Ijtihad Kemanusian Imam Akbar Ahmad Ath-Thayyib

Artikel Populer

*Tulisan ini merupakan esai yang diterbitkan pada peluncuran Bunga Rampai Keazharan Bedug Media PCINU Mesir

Sejak terpilihnya Syaikh Ahmad ath-Thayyib sebagai Imam Akbar, Al-Azhar memainkan peran yang sangat menonjol dalam upaya diplomasi kemanusiaan. Aktivisme Al-Azhar dalam kancah internasional mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam dialog-dialog antar umat yang diadakan di berbagai negara, Imam Akbar berhasil memainkan perannya sebagai representasi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan Syaikh Ahmad ath-Thayyib merupakan simbol pemimpin Islam secara global.

Sebagai seorang Imam Akbar, Syaikh Ahmad ath-Thayyib menyadari posisinya yang sangat strategis sebagai pemimpin umat Islam. Praktis pasca ditunjuknya sebagai pemimpin tertinggi Al-Azhar, beliau melakukan banyak reformasi kelembagaan. Baginya, Al-Azhar bukan semata-mata lembaga pendidikan yang berfungsi mengader calon ulama, namun juga merupakan lembaga keislaman yang bertujuan mempersatukan kaum muslim dan mewujudkan solidaritas di antara mereka.[1]

Di antara hal pertama pertama yang beliau lakukan saat menjadi Imam Akbar ialah merevitalisasi Haiah Kibar al-‘Ulama (Dewan Senior Ulama). Dewan yang pernah dibentuk pada tahun 1911 ini sempat dinonaktifkan dan diintegrasikan dengan Majma’ al-Buhuts al-Islami pada era kepemimpinan Imam Akbar Syekh Mahmud Syaltut. Melalui tangan Syeikh Ahmad Ath-Thayyib, dewan ini kembali didirikan pada tahun 2012 dan memiliki fungsi strategis dalam urusan sosial keagamaan yang bersifat praktis seperti pemilihan Imam Akbar dan pencalonan mufti. Selain itu, Haiah Kibar juga memainkan peran sentral dalam merumuskan isu-isu sosial-keagamaan umat Islam dan menentukan arah kebijakan Al-Azhar.[2]

Imam Akbar juga memiliki perhatian yang tinggi dalam mengarusutamakan Islam moderat di dunia melalui lembaga-lembaga yang berada di dalam Al-Azhar. Beliau menjadikan OIAA sebagai media alumni agar menjadi duta moderasi Islam dan memastikan keberlangsungan penyeberan manhaj Al-Azhar.[3] Untuk mewujudkan visi tersebut, beliau melakukan pengembangan kurikulum dan strategi pendidikan, di antaranya dengan mendirikan Markaz Tathwir dan meningkatkan jumlah pelajar asing di Al-Azhar.[4] Sejak era kepemimpinannya, pos-pos penting di Al-Azhar kini mulai diisi oleh para wanita sebagai upaya nyata mewujudkan moderasi.

Teologi Humanis Imam Akbar Ahmad Ath-Thayyib

Masa pendidikan Imam Akbar Ahmad Ath-Thayyib selama di Al-Azhar sangat mempengaruhi pemikiran humanisnya. Kurikulum yang bersifat terbuka, dengan membiarkan para murid mengambil konsentrasi mazhab fikih yang ia pilih, beserta pengenalan ragam metodologi dan pendekatan dalam akidah, perlahan menginspirasi pandangannya yang moderat. Pertarungan ideologi antara komunis dan kapitalis pada medio 60-an juga berhasil membentuk pengalaman ilmiah yang dialektis dalam diri Imam Akbar Ahmad Ath-Thayyib[5]. Sementara dalam pertarungan teologi, terdapat tiga madrasah besar di Mesir kala itu, Universitas Iskandariyyah sebagai madrasah Asy’ariyayah di bawah pengaruh Prof. Sami Ali an-Nassyar, Universitas Darul Ulum dibawah kepemimpinan Mahmud Qasim yang muktazilah, dan Universitas Al-Azhar dengan pendekatan sufistik-asy’ariyah era Syekh Abdul Halim Mahmud.[6]

