Belajar Demokrasi ala Rasulullah SAW

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.coPada Rabu kemarin, seorang teman berkunjung ke tempat kontrakan saya yang terletak di distrik Gamaliyah, Kairo. Awalnya kami janjian jauh-jauh hari untuk ngopi, tapi gara-gara dia mempunyai jam yang padat, kegiatan yang mulia dan berkah itu baru terealisasi kemarin.

Di tengah hiruk pikuk duniawi itu, kami begitu menikmati setiap kepulan asap, yang pastinya diiringi dengan seruputan kopi. Rasanya kurang lengkap kalau tak dibumbui dengan obrolan seputar masa depan, dan diskusi-diskusi random mengekspresikan keresahan masing-masing.

Dintara obrolan tersebut adalah menyoal Afghanistan, al Qaeda, dan Taliban. Setelah melalui berjam-jam pembahasan yang ngalor-ngidul itu, satu pernyataan yang diucapkan secara enteng oleh kawan saya, namun begitu membekas dalam ingatan saya, ” lha kok bisa ya, tindakan-tindakan semacam itu, berasal dari orang Islam?!”

Di situ poinnya. Kita tidak boleh hanya melulu membahas soal fenomena-fenomena keberagamaan yang salah dan meresahkan, dan dalam hal ini menjadi contoh adalah radikalisme ekstremis, hanya dilihat dari segi data di mana dan kapan ia berada. Lagi-lagi, hal itu bukanlah tontonan, yang sekadar mengisi beranda sosial media kita.

Tapi ada sesuatu yang urgen, yakni mengapa kejadian itu terjadi, bagaimana pola pikir keagamaan yang meresahkan itu terbentuk?

Itulah akar masalahnya.

Jika ada yang menjawab, bahwa alasan mengapa seseorang menjadi radikal adalah karena tidak puas dengan sistem pemerintahan, maka itu cukup menggelikan. Betapa banyak orang saat ini yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah yang ada. Berapa banyak orang yang mengritik dan meyampaikan ketidakpuasannya di sosial media. Itu wajar sekali, sistem demokrasi memfasilitasi semua itu.

Lantas, apakah mereka yang tidak puas, bahkan membenci, tiba-tiba semua menjadi seorang ekstremis? Tidak sama sekali. Karena selain bebas dalam menuangkan pikiran dan gagasan, rupanya orang-orang masih disiplin terhadap batas-batas diri, khususnya menyangkut keamanan dan kemaslahatan bersama.

Gagasan menjadi mulia saat ia ramah dan mampu bergerak menuju ke arah yang positif. Corak semacam ini, lazimnya berangkat dari pola pikir yang inklusif; terbuka dan merelakan pikirannya di bawa ke tanah lapang, untuk ditimbang dan diadili melalui berbagai sudut pandang. Terkhusus cara pandang seserang dalam beragama.

Kita tahu, Islam adalah agama yang telah sempurna semenjak empat belas abad yang lalu. Namun berbeda jelas antara mana agama sebagai subjek, dan agama sebagai objek.

Agama sebagai subjek, jelas ia telah mapan dan sempurna, karena ia turun dari Dia Yang Maha Sempurna. Lain urusan saat ia diperanka oleh subjek lain (manusia), karena citra agama di sini sudah beralih menjadi manifestasi penafsiran (terhadap agama yang kemudian dipahami sebagai khitab ad-din).

Pada titik inilah, umat Islam dituntut jernih dalam bersikap. Al Quran itu satu, tapi pemaknaan atasnya tidak pernah satu, alias beragam. Keberagaman ini mampu mengantarkan manusia menuju kehidupan yang dinamis nan majemuk.

Seperti yang kita lihat dalam ilmu fikih misalnya. Namun persolan menjadi lain saat ruang keberagaman itu diisi dengan tafsir yang destruktif, menyerang dan menghancurkan.

Pola yang terakhir inilah yang terjadi pada kalangan ekstremis. Dalam memahami agama, mereka terlihat pongah. Eksklusif: tak ada diskusi, tak ada ruang pikiran bagi liyan. Baginya, kebesaran agama adalah sekepal otak ilusifnya sendiri.

Ini adalah fenomena serius, karena sebagaimana data yag terlihat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, ” ada sekitar 10-12 jaringan inti terorisme yang saat ini berkembang di Indonesia.” ( Kompas 2 Agustus 2021)

Kita ingat lagi peristiwa Badar. Saat hendak menentukan nasib para tawanan Badar, Nabi Saw tidak serta merta memutuskan, melainkan beliau mngajak para sahabat untuk bermusyawarah.

Nabi berkata: Allah menyerahkan nasib mereka (para tawanan) kepada kalian. 

Dalam hal itu, dengan lantang Umar Ra mengatakan, ” Wahai Rasulullah, kita penggal saja kepala mereka!”

Nabi menolak, kemudian berkata, “wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menyerahkan nasib mereka kepada kalian, dan mereka adalah saudara-saudara kalian di masa lalu.

Umar mengulangi perkataannya, dan masih bersikukuh dengan pendapatnya. Nabi menolak. Umar mengulangi untuk ketiga kalinya, dan Nabi juga menjawab dengan jawaban yang sama.

Lalu Abu Bakar Ra. menyampaikan pendapatnya: “Wahai Nabi, mereka adalah anak dari paman kami, keluarga dan masih saudara kami. Allah telah memberi bagian pada engkau, dan memberi pertolongan padamu atas mereka, sebab itu saya berpendapat agar engkau biarkan hidup saja mereka, lalu sebagai gantinya engkau mengambil tebusan dari mereka, sehingga denga tebusan tersebut kita bisa gunakan untuk melawan orang-orang kafir. Semoga Allah memberi hidayah mereka lantaran engkau, dan mereka juga menjadi sekutu bagi kita.”

Mendengar usulan itu, Nabi masuk ke dalam rumah tanpa memberi keputusan. Setelah itu Nabi memutuskan untuk membiarkan tawanan Badar dan mengambil tebusan. Turunlah wahyu yang mengutamakan pendapat Umar.

“Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” ( QS. Al Anfal: 67)

Tapi setelah itu, Allah Swt mengampuni pilihan Nabi dan Abu Bakar, dan turunlah ayat:

“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik. ” (QS. Al Anfal:69)

Pada titik ini, kita mengerti, bahwa Nabi Saw tidak hanya bertindak sebagai penyampai risalah keagamaan saja, namun beliau juga mengajarkan bagaimana metode merumuskan hukum (paham) keagamaan itu sendiri. Karakter yang sama saat Nabi Saw mengirim Muadz bin Jabal Ra sebagai utusan ke negeri Yaman, yang kemudian di kenal sebagai kisah terpahami konsep qiyas itu.

Kisah tawanan Badar di atas adalah konteks dimana Nabi Saw mengajarkan umat perihal pentingnya Syura agar umat cerdas merumuskan keadaan melalui keterbukaan pikiran antara satu dan yang lain. Sadar bahwa beragama juga soal berdialektika.

Muhammad Hilmi Mahmud, dalam bukunya yang berjudul “Demokratiyah Muhammad” menegaskan, bahwa tindakan Nabi Saw tesebut adalah semacam al matsal al a’la, landasan ideal atas demokrasi kenabian.

Spirit semacam ini, perlu untuk kita hayati lagi, khususnya dalam upaya  membangunkan kesadaran kepongahan beragama masa kini. Bahwa dalam memahami hukum Islam  terlebih  menyangkut realitas sosial, tak cukup hanya berlandaskan “dalam tafsirku” atau ” yang benar menurutku” semata. Kita perlu perlu belajar dan meneladani Nabi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait