Nawal El Sadaawi: Melacak Akar Penindasan Perempuan dalam Peradaban

Artikel Populer

Oleh: Ahmad Miftahul Janah

Membaca tulisan-tulisan Nawal El Saadawi berarti anda mendorong diri sendiri untuk mendobrak kemapanan. Tersebab, Nawal menulis karena didorong oleh kemarahan pada praktek-praktek ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan—yang sudah mapan. Ia menilai dunia atau Tuhan tidak adil dalam memperlakukan perempuan dan bertanya-tanya; mengapa perempuan diharuskan hanya tunduk pada satu lelaki sementara mereka boleh berpoligami; mengapa lelaki lebih leluasa mendapat kekuasaan di depan publik sementara perempuan terpenjara di dalam rumah; dan mengapa perempuan harus menjalani klitoridektomi dengan alasan tidak logis, agar tidak terangsang secara seksual saat naik unta, padahal itu justru bisa meningkatkan hasrat seksual.

Sejak dilahirkan di Kafr Tahla Mesir pada 27 Oktober 1931 Nawal El Sadaawi telah tumbuh di lingkungan yang patriarkis. Meski Nawal cukup beruntung karena dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, namun ia tetap saja tidak bisa menuruti hampir semua kemauannya. Saat kecil, Nawal mendapati negaranya masih menjadi jajahan Inggris dan rajanya—Farouk—hanyalah pemimpin boneka. Ia marah dan terbersitlah di benaknya untuk mengalahkan musuh dan membebaskan tanah airnya. Ia pun meminta hadiah senjata seperti yang ayahnya berikan pada saudara laki-lakinya. Namun bukannya dituruti ia malah dibelikan gaun pengantin oleh keluarganya, pistol tidak layak untuk perempuan kata ibu dan neneknya.

Tak berhenti di situ, saat usianya masih cukup belia (10 tahun) keluarganya bersikeras menikahkannya. Inilah revolusi pertama dalam hidupnya, ia melawan ayahnya yang hendak menikahkan dirinya dengan pria yang tidak ia cintai. Beruntung ibunya membela Sadaawi kecil hingga akhirnya keluarga sepakat mendukungnya melanjutkan pendidikan. Atas keinginan ayahnya ia masuk fakultas kedokteran dan keluar sebagai lulusan terbaik pada tahun 1955. Ketika ayahnya meninggal ia terbebas dari janji ayahnya dan mulai hidup untuk diri sendiri.

Peristiwa demi peristiwa dalam hidupnya membuat Nawal tumbuh sebagai seorang feminis yang intens menuntut keadilan. Bahkan saat masih kecil ia pernah menyurati Tuhan agar menjelaskan mengapa wanita diperlakukan berbeda dari pria. Ia kemudian terus menulis karya-karya fiksi maupun non fiksi untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan. Dalam karya non fiksi Nawal yang diterjemah ke bahasa Indonesia dengan judul “Melawan Sistem Perbudakan”, saya mendapati dan merangkum adanya tiga akar penindasan menurut Nawal pada perempuan: seksisme, kebijakan penguasa, dan tafsir agama.

Sejak awal, kata Nawal, perempuan di mata lelaki hanya menjadi objek seks. Oleh karenanya ia harus tertindas, ia harus rela didominasi di bawah kaki patriarki sebab seksisme. Kita dapat melihat betapa geramnya Nawal saat menceritakan sosok Firdaus dalam novelnya, Perempuan di Titik Nol.

Firdaus tak pernah memilih takdirnya sebagai perempuan. Namun karena Tuhan menetapkannya sebagai perempuan ia tertindas oleh lingkungannya. Ia dipukuli dan diperlakukan buruk oleh ayahnya. Ia dijual atas nama nikah yang sah kepada seorang lelaki pelit yang kerap bermain perempuan. Firdaus muak dengan segala dominasi itu dan menjual dirinya sebagai pelacur.

Nawal lalu memunculkan satu pesan tersirat yang mengandung kontroversi, lebih baik melakukan seks dan dibayar uang daripada sekedar bualan soal cinta. Saya dapat mengerti perasaan Nawal saat membaca perjalanan Firdaus dalam novelnya. Dalam ranah individu perempuan memang sering dipandang remeh dan kerap mendapat perlakuan tak senonoh sebab badannya.

