Pekerjaan Rumah Keberagaman Kita

Artikel Populer

Kopiah.co – Di momen Natal yang seharusnya menjadi ruang damai dan kasih, bangsa ini justru kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Penolakan pendirian rumah ibadah, perusakan, hingga diskriminasi terhadap minoritas masih terus terjadi.

Jika di hari yang mengajarkan cinta dan kemanusiaan saja kita belum mampu hidup berdampingan, lalu bagaimana bangsa ini bisa melangkah maju dengan fondasi yang masih rapuh?

Hidup berdampingan dalam damai ternyata masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Di saat Indonesia memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, seharusnya kedewasaan dalam menyikapi perbedaan bukan lagi menjadi persoalan mendasar. Namun, kenyataan justru berkata sebaliknya. Keberagaman, yang semestinya menjadi kekuatan bangsa, masih kerap berubah menjadi sumber luka sosial.

Sepanjang 2025, berbagai peristiwa intoleransi kembali mencuat. Di Padang misalnya, Juli lalu, pembubaran dan perusakan rumah doa jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Koto Tangah memicu keresahan. Di Bekasi, aktivitas ibadah di sebuah rumah doa menuai penolakan yang menyisakan trauma. Sebenarnya, peristiwa semacam ini bukan sekadar soal administratif, melainkan menyentuh hak paling mendasar warga negara yaitu kebebasan berkeyakinan.

SETARA Institute mencatat sepanjang paruh pertama 2025 terdapat 260 insiden pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 402 tindakan pelanggaran. Miris sekali karena angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Data tersebut juga menjadi pengingat bagi kita bahwa, persoalan toleransi belum benar-benar selesai.

Membumikan Pancasila

Sejak awal, Indonesia tidak dibangun untuk satu golongan. Bangsa ini lahir dari kesadaran bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Karena itu, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia adalah semua untuk semua.

Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan fondasi moral kehidupan berbangsa. Ketika terjadi pembatasan, intimidasi, atau pelarangan atas nama apa pun, yang terluka bukan hanya kelompok tertentu, tetapi juga semangat kebangsaan itu sendiri.

Bung Karno pernah menyebut pentingnya samenbundelling van alle revolutionaire krachten, yaitu penyatuan seluruh kekuatan rakyat demi kemanusiaan dan persatuan. Gagasan ini tetap relevan hari ini, ketika bangsa ini diuji oleh polarisasi.

Negara Harus Hadir

Negara tidak boleh bersikap abu-abu. Kehadirannya harus tegas dan berpihak pada keadilan. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok mana pun, apalagi membiarkan diskriminasi tumbuh.

Namun, kehadiran negara juga tidak cukup dari pusat. Justru di tingkat paling dekat dengan warga seperti RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan, konflik kerap muncul dan seharusnya bisa dicegah. Sejatinya, kepemimpinan yang mau mendengar dan memediasi jauh lebih konkret dibanding pendekatan administratif semata.

Dari tingkat lokal hingga nasional, para pemangku kebijakan harus mempunyai kesadaran dan pemahaman bersama. Para kepala daerah memikul tanggung jawab moral yang besar untuk melindungi hak semua warga. Di saat yang sama, masyarakat sipil juga perlu terus bersuara dan mengawal nilai-nilai kemanusiaan.

Lebih dari Sekadar Regulasi

Tak dimungkiri, intoleransi selalu meninggalkan luka, baik sosial maupun psikologis. Karena itu, penyelesaiannya tidak cukup melalui regulasi atau sanksi. Diperlukan pendekatan kemanusiaan: empati, pemulihan, dan ruang aman bagi para korban.

Literasi kebangsaan harus terus dihidupkan. Menghormati perbedaan (mutual respect), gotong-royong, dan memberi ruang bagi keyakinan orang lain merupakan bentuk paling sederhana dari cinta tanah air.

Pancasila harus menjelma menjadi satu karakter yang hidup, bukan sekadar simbol atau jargon semata. Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi jalan yang ditempuh dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan sekadar hiasan semata.

Menjaga Indonesia, Rumah Bersama

Kita semua harus berkomitmen bahwa, di tengah berbagai ujian, ada satu hal yang tidak boleh runtuh: persatuan. Jika itu goyah, yang hilang bukan hanya harmoni sosial, tetapi juga arah dan jati diri bangsa ini.

Sejak sebelum merdeka, tema sentral yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa kita adalah persatuan. Sebab itu, merusak persatuan, membangun konflik antar sesama, dan memecah belah keberagaman adalah wujud pengkhianatan tertinggi bagi para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan Republik ini.

Hingga kini, hidup berdampingan dalam damai memang masih menjadi pekerjaan rumah kita. Namun, selama negara hadir dengan nurani, pemimpin memberi teladan, dan masyarakat memilih dialog daripada prasangka, pekerjaan rumah itu bukan sesuatu yang mustahil diselesaikan.

Indonesia adalah rumah bersama. Semua pihak yang menghuni rumah ini, mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merawatnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Refleksi Hari Pahlawan: Menyalakan Kembali Api Kesadaran Kebangsaan

Kopiah – Pahlawan adalah simbolisme politik yang mencerminkan citra bangsa. Gelar pahlawan bukan sekadar hak untuk dimakamkan di taman...

Artikel Terkait