Kopiah.co – Di antara aspek-aspek yang menjadikan panjangnya masa depan peradaban Islam adalah aspek keluhuran budi, toleransi, dan kedermawanan terhadap sesama manusia. Ajaran dan aspek-aspek di atas merupakan nilai-nilai yang telah Nabi Muhammad Saw. tanamkan pada perjalanan dakwahnya.
Hal ini menjadi bukti bahwa ajaran Islam yang beliau hadirkan adalah ajaran cinta dan kebajikan, yaitu ajaran yang menjunjung tinggi integritas sebagai pondasi utama dalam menjalani kehidupan. Prinsip-prinsip luhur dan sifat-sifat mulia inilah yang menjadi faktor kegemilangan Islam dan kunci dalam menggapai cerahnya peradaban.
Tak diragukan lagi, bahwasanya nilai-nilai dakwah Islam yang pertama kali ditegakkan adalah dakwah yang menyeru kepada pemenuhan hak-hak manusia. Secara naluri, menggapai kedamaian dan ketenteraman hidup adalah dambaan setiap manusia yang harus dipenuhi. Maka, Islam merespon kenyataan ini dengan ajaran-ajarannya yang memanusiakan manusia, tanpa memandang suku, agama, maupun ras.
Sebelum datangnya Islam, keberagaman adalah sebuah realitas yang telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. Akan tetapi, keberagaman inilah yang menjadikan hidup lebih berwarna dan indah. Adam dan Hawa, sebagai manusia pertama yang Allah Swt. ciptakan merupakan ikon atas kebesaran Allah Swt. Selain itu, bukti ini pun menjadi suatu keniscayaan dan permulaan akan tumbuhnya keberagaman di alam semesta ini.
Allah Swt. telah menegaskan dalam al-Qur’an, bahwasanya keberagaman adalah maha karya istimewa yang telah Allah ciptakan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13, Allah Swt. berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Ayat di atas mengungkapkan prinsip dasar hubungan sesama manusia. Yaitu setiap manusia di muka bumi ini agar saling mengenal sehingga bisa memberi manfaat antar sesama. Pada saat yang sama, ayat ini pun menegaskan bahwa setiap orang harus memandang orang lain dengan semangat persamaan derajat.
Sejak 14 abad lalu, Nabi Muhammad Saw. telah menjadi teladan (role model) dalam menyikapi keberagaman. Beliau hidup dan tumbuh di tengah perbedaan suku dan agama. Tetapi, karena keberagaman ini menjadi sebuah keniscayaan, maka Nabi Muhammad Saw. tidak menjadikannya sebagai masalah dalam bermuamalah dengan orang lain.
Misalnya, beliau dapat bekerja sama dengan kaum Yahudi dalam perihal jual beli. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya,”.
Hadits ini menegaskan kepada kita agar tidak fobia terhadap perbedaan suku maupun agama. Selain itu, selama masih berada dalam ruang-ruang kebaikan yang diajarkan oleh agama, kita semua dapat bekerja sama dengan orang lain, tanpa menjadikan suku dan agama sebagai hambatan.
Para cendekiawan muslim pun telah menyampaikan kepada kita akan pentingnya bekerja sama, prinsip gotong-royong, dan saling tolong menolong dengan orang lain. Di antaranya Ibn Khaldun, sosiolog dan sejarawan abad ke-14, dalam magnum opusnya kitab al-Mukaddimah, ia mengungkapkan bahwa, “Al-Insanu madaniyyun bittabi’“, yang berarti setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lainnya.
Nilai-nilai persatuan, gotong-royong, tolong menolong, dan saling menghormati (mutual respect) sesama juga merupakan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Sebut saja Bung Karno, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Ahmad Dahlan, mereka adalah orang-orang yang tidak pernah absen dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Pancasila yang digagas oleh Bung Karno, para ulama, dan tokoh-tokoh Indonesia lainnya merupakan pribadi bangsa yang memiliki nilai adiluhung. Sehingga, siapapun yang menghayati nilai-nilai Pancasila dengan hati yang luas dan pikiran yang jernih, maka ia akan mampu hidup berbangsa dengan semangat persatuan yang kokoh.
Refleksi dari sikap menjaga persatuan pun sejatinya dapat melahirkan rasa empati dan peduli terhadap orang lain. Nabi Muhammad Saw. selalu menjadi teladan bagi kita dalam kedermawanan. Ajaran mengenai kedermawanan ini juga selalu menjadi prinsip hidup para Sahabat Nabi.
Salah satu praktik kedermawanan yang dilakukan oleh Sahabat Nabi adalah yang dilakukan oleh Abullah bin Umar. Ia merupakan anak dari Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa itu, dalam kisahnya yang terkenal, Abdullah bin Umar memberikan daging kurban kepada tetangganya yang non-muslim sebagai implementasi keteladanan yang telah Nabi Muhammad Saw. ajarkan.
Tentu, peristiwa dan kisah di atas menjadi pijakan bagi setiap muslim agar dapat menciptakan kehidupan harmonis di alam semesta yang penuh dengan keberagaman ini. Melakukan berbagai kebaikan sebanyak-banyaknya tanpa bertanya suku dan agama menjadi salah satu pesan berharga yang disampaikan oleh kisah di atas.
Prinsip di atas juga senada dengan ungkapan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Bapak Pluralisme dan Presiden ke-4 Republik Indonesia, ia mengatakan bahwa, “Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu”. Hal ini merupakan panduan penting agar kita dapat menebar kebaikan kepada siapa pun.
Dewasa ini, setiap bangsa dan Negara bekerja keras untuk senantiasa tumbuh berkembang maju. Mengisi era globalisasi dengan membuat inovasi baru serta memanfaatkan kemajuan teknologi. Akan tetapi, kita pun tidak boleh lupa bahwa pondasi utama dalam membangun peradaban agar tetap kokoh yaitu perdamaian dan keharmonisan antar sesama manusia yang harus senantiasa dijaga.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus bersyukur karena memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai prinsip berbangsa dan bernegara. Keberagaman suku, agama, dan budaya di Indonesia sejatinya adalah satu. Yaitu setiap bangsa Indonesia dari berbagai agama dan suku dapat tumbuh menjadi satu untuk kemajuan bersama, kemajuan Tanah Air Indonesia.
Oleh karena itu, jika para pendiri bangsa telah merajut tenun kebangsaan, maka tugas kita sekarang adalah merawat tenun kebangsaan tersebut dengan semangat persatuan. Kita pun seyogianya optimis, bahwa kebhinekaan yang senantiasa dirawat dengan tulus, akan menjadi pilar utama dalam majunya peradaban.