Di ruang yang lebih luas daripada dirinya sendiri, perempuan juga harus merasakan perbudakan. Kebijakan penguasa banyak membuat perempuan semakin tertindas. Di Timur Tengah, menurut Nawal, kelas penguasa dan pemerintahan baru terdiri dari laki-laki dan memiliki kecenderungan cepat untuk melupakan masalah perempuan, atau setidaknya tidak memberikan perhatian dan usaha yang diperlukan.

Alih-alih penguasa mencoba menghapus hubungan patriarki, mereka justru memeliharanya dalam bentuk lain. Perempuan diseret untuk bekerja oleh arus industri kapitalis. Yang paling disorot Nawal adalah penguasa banyak mengambil keuntungan dari perempuan dengan memberi mereka pekerjaan dengan gaji tak sepadan, alasannya karena kerja mereka lebih ringan dari laki-laki. Ini menurut saya tidak masuk akal, sebab kodrat perempuan yang berbeda menuntut pekerjaan yang beda pula. Tapi itulah kapitalisme, jika bisa mengeruk keuntungan besar dengan modal kecil, mengapa tidak?

Seperti kekuasaan, tafsir-tafsir menyeleweng atas agama juga kerap menjadi akar penindasan terhadap perempuan. Teks-teks agama sering diinterpretasi dengan cara konservatif dan rigid hingga menyisakan satu jalan terjal saja untuk perempuan, padahal Islam mestinya fleksibel. Omongan para pemegang otoritas agama terkadang juga dianggap menjadi bagian dari suara Tuhan hingga memaksa perempuan untuk tunduk dan menurut.

Mari kita tengok bagaimana Nawal bersikeras menolak praktek sunat perempuan yang kala itu diyakini didasari agama. Menurut Nawal, klitoridektomi tidak pernah disebutkan dalam kitab Samawi, baik di dalam al-Quran  maupun Alkitab. Alih-alih didasari agama FGM (female genital mutilation) sebenarnya adalah malah warisan sistem budak dan budaya patriarki yang bertujuan menjamin keperawanan sebelum menikah dan kesetiaan setelahnya.

Nawal juga menambahi bahwa FGM tidak berhubungan dengan moralitas perempuan; FGM tidak membuat perempuan cenderung monogami atau lebih setia pada suami. Sebaliknya, memotong klitoris akan meningkatkan hasrat seksual wanita. Tersebab otak adalah tempat utama hasrat seksual dan wanita yang disunat kesulitan mencapai kepuasan seksual dengan suaminya, dan mereka mencari ini di luar nikah.

Tapi apa yang didapati Nawal karena komentar itu? Tidak ada seorang pun mempercayainya. Ia  justru dikecam oleh Masyarakat Mesir, Syeikh al-Sya’rawi bahkan menuduhnya kaki tangan setan. Namun di kemudian hari, kebenaran akhirnya terungkap, mufti Mesir dan sebagian ulama Al-Azhar mengumumkan bahwa sunat perempuan bertentangan dengan syariat Islam.

“Saya mengatakan kebenaran. Dan kebenaran itu kurang ajar dan berbahaya,” begitu ujar Nawal. Kejujuran yang brutal dan dedikasinya untuk memperbaiki hak-hak politik dan Perempuan menginspirasi berbagai generasi. Tetapi karena keberaniannya berbicara ia mendapati banyak ancaman pembunuhan, kemarahan, dan penjara. Dan pada akhirnya sang feminis sejati itu menemui ajalnya pada usia 89 tahun, pada 21 Maret 2021.  

Nawal telah hidup cukup lama untuk menyingkap kebenaran akan ketidakadilan dominasi laki-laki atas perempuan. Seksisme, kebijakan penguasa, serta tafsir agama—yang menyeleweng—yang selama ini menjadi sumber otoritatif penindasan atas perempuan harus dihapuskan, karena hal tersebut merupakan sumber ketidakadilan. Siapa yang harus melakukannya? Hal tersebut tentu menjadi tanggung jawab bersama, baik perempuan maupun laki-laki harus memiliki kesadaran kolektif dan bahu-membahu untuk melawan ketidakadilan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Aktivis Muda NU Minta MK Gugurkan Abuse of Power yang Merusak Demokrasi

Kopiah.Co — “Kita harus buat pernyataan seperti ini, untuk suarakan kebenaran konstitusional dan spirit Pancasila", kata Nata Sutisna, Aktivis...

Artikel Terkait