Sebagai seorang asy’ariyah, pemikiran moderat dan humanis Imam Akbar sangat terpengaruh dari Imam Asy’ari Mazhab asy’ari yang lahir dalam pertarungan dua arus besar, yakni kaum rasionalis yang direpresentasikan Muktazilah dan kaum tekstualis yang direpresentasikan Hanabilah mampu menjadi penyeimbang. Alih-alih mengikuti kedua mazhab ini dalam keterjebakan epistemologi, Imam al-Asy’ari justru mampu mensintesiskan kedua epistemologi[7]. Sebagai sebuah pendekatan, pandangan asy’ariah terbilang baru. Namun demikian, sikap moderat yang ditampilkan merupakan kelanjutan dari dakwah Nabi Muhammad era primordial Islam[8]. Itu sebabnya para ulama menyebutkan kedua mazhab ini sebagai ahlussunnah wal jamaah yang otoritatif. [9]

Menurutnya, mazhab asy’ariyah telah mampu menjadi perekat umat selama ribuan tahun. Di samping itu, mazhab asy’ari juga juga mampu menjadi lokomotor kebangkitan budaya dan peradabaan ilmiah dalam sejarah Islam. Peran besar ini tidak dapat dilepaskan dari dua fondasi utama dalam bangunan epistemologi. Pertama, moderat, fleksibel, dan solutif. Kedua, meletakkan akal dalam posisi yang tinggi sebagai sumber pengetahuan dalam urusan keagamaan maupun duniawi.[10]

Mazhab Asy’ari adalah prototipe umat moderat di zaman Nabi Muhammad SAW.[11] Beliau menyebutnya mazhab salam (perdamaian) karena satu-satunya yang tidak mengkafirkan golongan lain. Imam al-Asy’ari melalui karangannya Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, menampilkan sikap moderat dengan menganggap setiap perbedaan pandangan teologis dalam Islam tidak lantas membuatnya kufur. Imam al-Asy’ari tetap mengatribusikan lafaz al-mushollin (orang-orang yang shalat)[12]. Dalam suatu riwayat, saat menjelang kematiannya, ia mengucapkan, “Saksikanlah, aku tidak mengkafirkan satu pun dari ahlul kiblat karena mereka menyembah Tuhan yang sama dan perselisihan yang terjadinya hanyalah perbedaan diksi.”[13] Bahkan menurutnya, asy’ariyah juga merupakan perdamaian untuk seluruh umat manusia.[14]

Terlepas dari apakah sikap moderat asy’ari murni teologis atau tidak, nyatanya sikap ini sesuai dengan pandangan humanisme yang diarusutamakan oleh Imam Akbar. Dalam kitab Muqawwimatul Islam, Imam Akbar menampilkan kajian teologi Islam dengan metode baru. Selain pembahasan akidah, beliau melengkapi kajiannya dengan pembahasan syari’at dan akhlak. Ketiga bagian Islam ini diberikan porsi yang imbang dan setara layaknya segitiga sama kaki.

Pemikiran humanisme Imam Akbar juga tercermin dalam pandangannya mengenai ibadah. Islam tidak akan memberatkan umatnya dengan ibadah yang dibebankan. Sebaliknya, perintah ibadah merupakan petunjuk yang mampu mengisi dahaga ruhani seorang hamba. Menurutnya, kemudahan dan fleksibilitas adalah keistimewaan ibadah di dalam Islam yang membedakannya dari agama lain. Segala bentuk ibadah, nantinya akan bermuara kepada perbaikan etika. Etika ini merupakan pokok dalam ibadah yang akan membawa kepada kesejahteraan individu dan masyarakat.[15]

Upaya Rekonsiliasi Hubungan Intra Agama

Saat ini, umat Islam menghadapi permasalahan serius yang mengancam disintegrasi ukhuwwah Islamiyah. Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman pembunuhan justru dilayangkan oleh pihak intra agama. Di Mesir, beberapa upaya bom bunuh diri menargetkan masjid dan warga sesama muslim. Sementara di Indonesia, meskipun kontak fisik perseteruan Sunni-Syiah sudah terminimalisir, persekusi pikiran dan verbal masih sering terjadi. Belum lagi konflik berdarah yang terjadi di Iraq dan Yaman.

Berdasarkan laporan International Business Times, dalam satu dasawarsa terakhir, tidak kurang dari 33.000 orang tewas karena serangan terorisme yang berhubungan dengan ISIS. Mirisnya, Sebagian besar korban tewas adalah sesama kaum muslimin. Peristiwa-peristiwa di atas merupakan satu dari sekian tragedi gelap kaum muslimin yang sampai saat ini masih terus bertambah.

Dalam sebuah muktamar, Imam Akbar menyimpulkan bahwa ada 3 alasan konflik intra agama masih terus terjadi di kalangan umat Islam. Pertama, umat Islam terlalu sibuk dengan problem-problem parsial yang bukan merupakan perkara pokok dalam agama, seperti hukum perempuan pergi ke masjid. Kedua, bermain-main dengan fikih mazhabi dan hipotesis hukum fikih yang tidak mungkin terjadi. Alasan terakhir dan yang paling berbahaya adalah melakukan distorsi teks dalam kitab-kitab turats sehingga merusak makna asli.[16]

Dalam isu-isu intra agama, Syekh Ahmad ath-Thayyib dengan posisinya sebagai Imam Akbar memainkan peran yang sangat penting. Dalam dunia keislaman, posisi Imam Akbar merupakan simbol ahlussunnah wal jamaah dengan Al-Azhar sebagai bentengnya selama berabad-abad. Untuk meminimalisir angka konflik yang terjadi di kalangan umat Islam, beliau menjalin hubungan kerjasama dalam bidang dakwah dengan para ulama di dunia.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Imam Akbar sebagai bentuk diplomasi nilai kemanusiaan adalah dengan mendirikan Majelis Hukama al-Muslimin pada tahun 2014. NGO (Non-Govermental Organization) yang bermarkas di Abu Dhabi ini memiliki tujuan utama mewujudkan perdamaian global bagi kaum muslimin dengan mengadakan dialog yang diwakili oleh para ulama di berbagai dunia.[17]

Sebagai bentuk keseriusan dalam mempersatukan umat Islam di dunia dalam persaudaraan, Majelis Hukama al-Muslimin diisini bukan hanya dari kalangan Ahlussunnah saja, namun juga para ulama syiah. Marja’ Dini Lebanon, as-Sayyid Ali al-Amin masuk ke dalam keanggotaan Majelis Hukama. Sama seperti anggota lainnya, ia memiliki hak yang sama, termasuk memberikan seminar di depan para anggota lain yang sebagian besar Sunni.

Imam Akbar memiliki cita-cita yang besar dalam upaya rekonsiliasi antara Sunni dan Syiah. Dalam kunjungannya ke Iraq pada tahun 2021 dan 2023, Imam Akbar mengunjungi Ayatollah ‘Ali as-Sistani. Kunjungan ini merupakan upaya diplomasi yang dilakukan Imam Akbar untuk meredakan ketegangan yang terjadi antara Sunni dengan Syiah. Pertemuan ini mendapat respon positif dari sebagian masyarakat muslim global sebagai langkah menuju peradaban baru Islam yang menerima kehadiran liyan.

Ukhuwwah Insaniyah: Modal Peradaban Baru Dunia

Untuk membaca pola diplomasi Imam Akbar dalam rekonsiliasi konflik antar agama, tidak cukup hanya dengan melihat peran setelah menjadi Imam Akbar. Saat menjabat Rektor Al-Azhar, Syekh Ahmad ath-Thayyib beberapa kali melakukan kunjungan diplomasi tokoh agama. Pada tahun 2003, beliau pernah berkunjung ke Amerika Serikat untuk memberikan seminar yang berjudul Islam dan Agama-agama[18]. Dalam pembukan acara Dialog Antaragama Qatar pada tahun 2008, Imam Akbar menyampaikan urgensi dialog pemecah masalah manusia[19]. Sementara itu pada September 2006, beliau memberikan seminar kemanusiaan di Assisi, Italia.[20]

Di tengah ketidakpastian dunia modern, agama memainkan sektor yang penting dalam mewujudkan cita-cita baru peradaban manusia. Dalam kurun 2 abad terakhir, kebangkitan bangsa Eropa yang dianggap sebagai sebuah kemajuan nyatanya tak luput dari kecacatan. Dua hingga tiga ratus tahun lalu, orang-orang Eropa menjauhi agama karena dianggap sumber kemunduran dan perumpahan darah. Namun demikian, keresahan itu seolah sudah terbantahkan dengan tragedi perang dunia dan perang dingin yang merupakan perang ideologis. Namun nyatanya, kedua peristiwa ini memakan jutaan korban lebih banyak dari semua sejarah peperangan yang melibatkan nama agama.[21]

Menurut Imam Akbar dunia saat ini sedang mengalami krisis ruhani. Krisis tersebut disebabkan karena pandangan materialistik yang mendominasi saat ini. Satu-satunya jalan untuk menyembuhkan krisis itu adalah dengan menghidupkan nilai-nilai agama yang bersifat humanis serta menjunjung tinggi perdamaian.[22] Dalam konferensi yang diadakan di Florensa, Italia, Imam Akbar menegaskan bahwa dunia harus mulai merubah cara pandang mereka terkait peradaban. Bangsa yang ideal di masa depan bukanlah bangsa yang kuat dan menguasai. Akan tetapi, peradaban yang ideal adalah keterbukaan, penerimaan, dan koeksitensi.[23]

