Ibnu Athaillah Al-Sakandari, Mata Air Keilmuan.

Artikel Populer

Kopiah.co – Tak diragukan lagi, bahwa nama Ibnu Ataillah Al-Sakandari (658 H – 1259 M / 709 H – 1309 M) sangat membumbung tinggi di dunia Islam. Ia adalah salah satu tokoh Sufi yang namanya mulai dikenal pada akhir abad ke tujuh, juga dijuluki dengan sebutan Taj al-Din dan Tarjuman al-Arifin.

Ibnu Athaillah muda tumbuh dalam samudera ilmu pengetahuan. Ia menghafal Al-Qur’an, mempelajari hadits, fiqih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya di masjid-masjid yang berada di kota asalnya, Iskandariyah, Mesir.

Tak cukup menyelami ilmu di Iskandariyah, Ibnu Athaillah pun berpetualang ke Kairo. Saat itu, Kairo merupakan salah satu kota metropolitan di dunia Islam dan menjadi tempat berkumpulnya para ulama. Di Kairo, keilmuan dan peradaban Islam adiluhung berkembang pesat.

Karena kegigihannya dalam menuntut ilmu, Ibnu Atha’illah pun tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya ia hasilkan. Tidak hanya dalam bidang bidang tasawuf, ia juga menulis ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti tafsir, aqidah, hadits, ilmu nahwu (kaidah-kaidah bahasa Arab), dan ushul fiqh.

Dari beberapa karyanya, yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Kitab tersebut menjadi maha karya terbaik Ibnu Athaillah dan sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad.  Bahkan sampai hari ini, kitab al-Hikam senantiasa dikaji dan dipelajari oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia.

Kitab ini juga dikenal dengan nama al-Hikam al-Atha’iyyah, karena dinisbatkan kepada nama pengarangnya yaitu Ibnu Athaillah, dan juga untuk membedakan dari kitab-kitab lain yang memiliki kesamaan nama, yaitu al-Hikam.

Dalam kitabnya al-Hikam, Ibnu Atha’illah menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber utama. Sehingga, kitab fenomenal karya Ibnu Athaillah ini pun menjadi pelita kehidupan bagi siapapun yang mempelajarinya. 

“Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas ketaatan yang kau lewatkan, dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang kau lakukan”, itulah salah satu mutiara hikmah yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah dalam magnum opusnya, al-Hikam.

Istimewanya, kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah ini tidak hanya menjadi ilmu pengetahuan semata, melainkan dapat menjadi peta yang menunjukkan segala arah kepada jalan keselamatan. Setiap ungkapan yang ia tulis telah memberikan pengaruh dan energi positif bagi para pembacanya.

Sesungguhnya, apa yang ia tulis merupakan rekaman dari jejak kehidupannya yang telah ia habiskan dalam menyelami lautan ilmu. Sejak kecil, Ibnu Atha’illah sudah dikenal sebagai anak yang gemar belajar. Ia menimba ilmu dari para masyayikh secara bertahap. Sehingga tak heran bila keilmuannya utuh, dan ia menjadi seorang ahli ilmu yang mapan.

Selain karena kesungguhannya dalam belajar, kecerdasan Ibnu Athaillah pun tidak bisa dilepaskan dari gurunya. Ia memiliki guru yang senantiasa tulus dalam membimbing dan mengajar, yaitu Syeikh Abu Al-Abbas Ahmad Ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Syeikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili dan juga guru besar para sufi.

Maka, tak heran bila di bidang tasawuf, Ibnu Athaillah pun termasuk pengikut tarikat Al-Syadzuliyah. Tarikat ini merupakan salah satu tarikar terbesar di dunia Islam, yang mana telah tumbuh di berbagai tempat seperti di Tunisia, Makkah, Saudi, dan Spanyol. Dalam tarikat Syadzuliyah diajarkan tentang pentingnya membangun sikap moderat, yaitu menjaga hubungan baik dengan Allah (hablum minallah) dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas). Sedangkan dalam bidang fiqih, Ibnu Athaillah merupakan penganut madzhab Maliki.

