Kick-off Politik dan Agama yang mulai Dipermainkan

Artikel Populer


Oleh : Mansurni Abadi, Marhaenis Muhammadiyah, Kontributor Kopiah.Co


Kopiah.Co — Ada perbedaan antara berpolitik menggunakan agama dengan berpolitik mempergunakan agama. Pada yang pertama, agama masih mungkin dimaknai sebagai nilai sekaligus panduan dalam berpolitik meskipun seringkali yang terjadi malah sebaliknya tapi masih ada kemungkinan ada sisi baiknya. Tapi bagi yang kedua, agama yang memasuki politik malah terlepas dari pemaknaannya. Pada Kondisi yang kedua, agama dijadikan kuda yang ditunggangi untuk menuju tampuk kekuasaan tanpa pemaknaan pada nilainya.


Menjelang kick-off 2024, para politisi sudah mulai berlomba-lomba untuk menjadikan tokoh agama dan para pengikutnya objek untuk mereka sowan. Ada tiga alasan utama yang keluar dari mulut para politisi selepas kunjungan itu , yang pertama untuk meminta berkah ; yang kedua untuk menjalin silahturahmil; dan yang ketiga untuk menyerahkan sejumlah bantuan. Tiga alasan yang cukup mulia untuk meraih pahala sembari mengamankan kantong suara menjelang 2024.


Tidak ada yang salah dari usaha-usaha untuk mengamankan suara apalagi menjelang pemilu, di negara lain pun akan berlaku hal yang sama. Pengalaman pribadi saya tinggal di Filipina, Malaysia,maupun Australia pada saat menjelang pemilihan baik ditingkat lokal maupun nasional pun berlaku hal yang sama, akan ada tokoh politik yang mendatangi komunitas atau tokoh agama tertentu yang dapat memberikan pengaruh secara elektoral.


Merupakan kewajaran di alam demokrasi yang katanya berprinsip “Vox Populi, Vox Dei”. Untuk memastikan kemenangan itu, kantong-kantong suara itu perlu diamankan secepatnya, kalau perlu diperluas jangkauannya.


Tentu citra, wacana , dan retorika berbasis agama akan semakin nampak mengisi ruang publik kita menjelang 14 februari 2024.


Soal bagaimana menjadikan agama sebagai landasan serta semangat dalam hal tata nilai, tata kelola, maupun tata sejahtera itu urusan nanti. Apalagi soal stigma kalau memakai politik agama itu identik dengam Miskin ide, Miskin Inovasi dan Miskin Gagasan, itu juga tidak perlu diambil peduli. Yang terpenting adalah pengaruhi dulu tokoh agamanya, rangkul pengikutnya, dan bawa ajarannya untuk masuk ke ranah politik, demi suara dihadapan.


Apalagi ada tiga manfaat menarik tokoh agama yang kharismatik masuk kedalam politik, baik sebagai tim pemenangan maupun paslon, yang pertama dapat memadamkan kritik maupun perlawanan terhadap penguasa yang berada di lingkaran tokoh agama tadi, karena biasanya apapun kritik maupun upaya perlawanan akan dibenturkan dengan penilaian moral dan seringkali akan diatasi sendiri oleh pengikut dari tokoh agama itu; yang kedua, menarik mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai pengikut tokoh tadi untuk memilih paslon tertentu tanpa memikirkan visi dan misi calon itu; dan yang ketiga meningkatkan citra sebagai yang sholeh bagi tokoh politik yang selama ini dikenal tidak terlalu agamis.


Akibat agama dijadikan permainan politik

Agama yang ditarik menjadi permainan politik akan membuatnya menjadi alat yang efektif untuk menebarkan disinformasi, mal-informasi, dan miss-informasi sehingga politik akan berpusat kepada identitas disertai hal-hal yang kurang esensial sehingga hal-hal yang esensial tadi tertutupi.


Peran progresif agama untuk membebaskan keterjebakan manusia-manusia indonesia dari hal-hal yang dangkal menjadi pupus.


Soal agama di republik ini memang sangat penting, Indonesia memang bukan negara agama tapi pertanyaan “ agama kamu itu apa “ menjadi pertanyaan wajib yang membuat heran orang-orang luar. bahkan ketika kita membincangkan soal pancasila maka nilai yang pertamalah yang paling kita utamakan. Rasa-rasanya dalam hal ini, kita harus menilai apa yang ditegaskan oleh Yudi latif sebagai reverse engineering (rekayasa terbalik) yaitu menjadikan keadilan sosial di posisi terdepan; sebagai lokomotif untuk menarik rangkaian gerbong aktualisasi sila-sila lainnya bukan sebaliknya.


Perlunya Rekayasa terbalik
Bagi Yudi latif, Pancasila itu dimulai dari sila yang abstrak dan berakhir dengan yang konkrit. Makin konkrit makin sulit pembumiannya. Masalahnya, bilamana kita gagal mewujudkan yang konkrit, banyak orang akan menguatkan pegangannya ke langit abstrak, sebagai mekanisme pertahanan diri. Dalam konteks menjelang 2024, agama sepatutnya jangan ditarik kearah permainan politik tetapi digunakan sebagaimana mestinya untuk mewujudukan sila-sila yang lainnya.


Tapi rasanya- rasanya rekayasa terbalik itu sulit dilakukan apalagi ditengah sikap kebanyakan orang Indonesia atas agama yang cenderung jauh dari kajian-kajian kritis. sehingga Kebodohan yang bertameng agama meskipun disebarkan dengan ad hominem tetap akan diterima sebagai kebenaran, karena budaya “ gak perlu mikir ribet, asal kena dihati langsung dibenarkan” itu masih sangat kuat.


Tentu berbanding terbalik dengan mereka yang beragama dengan kebijaksanaan yang selalu menekankan argumentum ad judiciam yang tentu saja butuh pemikiran yang jernih, matang dan kuat bagi mayoritas yang suka sensasi, hal itu tidak lah asyik. Tetapi sebagai pemilih, berada pada kondisi keagamaan yang manakah anda ditengah citra politik identitas yang paling soleh yang akan di suguhkan pada kita sampai tahun 2024 nanti.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait