Kopiah.co – Kepergian Buya Syafii Maarif menjadi duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya umat Islam, tetapi umat Kristen, Budha, dan masyarakat dari berbagai latar belakang agama lainnya pun turut berduka cita atas wafatnya Sang Penjaga Toleransi di Tanah Air tercinta ini.
Namun, kesedihan yang dirasakan bersama-sama itu tidak lahir begitu saja. Melainkan karena setiap orang merasa memiliki terhadap Buya Syafii Maarif sehingga mereka pun merasa kehilangan yang sama.
Faktanya, nama Buya Syafii Maarif berada di dalam sanubari masyarakat Indonesia. Nilai-nilai kebaikan dan keteladanannya senantiasa terpatri dalam jiwa dan raga penduduk Nusantara. Dampak dari kasih sayangnya bagaikan mata air yang mengalir memberi manfaat kepada semua orang, tanpa pandang bulu.
Tak heran, bila siapa pun yang telah mengenal Buya Syafii Maarif, baik secara langsung atau bahkan hanya melalui tulisan dan karyanya, akan merasa dirangkul, pun merasa nyaman karena perkataan-perkataan yang disampaikannya senantiasa menyejukkan dan mengajak setiap orang untuk saling menghargai satu sama lain.
Begitu pula bagi saya pribadi, walaupun belum pernah bertemu secara langsung, tetapi keteladanan Buya Syafii Maarif telah menghiasi perjalanan saya sebagai seorang pelajar.
Dari tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah yang disampaikannya, saya memahami bahwasanya setiap kita harus memandang orang lain dengan semangat persamaan derajat. Karena dengan begitu, kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat diraih.
Dalam tulisannya yang berjudul “Puncak Gunung Es”, Buya Syafii Maarif menyampaikan bahwa, “Sebuah weltanschauung Qur’an bukan saja bermuatan filosofis, juga darinya dapat diturunkan prinsip-prinsip pemecahan masalah-masalah kemanusiaan”.
Maka, dalam perjalanan hidupnya, Buya Syafii Maarif selalu berdiri paling depan dalam menjaga kemanusiaan. Baginya, kemanusiaan bukan hanya jargon semata, tetapi harus menjadi bukti nyata yang lahir dari hati dan ditegakkan melalui perbuatan.
Misalnya, pada peristiwa penyerangan brutal yang melukai para jemaat di Gereja Santa Lidwina, Sleman, tahun 2018 silam, Buya Syafii Maarif bergegas datangi Gereja dan menyampaikan kekecewaanya. Ia pun meminta polisi agar mengusut tuntas kejadian tersebut.
Dan tentu masih banyak lagi peran Buya Syafii Maarif dalam mewujudkan kerukunan di Bumi Nusantara ini. Ia tak pernah absen dalam menentang intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Sungguh sangat layak bila gelar “Pahlawan Kemanusiaan” disematkan dalam dirinya.
Seyogianya nilai-nilai kemanusiaan-universal ala Buya Syafii Maarif ini kita rawat dan hidupkan. Karena faktanya prinsip kemanusiaan ini senantiasa relevan dalam ruang dan waktu.
Melalui tulisannya yang dimuat di TEMPO pada tahun 1993, Buya Syafii Maarif juga pernah menyampaikan perkataan gurunya ketika di Chichago, Fazlur Rahman, bahwa “Sebuah Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan, tidak akan punya masa depan yang cerah”.
Perkataan di atas betul-betul harus disadari oleh semua umat beragama. Karena dewasa ini kita melihat fenomena beragama yang ekstrem. Di mana kelompok Islam radikal acapkali melakukan aksi kekerasan yang dilegitimasi atas keyakinan dalam berjihad di jalan Tuhan.
Pada tahun 2021 misalnya, kita dikejutkan dengan aksi teror yang menewaskan puluhan korban jiwa. Ironinya, setelah diinvestigasi, motif pelaku melakukan teror tersebut adalah atas nama agama. Selain merusak nilai kemanusiaan, kenyataan ini pun menjadi ancaman nyata yang memengaruhi persatuan bangsa.
Melalui peran dan pemikirannya, sejatinya Buya Syafii Maarif telah menegakkan jihad intelektual yang mampu memberikan solusi bagi rumah kemanusiaan yang semakin hari digerogoti oleh virus-virus kelompok Islam ekstrem. Ajaran Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang dihidupkan oleh Buya Syafii Maarif harus mewarnai ruang-ruang kehidupan berbangsa, lebih-lebih di era media sosial seperti sekarang.
Tidak cukup berhenti pada mewujudkan kerukunan saja, Buya Syafii juga senantiasa mendorong dan mengajak agar setiap kita dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Ia pernah menyampaikan bahwa, “seluruh masyarakat Indonesia harus diperlakukan sama karena kita memiliki bangsa yang sama”.
Prinsip yang disampaikannya merupakan ruh dari Pancasila. Buya Syafii Maarif ingin memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila yang luhur itu dapat benar-benar dihidupkan di negeri tercinta ini. Pun bangsa Indonesia tidak boleh terjebak dalam mayoritanisme, yaitu yang mayoritas merasa paling berkuasa atas minoritas sehingga bersikap intoleran.
“Sebagai mayoritas di Indonesia, penganut agama Islam memiliki tanggung jawab yang besar untuk menciptakan suasana bangsa ini menjadi aman, tentram, dan nyaman. Kalau itu tidak dilakukan, berarti mereka gagal sebagai mayoritas”, ungkap Buya Syafii Maarif.
Pesan-pesan kemanusiaan dan toleransi yang diwariskan oleh Buya Syafii Maarif juga mengingatkan saya pada apa yang disampaikan oleh Prof. Néji Baccouche, pemikir dari Tunisia, dalam bukunya yang ia tulis bersama Mohamed Talbi dan Abdelfattah Amor dengan judul “Etudes sur la Tolérance”, ia menyampaikan bahwa, “Toleransi Pilar Kemanusiaan”.
Pendapat di atas tentu senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, ia menyampaikan bahwa, “Pendidikan toleransi itu tunas peradaban. Intoleransi simbol kebiadaban. Toleransi inti keberadaaan”.
Bagi saya, Buya Syafii Maarif adalah sosok yang humanis dan bersahaja. Ia merupakan guru bangsa yang telah mengajarkan dan mewariskan banyak hal berharga bagi kita.
Garis yang dilaluinya harus kita tempuh, hidupkan, dan lanjutkan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Buya syafii Maarif adalah teladan dalam ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Walaupun kini ia telah pergi meninggalkan kita semua, tetapi pesan-pesan, pemikiran, dan kebaikannya akan terus hidup menghiasi Indonesia bahkan dunia.
Selamat jalan Buya Syafii Maarif. Semoga kedamaian dan kebahagiaan senantiasa menyertai Buya. Lahul fatihah.