Apa yang salah dengan kehidupan modern di tengah masyarakat Indonesia? Tidak ada. Modern adalah realitas yang hadir sebagai kewajaran, mungkin juga sebagai sebuah kebutuhan yang naluriah yang harus diikuti atau dipilih.
Modern memang tidak salah, namun maknanya jadi terpolarisasi oleh kehidupan glamor masyarakat. Bagaimanapun caranya, hasrat dunawi harus tersalurkan. Meski sudah banyak yang tahu berkemajuan bukan persoalan menikmati dunia, melainkan praktik, latihan (askesis) olah pikir dan rasa(intuisi/emosi) yang mempunyai proyeksi ke masa depan; ide, tindakan, etika, budaya, relasi soisal, kebijakan, kesejahteraan dan seterusnya. Sayangnya, itu semua hanya sebagai mobilitas demi mencapai kenikmatan. Mengapa perlu, misalnya memiliki dua rumah, sedangkan hanya bisa menempati rumah dinas?
Masyarakat lambat laun tak sadar dengan kehidupannya yang ‘dianggap’ sebagai modern itu. Mereka mulai menjalani kehidupan serba kompetitif, menyingkirkan sikap etis, moral, sosial, terdidik, mengasihi alam, serta budaya, bahkan syariat agama. Emosi yang tak diolah itu, menciptakan cara pandang individu untuk bisa memenuhi kenikmatannya sebagai ‘hak’. Sehingga, keharmonisan sosial nyaris punah.
Semuanya jadi merasa (perlu) cemas dan khawatir (panik). Takut tidak bisa makan, tidak punya uang, tidak bisa kuliah, tidak punya kendaraan, tidak punya iphone, anak tidak bersekolah di instansi bergengsi, istrinya tidak cantik, tidak banyak followers, tidak memiliki jabatan, dan seterusnya. Padahal kecemasan itu tidak diperlukan.
Untuk itu perlu ditekankan, sebagai manusia berbangsa, masyarakat sudah seharusnya memiliki kesadaran hidup dalam ada-bersama. Manusia pada hakikatnya selalu tumbuh di tengah realitas yang selalu bersama dengan yang lain, mansia selalu khas dengan sifat sosialnya. Bersosial sendiri, adalah cara mengada manusia sejak ia diciptakan. Sehingga manusia dituntut berkehidupan dalam naungan kebersamaan. Dengan kebersamaan itu, manusia membangun kesatuan yang disebut sebagai kebangsaan. Jadi, letak bangsa ada dalam satu kesatuan manusia yang mencirikan dirinya dengan sebuah kepribadian yang khas. Lalu apa kepribadian yang khas itu di tubuh Indonesia?
Katanya, sih, Indonesia punya Pancasila. Sebuah filsafat kehidupan, juga modus eksistensi masyarakat Indonesia agar kesahariannya memiliki nilai, moral, penuh keseimbangan dan harmonis. Sayang, fakta-fakta di atas, mencerminkan kepribadian masyarakat Indonesia menjadi sesuatu yang tak lagi khas. Kebanyakan mereka sudah tercerabut dari nilai filsafat kehidupannya sendiri. Hal ini bukan karena arus modernitass yang melewati wilayah mereka, namun mereka yang menanggalkan kepribadiannya untuk kepentingan individu. Ini menandakan masyarakat Indonesia belum mampu menindaklanjuti pancasila sebagai implementasi dari sebuah moral teks. Pancasila pada akhirnya dibiarkan hanya sebagai konsep. Apa yang baru saja diperingati, juga apa yang setiap hari Senin diucapkan melalui upacara bendera, tidak lain hanya sebagai sebuah simbol dan kode yang bungkam.
Naasnya, apa yang kemudian paling dipercaya oleh masyarakat adalah ‘kepura-puraan’ yang ada di media sosial, pura-pura bijak, pura-pura ngalim, pura-pura beragama, pura-pura nasionalis, agra dipandnag hebat. Meski dari setiap pura-puranya ini bersifat temporal dan viral sesaat, namun masyarakat menjadi candu untuk memiliki ‘hak’ sebagaimana yang ditunjukan oleh siapa yang pura-pura itu. Semua jadi ingin menjadi nasionalis, menjadi doktoral, menjadi bijak, dan seterusnya.
Masyarakat akhirnya sulit membedakan, mana yang dinamakan sebagai realitas nyata, dan realitas semu. Masyarakat gagal memahami apa yang dinamakan sebagai nilai, tanda, fakta, kode, etis, dan citra. Jika sudah gagal, maka kesadaran dan perhatian (perception) masyakarat ikut terganggu. Ini mengapa penting filsafah Pancasila harus dibuktikan melalui tindakan (Pancasilais). Menjadi Pancasilais, adalah upaya fiksasi dari teks menuju tindakannya dalam ada-bersama tadi, juga sebaliknya. Sehingga, lingkaran dari teks-tindakan ada-bersama adalah sepasang koin yang tak dapat dipisahkan. Jika dipisahkan, satu dengan yang lainnya tak bermakna lagi.
Misalnya, dalam teks Pancasila, keadilan sosial adalah cermin dari tindakan ada-bersama yang disebut sebagai demokrasi. Selain itu, dalam teks sila pertama, manusia memiliki kesadaran atas seluruh tindakannya, bahwa ia telah digerakkan untuk hidup, bahwa pengetahuannya terbatas oleh ruang-waktu, ia juga sadar harus menjaga relasinya dengan alam sekitar.
Ini seperti keadaan yang sempat dinyatakan oleh Baudrillard, saat ini, cara berkehidupan manusia tidak ada lagi transendensi (kedalaman), selain hanya permukaan operasional yang sifatnya imanen. Apa yang disebutnya sebagai ekstase sudah merasuk di segala lini kehidupan masyarakat. Mulai dari media, gaya hidup, fashion, seksual, informasi, politik. Tak ada lagi makna yang ditindaki untuk mengada-bersama dalam lima sila sebagai khas dan kepribadian cara hidup dan bereksistensi masyarakat Indonesia.