. Sekalipun permintaan Abu Bakar itu, didahului oleh tahapan persetujuan dari para pembesar sahabat yang berkumpul di rumahnya. Sedangkan pasca kepemimpinan Umar, Khalifah Usman bin Affan diberikan mandat sebagai pemimpin melalui kesepakatan dewan pemilih atau ahl halli wa al-‘aqdi (electoral college).

Dewan yang dibentuk atas pengajuan Umar bin Khattab tepat di masa kritisnya itu, memutuskan Usman bin Affan selaku kepala negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya, Usman bin Affan digantikan oleh sosok Ali bin Abi Thalib. Setelah kepemimpinan Ali berakhir, umat Islam lantas kembali dihadapkan pada problematika perpecahan dan pertikaian politik. Hingga pada akhirnya model kepemimpinan ala monarki mendominasi realitas sejarah Islam, mulai dari kekuasaan Bani Ummayyah sampai khilafah Usmaniyyah (Ottoman Empire). Corak kepemimpinan terakhir ini oleh para “Islam Politik” dianggap sebagai prototipe pemerintahan yang harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah formula Islami. (Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta, The Wahid Institute).

Sekilas kepemimpinan ala Khulafa’ ar-Rasyidin tersirat nilai-nilai penerapan sistem demokrasi, yang menjadikan asas kepemilikan bersama demi mencapai kemasalahatan dan kesejahteraan umat. Ditambah tidak adanya unsur pergantian tampuk kepemimpinan dengan hanya mempertimbangkan keturunan dari rezim yang sebelumnya berkuasa. Bahkan, tatkala Umar bin Khattab meminta untuk membentuk ahl halli wa al-‘aqdi, yang beranggotakan tujuh orang sahabat pilihan, termasuk anaknya, Abdullah, ia menegaskan agar Abdullah tidak boleh dipilih menjadi penggantinya.

Lalu sejarah berbalik arah, kepemimpinan dengan konsep yang tidak ditemukan landasan formalnya dalam Islam tersebut, kemudian berubah menjadi sistem kerajaan yang menitikberatkan pada sebuah marga tertentu. Calon-calon raja atau sultan dipersiapkan untuk menggantikan pemimpin sebelumnya. Kepemimpinan yang menjadikan turun temurun kekeluargaan sebagai gantinya ini cenderung bersifat nepotisme dan memiliki beberapa celah kekurangan. Secara keseluruhan, melihat realitas sejarah kepemimpinan Islam, sekali lagi dapat ditegaskan tidak ada kejelasan terkait aturan transisi kepemimpinan berikut konsep ketatanegaraannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Cerita dari Palestina : Berbaik Sangka kepada Imigrasi Paling Ketat, Allenby Border

Kopiah.Co — Berbaik sangka dalam menjalani apapun ternyata dapat menjadi perjalanan hidup kita menjadi ringan, termasuk saat singgah ke...

Artikel Terkait