Terdapat dua tanggung jawab yang dipikul oleh para tokoh agama. Pertama, penyelesaian konflik intra agama. Tanggung jawab kedua adalah membangun persaudaraan antar sesama manusia lintas agama. Imam Akbar menyadari bahwa keduanya tidak bisa jalan terpisah. Peningkatan kualitas hubungan antar umat beragama tentu tidak bisa dilepas dari toleransi yang lebih sederhana dahulu, yakni intra umat beragama.

Oleh karena itu, Imam Akbar membangun jalinan persahabatan yang erat dengan Paus Fransiskus. Pertemuan Imam Akbar dengan Paus Fransiskus merupakan simbol persahabatan dunia. Keduanya mewakili arus-arus biner dalam dunia. Imam Akbar mewakili dunia Timur sementara Paus Fransiskus mewakili dunia Barat. Islam dan Kristen sebagai kedua agama terbesar di dunia direpresentasikan oleh keduanya. Momen persahabatan ini merupakan peristiwa bersejarah bagi peradaban umat manusia.

Imam Akbar berhasil membangun sebuah tradisi baru dalam peradaban umat manusia. Melalui diplomasi, Imam Akbar berusaha mengampanyekan nilai-nilai humanis dan moderat ahlussunnah wal jamaah. Melalui soft diplomacy yang dilakukannya, perlahan pemahaman moderat akan menjadi arus mainstream dalam kehidupan umat beragama saat ini. Dengan demikian, perlu ada penerjemahan kembali makna peradaban baru umat manusia seperti apa yang dicita-citakan Imam Akbar.


[1] ath-Thayyib, Ahmad, Al-Azhar wa Wahdah al-Muslimin, 2019, Kairo: Majlis al-Hukama, hal. 22

[2] ‘Abdul Hafiz, Muhammad ‘Ali, Shafahat min Tarikh al-Azhar asy-Syarif, 2023, Kairo: Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, hal. 91

[3] Ibid, hal. 183

[4] Ibid, hal. 87

[5] Ath-Thayyib, Ahmad, at-Turats wa at-Tajdid, 2019, Kairo: Majlis Hukama, hal. 6

[6] Ath-Thayyib, Ahmad, al-Qaul ath-Thayyib, 2020, Abu Dhabi: Majlis al-Hukama, hal. 32

[7] Ath-Thayyib, Ahmad, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, 2019, Kairo: Majlis Hukama, hal. 42

[8] Ibid, hal 49

[9] Ibid, hal. 49

[10] Ibid, hal. 43

[11] Ibid, hal. 47

[12] Ibid, hal. 49

[13] Adz-Dzahabi, Syamsuddin, Siyar A’lam an-Nubala, 1985, Beirut: Muassasah ar-Risalah, vol. 15, hal. 88

[14] Ath-Thayyib, Ahmad, Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 49

[15] Ath-Thayyib, Ahmad, Muqawwimat al-Islam, 2019, Kairo: Majlis Hukama, hal. 265

[16] ath-Thayyib, Ahmad, Al-Azhar wa Wahdah al-Muslimin, hal. 15

[17] ‘Abdul Hafiz, Muhammad ‘Ali, Shafahat min Tarikh al-Azhar asy-Syarif, 2023, Kairo: Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, hal 180

[18] Ath-Thayyib, Ahmad, al-Qaul ath-Thayyib, 2020, Abu Dhabi: Majlis al-Hukama, vol. 2 hal. 14

[19] Ath-Thayyib, Ahmad, al-Qaul ath-Thayyib, 2020, Abu Dhabi: Majlis al-Hukama, vol. 2 hal. 41

[20] Ath-Thayyib, Ahmad, Min Ajli as-Salam, 2019, Abu Dhabi: Majlis al-Hukama, hal. 5

[21] Ath-Thayyib, Ahmad, Nahwa ‘Alam Mutakamil wa Mutafahim, 2019, Kairo: Majlis al-Hukama, hal. 7

[22] Ibid, hal. 11

[23] Ath-Thayyib, Ahmad, Nahwa ‘Alam Mutakamil wa Mutafahim, 2019, Kairo: Majlis al-Hukama, hal. 15

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait