Kopiah.Co — Tunisia dikenal sebagai negara yang cukup damai di dunia Arab. Dibandingkan dengan negara Arab lainnya yang hingga saat ini masih bergejolak konflik antar madzhab, antar suku, dan bahkan yang terbaru yaitu perang saudara di Sudan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang peradaban umat manusia di Tunisia yang hidup secara dinamis, sejak era Kartago, Romawi, Byzantium, Islam, hingga Tunisia modern saat ini.
Dinamisnya peradaban itu, membuat masyarakat yang tumbuh di negara paling ujung Afrika Utara ini memiliki karakter terbuka (inklusif) dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain (koeksistensi). Ibnu Khaldun, Bapak Peradaban Tunisia dalam magnum opusnya Al-Mukaddimah mengatakan, bahwa “al-Insanu Madaniyyun bi al-Thabi'”, yang artinya seluruh manusia itu pasti hidup bermasyarakat dan membutuhkan manusia lainnya. Dalam konteks Indonesia, teori tersebut dimaknai sebagai karakter hidup gotong-royong. Dan dalam istilah sunda disebut sebagai falsafah silih asah, silih asih, dan silih asuh.
Hampir setahun menetap di Tunisia sebagai pelajar, saya menyaksikan langsung potret masyarakat Tunisia yang toleran, moderat, dan mampu menerima keberagaman. Misalnya, kafe, tempat ibadah, restoran, dan pusat perbelanjaan dapat berdiri berdampingan tanpa ada konflik mayoritarianisme dan ketegangan antar kelompok.
Salah satu perkampungan yang menarik perhatian saya juga, misalnya Sidi Bou Said, sebuah desa yang terletak di pinggiran Ibu Kota Tunis. Daerah ini menjadi salah satu tujuan utama para turis yang berkunjung ke Tunisia. Namun, pada saat yang bersamaan, nama daerah ini juga dinisbatkan kepada tokoh besar Sufi Tunisia yaitu Sidi Abu Said El-Beji, guru dari Sidi Abul Hasan Al-Syadzuli, pendiri tarekat al-Syadzuliyah yang sangat masyhur di dunia Islam.
Fenomena tersebut memberikan isyarat bagi kita, betapa hablum minallah (hubungan dengan Tuhan) itu harus dijalankan secara beriringan dengan hablum minannas (hubungan dengan manusia) sebagai keniscyaan dalam menjalani kehidupan. Bahwa keimanan dan pemahaman keagamaan yang kita miliki, seyogianya melahirkan kepedulian dan rasa hormat menghormati satu sama lain antar sesama manusia.
Ibnu Asyur, ulama besar Tunisia yang juga sangat terkenal di Indonesia, dalam kitabnya Ushul al-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam menegaskan, bahwa tujuan Allah terhadap agama-agama sejak awal hingga risalah terakhir yaitu Islam hanya satu, untuk menjaga tatanan dunia dan memperbaiki keadaan umat manusia. Hal ini menjadi dorongan bagi kita agar mampu beragama secara berperikemanusiaan dan pro terhadap kedamaian.
Pemikiran keagamaan para ulama Tunisia ini, sesungguhnya mengingatkan saya kepada para ulama Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahab Chasbullah, dan ulama nasionalis lainnya yang senantiasa beridiri paling depan membela kemanusiaan dan kedamaiaan. KH. Hasyim dikenal sebagai ulama yang memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia.
Lalu kita juga mengenal Gus Dur, Bapak Pluralisme Indonesia yang tak pernah absen membela kaum minoritas. Misalnya, pembelaan Gus Dur terhadap hak-hak umat Tionghoa di Indonesia yang pada era orde baru selalu mendapat perlakuan yang diskriminatif. Sesungguhnya, saya pribadi merasa beruntung sebagai orang Indonesia, negara yang banyak memiliki teladan dalam mendukung kehidupan yang damai dan toleran.
Di tengah keberagaman yang ada di Indonesia, para tokoh itu mampu merajut tenun persaudaraan dan persatuan dengan Pancasila yang telah digagas oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya. Potret keteladanan ini, seharusnya dapat kita hidupkan kembali spirit dan semangatnya untuk membangun peradaban ke depan. Karena bagaimana pun, kita khususnya kaum muda — Milenial, Gen-Y, Gen-Z — harus mengambil peran penting dalam berbagai bidang untuk Indonesia Emas 2045 nanti.
Sebab itu, dari Tunisia dan Indonesia, dari Ibnu Khaldun hingga Gus Dur, saya belajar tentang kehidupan di dunia ini merupakan momentum yang harus kita isi dengan menaman kebaikan dan kebermanfaatan seluas-luasnya. Pelajaran ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad Saw., “Khairu al-Nass anfa’uhum li al-Nass“, yang maknanya, bahwa Nabi mendorong kita untuk senantiasa menebar kebaikan dan manfaat kepada orang lain, tanpa memandang suku, ras, maupun latar belakang agama.
Penulis : Mohammad Husnul Labieb, Mahasiswa Universitas Zaitunah, Tunisia.