Saatnya Nahdliyyin Muda Berbenah

Artikel Populer

Syadila Rizqy Al Anhar
Syadila Rizqy Al Anhar
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo | Sekretaris Umum Tanfidziyah PCINU Mesir 2022-2023

Kopiah.co- Muktamar NU ke-34 pada 22-24 Desember lalu, berlangsung dengan indah dan mulus. Acara mukatamar meninggalkan kesan yang sangat menyejukkan. Sebagaimana tercermin dari keindahan sikap dan etika dari para muktamirin selama acara, terlebih sikap kedua kandidat ketua umum yang menampakkan kualitas kompetisi yang sangat sehat dan dewasa. Selain itu, beragam gagasan dan ide segar gencar disuarakan oleh kalangan muda NU melalui media massa baik sejak pra muktamar, sampai pasca muktamar, hari ini. Hal tersebut menandakan bahwa prinsip intelektualitas adalah bagian terpenting yang tidak bisa terpisahkan dari orientasi aktivitas ke-NUan.

Perhelatan muktamar bukan hanya menjadi momentum regenerasi, melainkan sebagai agenda rekonsiliasi. Dengan mengusung tema ‘Membangun Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia’ diharapkan mampu memberikan stimulus kepada para Nahdliyyin dalam ber-jam’iyyah di masa nanti. Tema muktamar tersebut adalah tema yang sangat kuat. Ini tentang bagaimana NU dapat terus merespon perubahan zaman. Menjaga relevansi NU di tengah arus realitas yang dinamis menjadi tugas dan tantangan besar bagi seluruh masyarakat NU tanpa terkecuali. Tulisan ini mencoba menukik pada kalangan Nahdliyyin muda di ranah mahasiswa atau pelajar. Apa langkah konkrit kita yang bisa  diupayakan dalam menyongsong abad ke dua NU? 

Muktamar kemarin berhasil memberikan refleksi pengabdian NU pada bangsa dan negara selama satu abad. Dalam pidato Kiai Said misalnya, beliau menggambarkan potret perjuangan besar NU. Beliau menyatakan bahwa NU selalu berhasil menjadi jawaban atas persoalan-persoalan bangsa dan negara, mulai dari menyikapi tekanan kekuasaan kolonial sampai berhadapan pada paham-paham yang mengancam keutuhan NKRI. Dengan intisari pidatonya, bahwa NU selalu berusaha mencari-cari cara agar cahaya kebenaran tidak padam dalam pertarungan zaman.

Saat ini adalah masa bonus demografi. Kita semua yakin dan optimis bahwa NU tidak kekurangan kader-kader yang cemerlang. Ibarat pabrik bonafit, NU selalu gencar menghasilkan produk-produk bagus dan memberi nilai tambah pada produk-produk tersebut. Dalam artian, kader-kader bertintegritas, cerdas, dan cemerlang akan terus tumbuh dan berkembang di tubuh NU.

Kendati demikian, Nahdliyyin muda  harus terus bergerak sesuai posisi dan kapasitasnya. Sebab jelas tak ada yang bisa menjamin, NU akan selalu berhasil menjadi angin segar bagi carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, jika kesemuanya hanya dititik-beratkan pada para stakeholder dan elit NU saja. Kesadaran ber-NU kita harus terus dipupuk, dijaga, dan dirawat karena akan menentukan bagaimana wajah NU di masa yang akan datang.

Di tengah kegemilangan satu abad NU yang telah menunjukkan perannya dalam tataran nasional dan dunia, tidak serta-merta nihil dari persoalan. Jujur saja, masih banyak Nahdliyyin muda (baca: kalangan pelajar/mahasiswa) terlihat lengah. Semacam tidak ada hal yang digelisahkan. Tantangan ke depan seperti tidak terlihat nyata. Kita bisa menyebut hal itu sebagai fenomena kurangnya militansi dan penghayatan  keber-NUan kita selama ini. Barangkali, hal tersebut kian terjadi di sebagian besar Nahdliyyin muda di tempat saya tinggal (Mesir) atau barangkali turut melanda Nahdliyyin muda di Tanah Air.

Jadi, ada dua potensi yang belum imbang untuk menyongsong abad kedua NU. Di satu sisi NU sedang digadang-gadang mewujudkan perdamaian dunia melalui prinsip trilogi ukhuwwah hasil muktamar NU 1982 di Situbondo, yaitu ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Kemudian, gagasan-gagasan besar tentang penguatan sektor ekonomi. Di sisi lain, potensi-potensi yang akan mengisi perjuangan NU di masa 20 sampai 30 tahun yang akan datang bisa dikatakan sedang lengah. Kita sebagai Nahdliyyin muda kurang menyadari secara penuh ada tuntutan untuk menyongsong masa-masa kelak.

Indikasinya yang sangat dekat adalah memudarnya semangat menekuni dunia literasi. Kita yang bahkan hidup di tengah-tengah kiblat keilmuan, al-Azhar, Mesir, sedikit banyak telah terjangkit hal tersebut. Ditambah sayup-sayup terdengar stigma meredupnya api intelektual di kalangan Nahdliyyin muda saat ini. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, betapa banyak kalangan Nahdliyyin yang larut dalam pusaran polarisasi politik hingga menyebabkan terjadinya keterbelahan pada tubuh NU sendiri. Di mana peran Nahdliyyin muda ketika itu? Kita belum tampil menjadi penengah dan kontrol dalam menghubungkan isu-isu yang mengemuka dengan jati diri NU sebenarnya sebagai acuan filteralisasi.

Di era yang berjalan begitu cepat dan serba tidak menentu ini, sudah seharusnya kemampuan literasi disemai untuk memperluas sudut pandang kita. Melatih kemampuan literasi tidak mengharuskan kita aktif bergabung di kajian-kajian, namun jika bergabung tentu lebih baik. Paling tidak, kita harus mulai bersahabat dengan buku. Jika kita menginginkan NU dapat terus berperan dan berkontribusi untuk kepentingan nasional dan global di masa yang akan datang, langkah yang paling konkrit kita lakukan saat ini adalah giat belajar.

Saya sangat bersyukur ada banyak tokoh muda NU yang tulus dan semangat melakukan kaderisasi dengan fokus pada bidang-bidang tertentu. Mentoring secara langsung dan intens yang mereka lakukan sangat berdampak pada cara berpikir kita. Hal ini sangat efektif dan signifikan. Sebab melalui mereka, kita selalu mendapatkan setruman semangat untuk menyiapkan bekal perjuangan sejak dini. Terlebih dapat merasakan seberapa nyata dan besar tantangan NU ke depan dari berbagai sisi adalah hal yang sungguh luar biasa.

Selain itu, ada salah satu agenda besar NU ke depan yang kemarin sempat disuarakan adalah mengenai penguatan kualitas SDM di beberapa sektor, terutama pendidikan. Tugas kita adalah menyambut agenda besar tersebut dengan semangat berproses yang nyata. Bukan justru menggagalkannya hanya karena menuruti kepentingan-kepentingan pribadi.

Saya kira perlu diingat kembali bahwa orientasi kerja dan aktivitas  ke-Nuan terletak pada aspek intelektualitas dan organisasi. Kesatuan antara ide dan aksi, antara organisasi dan militansi menjadi keharusan yang semestinya diupayakan oleh Nahdliyyin muda. Dalam rangka memperkuat militansi serta mengolah spiritualitas keber-NUan, tidak cukup sekadar aktif mengikuti kegiatan-kegiatan ke-NUan dan aktif secara struktural. Melainkan membutuhkan kerja-kerja literasi di setiap Nahdliyyin muda.

Kita harus berusaha menyelami dan menyerap gagasan-gagasan para tokoh NU selama satu abad kemarin. Mencermati aral rintangan yang membentuk jati diri mereka selama ini, terutama dalam kiprah mereka yang berhasil membawa NU sebagai jangkar penyeimbang bangsa dan negara.

Saatnya Nahdliyyin muda berbenah. Berangkat dari tema besar muktamar ke-34 di muka, saatnya seluruh warga NU memupuk kesadaran yang utuh untuk  bersinergi, mengesampingkan hal-hal sepele dan fokus pada kerja-kerja substansial sebagai jam”iyyah  islahiyyah. Sudah saatnya, Nahdliyyin merekatkan barisan bukan sebatas berkumpul. Dalam artian, kita tidak boleh merasa puas dengan kualitas dan kuantitas warga Nahdliyyin yang mentereng  saat ini, tanpa disertai penguatan konsolidasi dan optimalisasi peran  masing-masing untuk menyongsong abad kedua NU.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait