Oleh: Raja Amar Jayakarta
Selain mahasiswa, selebritas, pengojek, komika dan pedagang kaki lima, para pelajar SMA/SMK sederajat pun ikut andil dalam aksi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sehari setelah memuncaknya demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kekesalan masyarakat terhadap rezim masih berlanjut dengan hadirnya para pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) di beberapa sektor. Para pelajar STM yang berkisar ratusan itu bergerombol menyuarakan hak mereka atas apa yang telah terjadi di negeri kita.
Belakangan ini, Ibu Pertiwi yang umurnya baru saja menginjak 79 tahun kembali ramai dengan persoalan politik. Pelbagai narasi gencar digalakkan oleh segenap lapisan masyarakat, mulai dari “peringatan darurat”, “batalkan bukan tunda”, “raja jawa” hingga adanya tagar “mulyono”. Narasi-narasi tersebut mencuat tidak lain akibat turbulensi politik Indonesia yang selangkah lagi akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
MK yang berusaha mengembalikan muruahnya telah memberikan angin segar bagi demokrasi kita. Pasalnya, pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menetapkan bahwa syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dari jalur politik atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah antara 6,5-10 persen, tergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut. Selain itu, dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 MK juga menegaskan syarat usia minimal calon 30 tahun sejak ditetapkan sebagai calon pasangan oleh KPU, bukan sejak pelantikan calon terpilih.
Sialnya, kedua putusan yang membentengi demokrasi tersebut ingin dianulir oleh pihak lain. Pada hari yang sama, Badan Legislasi (Baleg) DPR dikabarkan berencana merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kabar inilah yang menjadi titik berangkat keriuhan masyarakat Indonesia hingga puncaknya terjadi pada hari Kamis (22/8/2024). Kendatipun sudah mencapai puncaknya, keriuhan ini terus bergejolak dan masyarakat tetap gencar memuntahkan fakta-fakta adanya indikasi bahwa demokrasi kita akan dimutilasi, tak terkecuali para pelajar STM.
Seraya menyanyikan lagu-lagu demonstrasi, mereka-para pelajar STM berbondong-bondong ke beberapa lokasi demo dengan membawa bambu panjang dan mengibarkan bendera merah putih. Kehadiran mereka ini spontan menarik perhatian banyak pihak, termasuk saya pribadi. Tersebab mereka merupakan pelajar yang masih mengenyam bangku sekolah, urgensi kehadirannya di ranah politik ramai dipertanyakan. Apalagi, mereka hadir bukan dengan poster-poster demo yang lumrahnya digunakan para mahasiswa untuk mendemo, melainkan dengan bambu-bambu panjang yang identik sebagai perkamen tawuran.
Memang, dari sisi yuridis UUD 1945 menjamin setiap warga negaranya untuk dapat menyampaikan aspirasi. Namun melihat latar belakangnya, para pelajar yang berusia rata-rata 16-18 tahun layak untuk mendapat pengecualian dari persoalan ini. Mereka yang masih dalam periode pubertas pertama rentan dengan keterpengaruhan sosial yang belum pasti baik-buruknya. Sebagai contoh, kasus tawuran antar pelajar di Indonesia masih belum redup hingga saat ini. Banyak pertikaian dan kasus-kasus kekerasan lainnya di pelbagai daerah yang terus bermunculan, baik dilakukan secara individu maupun kelompok.
Kasus-kasus tersebut bak keniscayaan yang melekat pada pelajar di negara kita. Kenapa demikian? Setidaknya ada dua faktor yang saya temukan yang menjadi penyebabnya dan belum direkonsiliasi sampai sekarang. Pertama, faktor internal. Yaitu para pelajar sebagai remaja tidak bisa lepas dari aspek-aspek psikologis yang melingkupi kehidupannya sebagai remaja. Kedua, faktor eksternal yang berasal dari luar kepribadian pelajar. Yaitu kondisi lingkungan sosial di sekitar pelajar yang dapat memengaruhi pola pikir dan tindak tanduk mereka.
Memetik penggalan narasi dari CNN Indonesia, sebetulnya upaya untuk mengantisipasi kasus di muka sudah dilakukan. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof. Dr. Muhadjir Effendy, telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang Berpotensi Kekerasan. Surat edaran yang diteken pada 27 September 2019 itu memuat peringatan untuk melarang peserta didik terlibat dalam aksi demonstrasi yang berisiko menimbulkan kekisruhan, kerusuhan dan kerusakan.
Bila ditilik dan dikaitkan dengan para pelajar STM yang ikut aksi Kawal Putusan MK, Surat Edaran tersebut sudah tentu kontradiktif. Masak iya, mereka menjinjing bambu-bambu panjang untuk merakit getek? Dan benar saja, pelbagai platform sosial media ramai menyiarkan video-video baku hantam antara para pelajar STM dengan aparatur negara. Tidak sedikit pula dari para pelajar yang dikabarkan mendapat luka-luka serius dan dilarikan ke rumah sakit. “Pistol, gas air mata, tameng huru hara dan baton cukup dilawan dengan batangan bambu,” salah satu takarir dari video-video di atas.
Baku hantam tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena tidak etis apabila aparatur negara yang sudah dibekali persenjataan hanya melawan bambu dari pelajar berseragam. Namun mau bagaimana lagi, ibarat nasi sudah menjadi bubur dan baju sudah kepalang basah, kita semua sudah dipertontonkan pertikaian itu dengan hadirnya mereka di aksi Kawal Putusan MK belakangan. Hal ini sungguh miris, para pelajar yang seyogianya ada di sekolah-rumah harus bertarung menghadapi perseteruan di jalanan.
Belum lagi, selain kondisi fisiknya yang rawan terkena serangan dari aparat, para pelajar STM itu rentan tercederai mental kritisnya. Meskipun narasi yang diangkat adalah “turut serta menjaga demokrasi”, tetapi ketika mereka ditanya mengerti atau tidak tentang UU tentang Pilkada, hampir semua pelajar tersebut berkata tidak mengerti. Kemudian, ketika ditanya motif dan tujuan orisinalnya, kebanyakan dari mereka menjawab hanya sebatas mengikuti teman.
Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga masih meninggalkan kekhawatiran bagi keluarganya. Sudah menjadi hal yang naluriah sebagai orang tua untuk mengkhawatirkan anak-anaknya. Kepergian mereka untuk terjun langsung ke lapangan dan berpotensi tertimpa pelbagai masalah akan menjadi PR tersendiri bagi orang tua. Oleh karena anak adalah amanah yang harus dijaga, sebagai orang tua semestinya bertanggung jawab pada seluruh hal ihwal yang dilakukan sang anak, tidak seperti Mama Rafi. “Kalau izin guru, tidak. Tadi izin orang tua. Diizinkan demi Indonesia membaik,” ujar Muhammad Rafi, pelajar SMK di Kabupaten Demak yang diwawancarai oleh wartawan Tempo.
Walakhir, meskipun keberanian dan semangat nasionalisme mereka dalam mengawal putusan MK patut diapresiasi, kita harus menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam aksi tersebut akan menuai banyak hal riskan. Sekalipun intensi awalnya baik, fenomena seperti ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Alangkah baiknya kita merenungi lagi, hal apa yang releven dilakukan tunas-tunas bangsa dalam menjaga demokrasi yang sudah sekarat ini. Wasalam!