Cairo Internasional Book Fair telah resmi dibuka. Para pengunjung beedatangan penuh suka cita. Dan Al Azhar, selaku salah satu bagian yang merayakan pesta buku tersebut mengangkat sosok Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq sebagai figur dalam pameran buku-buku Azhar.
Saya ingin membicarakan tokoh ini, karena saya berhutang budi atas buku-bukunya yang senantiasa saya baca sejak menjadi mahasiswa baru hingga kini, serta karena kekaguman saya pada sosok filsuf al Azhar tersebut.
Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq sebagai seorang sarjanawan mempunyai latar yang lengkap, satu sisi dia adalah kader Azhar karena sejak kecil dididik melalui pendidikan Azhar, mulai dari tingkat tsanawiyah, kemudian lulus dan mendapat ijazah alamiyah dari kuliyah lughoh arabiyah Universitas al Azhar pada tahun 1959, dan mendapat syahadah alamiyah ma’a tadris pada tahun 1960. Setelah itu, dia melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Barat dan menuntaskan doktoral di bidang filsafat pada tahun 1968 di Universitas Ludwig Maximilian, Munich, Jerman.
Pemikiran Dr. Hamdi Zaqzuq yang tertuang dalam buku-bukunya tidak bisa dilepaskan dari suatu gagasan dia yang mendasar: berfilsafat secara wasatiah. Yang dimaksud dengan wasatiah di sini ialah sebuah paham yang meyakini adanya pertemuan nilai kebenaran antara agama dan filsafat.
Bagi dia, selama paham keagamaan dan pengetahuan falsafi sama-sama berada di jalan yang benar, maka keduanya tidak akan pernah berlawanan atau bermusuhan satu sama lain.
Dalam hal ini, dia menghadirkan rentetan sejarah panjang pemikiran Islam yang menunjukkan bahwa antara agama dan filsafat, atau katakanlah logika, memang berjalan seiringan. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Ibnu Miskawaih (w. 421 H) yang menuliskan buku berjudul Tahdzib al Akhlaq. Di dalamnya, Ibnu Miskawaih menunjukkan bahwa antara doktrin-doktrin agama dan filsafat Yunani mengarah pada satu kesimpulan nilai akhlak atau etika yang musti digapai oleh manusia guna mendapatkan kebahagian yang hakiki.
Ibnu Hazm juga mengatakan hal yang sama, bahwa tujuan daripada agama dan filsafat adalah sama-sama ingin menunjukkan jalan kemaslahatan umat manusia ( islah al basyar).
Hal yang sama juga pernah dikemukakan oleh Al Kindi, salah satu filsuf pertama Islam yang menulis surat yang dia kirim kepada Khalifah al Mutashim yang bertanya kepada dirinya tentang hakikat filsafat, dan dia memberi pengertian terhadap filsafat sebagai ” sebuah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya” ( ilmun bi haqaiq al asya’ min haitsu hiya).
Kemudian, dalam risalah tersebut, Al Kindi merumuskan bahwa inti sari kajian filsafat adalah tentang tiga hal: rububiyah ( ketuhanan), wahdaniyah ( tauhid) dan fadlilah ( etika/akhlak). Dan Al Kindi menegaskan bahwa ketiga hal yang menjadi proyek besar filsafat tersebut jelas sekali sama dengan apa yanh dibawa oleh para rasul.
Lalu al Farobi, seorang filsuf muslim besar yang dijuluki sebagai al Muallim al Tsani (guru kedua), mengatakan hal yang sama juga, bahwa agama dan filsafat mempunyai prinsip dan tujuan yang sama. Prinsip tersebut ialah kesadaran bahwa segala bentuk kejadian alam semesta bermula dari satu entitas yang disebut al sabab al awwal ( penyebab pertama), yanv dalam agama konsepsi sabab ula ini disebut sebagai tuhan, pencipta, Allah Swt. Lalu keduanya, baik agama maupun fiksafat, mengejar suatu titik puncak yang searah: as sa’adah ( kedamaian hakiki).
Tidak sampai di situ, Ibnu Sina juga tidak tinggal diam. Dia menyoroti akan kesan-kesan miring terhadap filsafat selama ini mestinya dikembalikan kepada tafsir personal yang menyimpang, bukan filsafat itu sendiri. Dia mengatakan, ” telah jelas bahwa filsafat tidak sedikit pun mengandung doktrin yang berlawanan dengan syariat. Jika ditemukan kesan-kesan atas filsafat yang menyimpang dari minhaj syariat, maka hal yang menyimpang (menyesatkan) tersebut adalah hasil dari pemikiran dirinya yang lemah dan salah, bukan murni dari filsafat itu sendiri, karena ilmu ini akan berlepas diri dari kesesatan tersebut.”
Dari sekian banyak tokoh filsuf muslim, yang paling populer menggagas ide persatuan agama dan filsafat adalah Ibnu Rusyd, yaitu melalui karyanya yang masih dibaca dan dikaji di berbagai belahan dunia Islam, Fasl Maqal fi Ma baina Syariat wa al Hikmah min al Ittishal. Dengan kalimat pendek namun tegas, ia ingin segera memperjelas hubungan antara agama dan filsafat yang keduanya sama-sama dia sebut sebagai kebenaran, al Haq. Ia mengatakan: ” Semestinya kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Bahkan, ia pasti selaras dan akan menjadi saksi atas kebenaran tersebut.”
Setelah mengutip pendapat para tokoh filsuf di atas, Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq juga mengutip dari kalangan yang selama ini dipahami sebagai ‘lawan’ daripada filosof itu sendiri: Abi Hamid al Ghazali. Dengan memandang karakteristik filsafat yang bertumpu pana nalar logis manusia, Dr. Hamdi Zaqzuq kemudian menyimpulkan bahwa seharusnya agama dan filsafat tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya. Dan hal itu sesuai dengan pendapat al Ghazali, sebagaimana dia tuliskan dalam bukunya Ma’ariju al Quds, yang mempercayai wujud keselarasan antara agama dengan akal. Diibaratkan dalam sebuah gedung, akal adalah pondasinya. Dan agama adalah bangunannya. Apa artinya pondasi jika tidak memiliki bangunannya, dan bangunan tidak mungkin berdiri kokoh andaikan tanpa asas yang kuat.
Setelah menhadirkan pandangan para filsuf di atas, Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq menyimpulkan bahwa sejarah panjang pemikiran Islam terbukti terbukti memiliki kerakter yang khas dan diperjuangan dari masa ke masa, yaitu spirit wasatiah atau harmonisasi antara agama dan filsafat. Mengapa demikian terjadi? Karena proyek pemikiran para filsuf muslim adalah bagaimana caranya menghadirkan bangunan pemikiran yang kuat dan mendalam kepada dunia, yang mana kontruksi pemikiran tersebut berada di jalan yang benar menurut agama dan filsafat. ( Lihat Daur al Islam fi Tathowwur al Fikr al Falsafi, cet. Maktabah Wahbah 1984)
Rupanya, prinsip wasatiyah yang dimiliki Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq inilah yang membuat orang membaca buku-bukunya yang meski memiliki corak filsafat begitu kuat, tapi mampu menimbulkan suasana kebatinan yang adem dan tenang. Keunikan buku-buku dia adalah meski membicarakan teori-teori filsafat yang mendalam, tapi selalu disertai dengan ide-ide yang berlandaskan al Quran. Mungkin hal inilah yang menjadi jawaban dari keresahan say selama ini, mengapa kalau di Indonesia orang belajar filsafat tak jarang bertingkah aneh-aneh. Makanya ilmu filsafat hingga kini termasuk salah satu ilmu yang sulit masuk ke kalangan pesantren, hal itu bukan berarti terjadi tanpa alasan, melainkan tersebab munculnya kesan-kesan miring yang justru diberikan oleh orang-orang yang ‘konon’ disebut sebagai aktifis dan pegiat filsafat di universitas-universitas umum maupun Islam.
Fenomena tersebut, berbeda dengan apa yang kami temui di Al Azhar. Di sini, banyak pemikir yang lahir dan besar di jurusan filsafat. Anehnya, filsafat yang diajarkan di al Azhar sama sekali tidak mengesankan kontradiksinya dengan agama, sebagaimana yang terjadi di Barat yang ingin melawan doktrin-doktrin keagamaan mengatasnamakan diri sebagai penganut filsafat materialistik.
Alih-alih berlawanan dengan doktrin agama, tidak jarang pakar filsafat di Azhar, pada waktu yang sama, mereka juga menguasai ilmu-ilmu syariat dengan sangat kuat. Kita bisa melihatnya pada sosok seperti Grand Syaikh Ahmad Thayyib, Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Syekh Abdul Fadell al Qusi, Syekh Abdullah Diraz, Dr. Muhammad Imarah, dan masih banyak yang lainnya.
Entah kenapa, melihat fenomena Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq ini mengingatkan saya pada karya Anwar al Qudsiyah yang dikarang oleh Imam Syakroni, di sana ia mengatakan bahwa ilmu hakikat tidak akan berlawanan dengan syariat. Keduanya akan dipahami bertentangan jika ide yang disampaikan oleh sufi atau fakih yang kurang dan amatiran. Berbeda jika ilmu hakikat/tasawwuf diserahkan pada ahli fikih yang sempurna ( al Fakih al Tam), atau ilmu syariat diserahkan pada sufi yang sempurna ( al Sufi al Tam), maka keduanya akan selalu bersama dan menunjukkan suatu wujud keharmonisan yang sempurna.