Kopiah – Belakangan ini, berita mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi topik panas yang menghiasi laman berbagai lini sosial media. Pembahasan mengenai KDRT dikaji ulang di beberapa negara, sebut saja Indonesia, Mesir, dan Iran. Penanganan atas kasus KDRT juga terus diupayakan.
Dari sejumlah fenomena yang terjadi, sebagian besar korban KDRT ialah pihak perempuan/istri yang dalam lingkungan masyarakat terkadang dianggap lazim dengan dalih memberi pengajaran atau pembinaan terhadap istri. Tentunya, hal ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang sangat kompleks, semisal terjadi ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, kekeliruan dalam menginterpretasikan teks-teks agama, dan berbagai faktor lainnya.
Di Indonesia khususnya, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tercantum di Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 yang berbunyi;
yang dimaksud dengan KDRT adalah sebagai berikut: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga dst”.
Dari definisi tersebut, kita dapat memahami bahwa penyebutan kata “terutama terhadap perempuan” menunjukkan penekanan bahwa rancangan pembuatan UU ini berkaitan erat dengan kaum perempuan, mengingat realita yang dominan terjadi di masyarakat yaitu maraknya kasus KDRT terhadap istri yang dilakukan oleh suaminya sendiri.
Dalam praktik rumah tangga di Indonesia, ada anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan yang sudah berstatus sebagai istri, maka sepenuhnya telah menjadi milik suami. Hal ini berimbas kepada suatu keadaan di mana ketika istri melakukan kesalahan menurut pandangan suami, maka bagi suami seolah menjadi kewajiban untuk segera mengingatkan istrinya. Sayangnya, bentuk-bentuk pengajaran ini justru berlebihan dan menyakiti pihak istri, baik secara fisik maupun psikis.
Sebagai umat muslim, kita perlu mengingat bahwa Islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Islam justru melarang tegas terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bagaimanapun bentuknya. Hal ini dibuktikan dengan banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan para suami untuk memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik.
Pada hakekatnya, Islam merupakan agama yang anti kekerasan, baik kekerasan terhadap negara, masyarakat maupun kekerasan dalam rumah tangga. Islam mengajarkan supaya keluarga mampu membentuk tujuan pernikahan yaitu keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Langgengnya sebuah pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan Islam. Oleh karena itu, terdapat hukum, rukun, syarat, dan aturan-aturan di dalam Islam yang mengatur proses pernikahan secara khusus dan detail.