Menghidupkan Gus Dur

Artikel Populer

Muhammad Farhan al Fadlil
Muhammad Farhan al Fadlil
Mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir | Tim penulis numesir.net | penikmat kopi dan buku

Kopiah.co- Muktamar NU yang ke-34 telah usai dengan perasaan haru dan bahagia. Gus Yahya terpilih sebagai ketua umum PBNU yang akan menahkodai organisasi Islam terbesar sedunia itu selama lima tahun kedepan. Di antara hal yang begitu membekas dalam benak saya adalah tekad beliau untuk “Menghidupkan Kembali Gus Dur”. Kalimat ini begitu menyihir dan memberi petunjuk makna yang luar biasa.

Misi Gus Yahya untuk menghidupkan kembali Gus Dur adalah misi besar yang tidak hanya berdampak bagi kaum nahdliyin atau kaum muslim saja, tapi juga untuk Indonesia seluruhnya, bahkan dunia.

Namun diam-diam kita bertanya: apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh Gus Yahya dalam pernyataan menghidupkan Gus Dur itu? Yang tahu jawabannya adalah beliau sendiri sedangkan kita hanya bersiap untuk menyaksikan apa gebrakan baru serta langkah-langkah yang akan ditempuh selama lima tahun kedepan. Ya, kita tidak bersabar untuk melihatnya.

Mari kita bergeser sedikit dari pembahasan muktamar dan Gus Yahya. Yakni, berfokus pada kalimat “Menghidupkan Gus Dur” itu sendiri, khususnya bagi kalangan muda, karena bagaimanapun masa depan bangsa serta wajah keberagamaan kita tercermin dari wajah pikiran dan terobosan anak mudanya. Bukankah para aktivis dan cendikiawan yang mengambil peran sebagai pemimpin saat ini adalah berangkat dari pembelajaran pada masa mudanya dulu?

Berbicara mengenai Gus Dur selalu mengasyikkan. Gus Dur begitu harum namanya tersebab spirit perjuangan di masa hidupnya. Tapi dari manakah semua itu bermula, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Alija Izetbegović dalam buku memoarnya yang terkenal “Hurubi ila al-Hurriyah” bahwa pada hakikatnya “ semua berawal dari kata”. Artinya semua gerak manusia entah yang mengarah pada pencerahan maupun kebangkitan, selalu berangkat dari kata, yakni idea.

Seperti modernitas yang berangkat dari dirumuskannya kembali filsafat baru sebagai pembaruan dari alam pikiran skolastik, yang kemudian berujung pada revolusi Prancis, misalnya. Maka tidak ada yang berangkat dari kekosongan, apalagi tindakan-tindakan besar dalam sejarah, selalu ada tanda gagasan yang terbaca jejaknya di sana. Begitu juga Gus Dur. Mengapa Gus Dur yang kemudian disebut sebagai Guru Bangsa itu telah menjadi lambang toleransi beragama, pembela HAM, dan kamajuan berpikir itu.

Sungguh tidak mudah untuk menjangkau keluasan Gus Dur. Namun dalam upaya menghidupkan kembali Gus Dur, perlu kita cari tahu perihal prinsip-prinsip dan metode berpikirnya ( al-Mabadi wa al-Manhaj fi al- Tafkir).Kontruksi pemikiran Gus Dur yang kemudian berdampak pada sikap keberagamaan dan kebangsaannya yang luhur setidaknya berangkat dari  gagasannya tentang universalitas dan kosmopolitanisme Islam.

Nilai-nilai universal dalam Islam mesti dijunjung tinggi, sebab inilah manifestasi yang luhur dari kemanusiaan (al-Insaniah). Bagi Gus Dur, nilai-nilai tersebut termanifestasi secara sempurna dalam lima jaminan dasar agama Islam, yang kemudian kita mengenalnya secara diskursif dengan sebutan maqashid syariah. Lima jaminan dasar tersebut ialah: pertama, jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum ( Hifdzu al-Nafs); kedua, keselamatan akan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (Hifdzu al-Din); ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (Hifdzu al-Nasl); keempat, keselamatan harta benda dan hak milik dari gangguan atau pergusuran di luar prosedur hukum ( Hifdzu al-Mal); kelima, keselamatan hak miliki dan profesi ( Hifdzu al-aql).

Dari kelima dasar tersebut, kita belajar bahwa Islam adalah agama yang memberi kewenangan seluruhnya serta memberikan perlindungan dalam urusan keyakinan beragama, begitu juga memberikan aturan yang benar dalam urusan sosial dan kemasyarakatan. Dari prinsip-prinsip semacam ini, tak patut jika seorang beragama terkungkung dalam sempitnya cara pandang keagamaan juga tindakan yang mengarah intoleransi dan kezaliman.

Gus Dur mengatakan, “Bahkan sejarah agama membuktikan bahwa munculnya agama sendiri sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan yang berwatak menindas. Seperti dibuktikan oleh sejarah Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup  jahiliyah yang dianut mayoritas bangsa arab waktu itu. “ ( Lihat Abdurrahman Wahid; Islam Kosmpolitan, Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan)

Apabila telah dipahami bahwa agama Islam adalah agama kemanusiaan, yang mana perihal kebebasan dalam beragama menjadi unsur terpenting dari keuniversalannya. Maka Gus Dur menyebut upaya formalisasi agama yang dilakuan secara berlebihan sama halnya dengan menindas kebebasan teesebut. Hal ini berkaitan dengan penyempitan individu-individu dalam eksperimentalnya menuju kebenaran. “Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita.”

Pernyataan tersebut menandakan bahwa Islam, dalam pandangam Gus Dur, bukan hanya terjangkau melalui pengalaman esoteris belaka, tapi juga pengalaman dialektis. Pengalaman model terakhir inilah yang oleh Abdul Majid Sughayyar teridentifikasi secara jelas dalam gaya bahasa al- Quran yang tak hanya diam dengan ajaran-ajaran dogmatis belaka, tapi juga berdialektika dengan realitas seperti memberi tanggapan terhadap tuduhan orang-orang kafir di masa Nabi Saw.

Itulah gambaran singkat pandangan Gus Dur tentang universalitas Islam, atau lebih tepatnya cara kita melihat posisi dalam spirit keberagamaannya (al-Mabadi fi al-Ittijah al-Din). Kemudian dalam spirit peradaban, kita melihat gagasannya tentang kosmopolitanisme Islam.

Istilah kosmopolitan sendiri dipakai oleh Gus Dur untuk menjelaskan semacam sikap keterbukaan kaum muslim selama berabad-abad dalam menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain. Baik yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan, seperti peradaban Persia,misalnya. Sikap kosmopolitan ini merupakan salah satu kearifan yang oleh sejarahwan Inggris terkenal A.J. Toynbee disebut sebagai salah satu Oykumene dari enam belas Oykumene  yang menguasai dunia.

Watak peradaban Islam yang kosmpolitan ini, menurut Gus Dur, telah terbaca jejak historisnya sejak abad pertama. Tepatnya ketika Nabi Saw mambangun masyarakat Madinah hingga munculnya para cendikiawan muslim abad ketiga hijriah yang terbuka dan menyerap alam pikiran hellenisme yang menjadi sisa peradaban Yunani kuno. Gus Dur menuliskan: “Kosmpolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.”

Dalam kesejarahannya, umat Islam terbukti berhasil membangun peradaban besar dengan spirit keterbukaan. Sebagai contoh, kita bisa melihat pada aliran Muktazilah yang terbukti bebas melemparkan pemikiran-pemikirannya yang kontroversial di masanya, seperti persoalan apakah al-Quran diturunkan dalam bentuk huruf hijaiyah (bahasa makhluk) atau hanya sebatas maknawi belaka. Dalam periode kegemilangannya, umat Islam sangat difasilifasi oleh kebebasan berpikir dengan mempertanyakan persoalan yang menyangkut keyakinannya sendiri.

Hal itulah yang perlu kita suarakan saat ini, karena dengan kebebasan pada dasarnya manusia sedang menjajaki kreasi dirinya secara optimal, tidak justru membatasi atau bahkan bertindak represi. Tersebab dalam pandangan Gus Dur, kebebasan selalu beriringan dengan proses dialog yang serba dialektis dan koreksi budayanya sendiri. Adapun dalam konteks Muktazilah, terbukti muncul sebuah koreksi yang disuarakan oleh Abu Hasan al Asy’ari (sebagai penggagas mazhab asy’ariyah), juga Abu Mansur al-Maturidi (penggagas mazhab maturidiah) dan kemudian diiringi oleh al- Baqilani.

Namun keadaan berubah setelah umat Islam memaksakan kemapanan dengan mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah dan memproklamasikan ajaran-ajaran al Asy’ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam satu-satunya, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.

Oleh karena itu, Gus Dur ingin menegaskan, bahwa ciri kosmopolitanisme Islam adalah spirit kebebasan yang kreatif, keterbukaan dan upaya dialog dengan pihak manapun yang bisa mengantarkan kita menuju peradaban yang luhur, sebagaimana yang telah terbukti dalam kesejarahan kita.

Dari sini kita mencatat, upaya “ Menghidupkan Gus Dur” itu bukan perkara mudah dan sepele, seperti mengenang sikap-sikap yang nyeleneh atau kebijakan-kebijakan kontroversialnya belaka. Bukan, tapi lebih dahsyat dari itu. Menghidupkan Gus Dur adalah dengan cara meniru langkah totalitasnya dalam berintelektual serta keseriusannya dalam kerja-kerja reformasi. Di antaranya adalah dengan membaca kembali pandangan-pandangannya yang mencerahkan; tentang universalitas dan kosmopolitanisme Islam.

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Bung Karno, Ibu Megawati, dan Imam Bukhari

Kopiah.Co — Ziarah Ibu Megawati Soekarnoputri ke makam Imam Bukhari di Samarkand, Uzbekistan (20/9) memberikan pesan tentang pentingnya spiritualitas...

Artikel Terkait