Asa Nahdlatul Ulama Merawat Jagat

Artikel Populer

Syadila Rizqy Al Anhar
Syadila Rizqy Al Anhar
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo | Sekretaris Umum Tanfidziyah PCINU Mesir 2022-2023

Menyongsong abad kedua, Nahdlatul Ulama semakin melipatgandakan amal untuk mewarnai dunia. Siapapun akan menggelengkan kepala ketika mengamati langkah ambisius yang diambil NU saat ini. Langkah demi langkah baik dalam kancah nasional ataupun internasional kian diusahakan NU agar dapat terlibat secara aktif dalam percakapan global. Premis tersebut menjadi semakin kuat ketika kita mengamati beberapa rangkaian agenda strategis NU dalam menutup satu abad pertamanya.

Kiranya ada sembilan kluster agenda strategis yang sudah disiapkan, dua di antaranya yang banyak menyita perhatian adalah Halakah Fikih Perababan dan Religion 20 (R20). Pasalnya, kedua agenda tersebut menemukan momentumnya ketika dunia mengalami krisis global (ekonomi, pangan, dan energi). Terlebih, melalui dua agenda tersebut secara eksplisit, NU hendak memproklamirkan bahwa sudah saatnya agama menjadi solusi atas masalah global.

Halakah Fikih Peradaban dan R20

Saya tidak sedang ingin membahas materi apa yang didiskusikan di halakah tersebut. Tetapi, saya hendak menyoroti apa yang sebenarnya ingin diproyeksikan NU ke depan melalui Halakah Fikih Peradaban. Sebagai organisasi keagamaan terbesar, NU memang cukup produktif menggagas wacana-wacana segar dalam perbincangan nasional hingga global.

Satu dekade kemarin, wacana Islam Nusantara menjadi wacana besar yang dipromosikan NU kepada khalayak. Sebuah wacana anti-mainstream yang menyita perhatian publik hingga banyak bermunculan lelaku destruktif di kalangan NU sendiri(baca: sesat-menyesatkan) karena kesalahpahaman. Padahal sebenarnya, melalui Islam Nusantara, NU hanya ingin menarik benang merah karakter keberislaman di nusantara yang berkarakter historis dengan bagaimana para pendahulu mendakwahkan narasi agama. Lalu, apa relasi Halakah Fikih Peradaban dengan Islam Nusantara? Apakah ia merupakan sebuah antitesa terhadap wacana sebelumnya?

Berangkat dari beberapa rangkaian halakah yang saya amati, Halakah Fikih Peradaban bukanlah antitesa dari Islam Nusantara. Halakah tersebut justru melanjutkan spirit Islam Nusantara dalam mengetengahkan sebuah paradigma yang sebenarnya sudah melekat pada identitas keberislaman kita. Meminjam kalimat Gus Ulil, dirinya menyebut Islam Nusantara sebagai usaha I’thâu al-Huwiyah (memberikan identitas keberislaman), sementara Halakah Fikih Peradaban sebagai upaya NU untuk mengenalkan karakter keberislaman kita pada dunia.

Melalui Halakah Fikih Peradaban, NU bukan sekadar ingin menunjukkan eksistensinya, melainkan menstimulus para kiai dan masyarakat pesantren agar ikut serta mewarnai percakapan global. Sangat disayangkan, jika khazanah keilmuan yang ada di pesantren gagal memandu gejolak realitas. Sudah saatnya para kiai dan pesantren bergotong-royong mengoperasionaliasi teks-teks Islam klasik secara kritis dan kontekstual menjadi lokomotif mewujudkan tata kehidupan yang lebih baik.

Jika dilihat dari satu sisi, halakah fikih peradaban akan terkesan bukan hal baru pada dinamika NU. Tersebab NU sudah sejak lama memiliki forum dialog ilmiah, yakni bahsu masail, yang jelas terbukti mampu menjawab persoalan masyarakat, bahkan sudah mengakar dan melekat pada identitas nahdliyin.

Kendati demikan, poin penting yang bisa kita soroti dari ‘Halakah FikihPeradaban’ adalah usaha NU dalam mempromosikan keberislaman di Nusantara pada tataran global. Lebih dari itu, halakah tersebut menjadi iktikad NU dalam menyudahi sikap inferioritas keberislaman masyarakat Nusantara terhadap Timur-Tengah agar kelak dapat memberikan pengaruh dalam wacanaglobal.

Belum genap 40 hari setelah Halakah Fikih Peradaban diluncurkan, NU menggelar forum R20 (Religion of Twenty) yang mempertemukan kurang lebih 100 pemimpin agama dan sekte dari seluruh benua. NU mengandaikan semua pemuka agama dapat memberikan evaluasi secara jujur, kritis, dan tegas terhadap segudang permasalahan yang kerap ditimbulkan agama, sekaligus menentukan arah baru umat beragama agar mampu memberikan sumbangsih dalam perubahan global.

Melalui R20, NU menyurati pesan penting di tengah krisis global bahwa agama dapat berkontibusi serta tampil sebagai agen pemberi makna dan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh dan etis di ruang publik. Pesan tersebut tidak cukup jika hanya berhenti pada kalangan elit agamawan saja, perlu senantiasa disosialisasikan sampai masyarakat akar rumput agar tidak terjadi gap yang terlalu jauh antara realitas agamawan dengan masyarakat yang mengitarinya.

Dari Halakah Fikih Peradaban dan forum R20, kita bisa melihat langkah hebat yang diiniasi oleh NU dalam mewarnai tataran global. Singkatnya, Halakah Fikih Peradaban menjadi jalur pacu yang fokus mengedukasi internal bangsa, sementara R20 seolah diimajinasikan menjadi gerakan global yang dinahkodai oleh NU.

Tepat Sasaran

Kehidupan akan selalu bersifat dinamis, pun dengan keberagamaan kita. Sebuah siklus yang fluktuatif dan tidak bisa berhenti pada ruang-waktu tertentu. Namun, di antara perubahan tersebut dampak signifikan yang tampil adalah perubahan tata politik dunia dan lanskap demografi. Secara teoritik, hal tersebut adalah sebuah keniscayaan, di satu sisi corak keberagamaan akan dipengaruhi perubahan sosial, sementara di lain sisi, agama dapat mempengaruhi perubahan sosial.

Dua langkah inisiatif NU di atas adalah tindakan yang cukup tepat sasaran dalam menjawab tantangan hidup dewasa ini. Kendati demikian, keseimbangan antara wacana dan gerakan menjadi poin penting yang harus menjadi perhatian bersama. Tersebab wacana tanpa gerakan hanya akan mennghasilkan bank-wacana yang akan kita wariskan ke generasi mendatang. Sementara gerakan atau realitas tanpa wacana hanya akan menciptakan perubahan yang sia-sia. Realitas sosial kita akan seperti gerak jalan di tempat sehingga membentuk pola yang sama.

Ibnu Khaldun dalam magnum opus miliknya, Al-Muqaddimah, mengetengahkan bahwa suatu peradaban yang ideal harus didasari oleh dua unsur pokok; ide atau gagasan (maddah) dan format peradaban (shurah). Ide dan gagasan bisa kita anggap sama dengan ajaran-ajaran agama. Secara tegas, agama menghendaki terjalinnya relasi sosial berbasis luhur budi di tengah masyarakat. Agama menghendaki pencerahan, pembebasan, dan ketentraman. Nilai keagamaan tersebut perlu dikawal dan ditransformasikan melalui gerakan-gerakan sosial yang nyata.

Masalah-masalah kemanusiaan saat ini tidak lagi ampuh terobati oleh narasi-narasi keagamaan. Ia memubtuhkan perangkat yang rasional dan masif. Masalah kemiskinan misalnya, ia tidak lagi cocok diobati dengan imbauan serta ajakan berzakat dan bersedekah. Pasalnya kedua instrumen agama tersebut sifatnya hanyalah temporal dan insidental. Mengatasi kemiskinan bukan sekadar dengan menutupi kebutuhan seseorang dengan harta yang kita miliki, melainkan perlu memberikan edukasi dan menanamkan etos kerja yang dikehendaki oleh agama.

Ada nalar keagaaman yang lebih tepat dalam meminimalisir kasus kemiskinan, seperti berkerja keras dan bekerja cerdas, ini sangat realistis. Agama harus menjadi angin segar dengan memakai pendekatan yang tepat.

Spirit ajaran agama hanya akan menjadi sebuah doktrin tanpa makna jika tak ada suatu format gerakan (shurah) yang berupaya menerjemahkannya dalam realitas sosial. Artinya, ajaran agama yang bersifat universal harus benar-benar dapat dirasakan oleh pemeluknya sendiri, lebih-lebih masyarakat dunia. NU dengan Halakah Fikih Peradaban dan R20 yang digagasnya, seyogianya bisa memastikan bahwa kebangkitan agama harus berimplikasi pada kebangkitan umat beragama dalam segala lini; sosial, ekonomi, dan politik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Korelasi Antara Sufistik dan Politik: Membangun Spiritualitas Kebangsaan

Oleh Fadhilah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah, Tunis. Kopiah.co - Tarekat dalam perkembangannya mengalami transformasi, tidak hanya sekedar metode penyucian jiwa,...

Artikel Terkait