Dalam perjalanan mencari ilmunya, Ibnu Athaillah pun senantiasa memiliki perkembangan yang signifikan. Ia mengalami metamorfosis dari Ahli Fiqih menjadi seorang Sufi. Hal ini pun sesuai dengan prediksi gurunya, Syeikh Abbas Al-Mursi yang meyakini bahwa murid kesayangannya itu memiliki potensi yang besar untuk menjadi seorang sufi dan juga ahli hukum. Terbukti dengan maha karya terbaiknya, kitab al-Hikam yang fokus dalam bidang tasawuf.

Jejak pengembaran Ilmu ala Ibnu Athaillah ini pun sejatinya menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam menguasai ilmu pengetahuan. Kesungguhan dan perkembangan dalam menuntut ilmu menjadi pelajaran berharga yang bisa kita petik dari sosok Ibnu Athaillah.

Tetapi tak cukup itu, Ibnu Athaillah pun seorang yang fokus dalam relnya, sebagai penuntut ilmu. Tidak semata-mata menjadi ahli fiqh dan tasawuf, melainkan ia lalui perjalanan pengembaraan ilmunya itu dengan fokus.

Dalam proses mencari ilmu, sejatinya kita tidak boleh memiliki semangat yang setengah-setengah, apa lagi merasa cukup dengan ilmu yang telah dipelajari. Dari Ibnu Athaillah ini, kita telah belajar menjadi seorang pencari ilmu yang fokus dan juga tidak mediocrity, atau setengah-setengah.

Sebagai pelajar, seyogianya kita memanfaatkan kesempatan dan potensi yang kita miliki. All out dalam mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan. Sehingga, hasil yang akan diraih pun akan memberikan banyak manfaat, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Kembali kepada perjalanan Ibnu Athaillah. Selain fokus dalam belajar, ia pun menjadi seorang pengajar. Ibnu Athaillah menyampaikan ilmunya ke berbagai sekolah (madrasah) di berbagai tempat, seperti di Iskandariyah, dan di Kairo. Ia menjadi guru di Universitas Al-Azhar, yang pada saat itu hingga saat ini senantiasa menjadi menara ilmu pengetahuan, khusunya dalam ilmu-ilmu keislaman.

Ibnu Athaillah telah mengisi setiap detak dan detik kehidupannya dengan ilmu pengetahuan. Sampai pada masanya ia meninggal dunia ketika sedang mengajar materi hukum dalam madzhab maliki, di Madrasah Manshuriah. Ia pun dimakamkan di pemakaman Qarafa, Kairo pada tahun 709 H/1309 M.

Faktanya, Ibnu Athaillah senantiasa menjadi role model bagi para penuntut ilmu sejak dulu hingga hari ini. Kesungguhan, fokus, dan pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan akan terus menginspirasi siapapun yang mempelajari perjalanan hidupnya. Walaupun hidupnya 60 tahun, tapi hakikatnya kebaikan dan karya Ibnu Athaillah akan senantiasa bermanfaat, tanpa terbatas oleh waktu.

Terakhir, sebagai seorang pelajar, betapa banyak inspirasi yang harus kita petik dari sosok Ibnu Athaillah. Ia memilih jalan ilmu sebagai jembatan menuju kebahagiaan, yang sesungguhnya merupakan implementasi dari hadits Nabi SAW.

Kenyataannya, kekayaan dan kekuasaan akan hilang ditelan waktu, tapi kebaikan dan manfaat yang kita berikan kepada orang lain akan terus hidup, mengalir bagaikan mata air jernih yang menjadi sumber ketenangan bagi semua orang. Semoga kita semua dapat mengikuti jejak Ibnu Athaillah, samudera ilmu pengetahuan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait